Senin, 10 Maret 2008

AHLUSSUNNAH WALJAMA’AH MENURUT NAHDLATUL ULAMA

Oleh :
Ma'shum Nuralim
(Dekan Fakultas Ushuluddin Surabaya IAIN Sunan Ampel)


A. Pendahuluan

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan hamba-Nya ke jalan yang lurus, sederhana dan mudah dilaksanakan. Makalah singkat ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Sosial di Program Pascasarjana (S3) di IAIN Sunan Ampel Surabaya. Semoga makalah yang singkat ini ada guna dan manfaatnya.
Makalah ini sesuai dengan rencana Disertasi penulis berjudul: Paham Ahlussunnah Waljama’ah Menurut Nahdlatul Ulama, dengan permasalahan pokok : bagaimana NU sebagai organisasi memahami Ahlussunnah Walajama’ah ? dan mengapa NU memahami Ahlussunnah Walajama’ah seperti itu ?. Masalah ini diambil, mengingat NU adalah organisasi keagamaan Islam terbesar di Indonesia, yang di dalam anggaran dasarnya secara eksplisit menyatakan berpaham Ahlussunnah Walajama’ah. Di samping itu, Ahlussunnah Walajama’ah adalah symbol keselamatan umat Islam, sehingga menjadi klaim setiap muslim bahwa dialah ahlussunnah waljama’ah dan dialah orang atau golongan yang selamat dari api neraka.
Sejarah berdirinya Nahdlatul Ulama (NU), di Surabaya sering dihubungkan dengan situasi Indonesia saat itu, terutama munculnya kelompok pembaharu, Muhammadiyah, sehingga NU berdiri dianggap sebagai reaksi terhadap kelompok pembaharu di Indonesia. Namun sebab langsung berdirinya NU tidak banyak berhubungan dengan munculnya reformisme di Surabaya, dan tujuan-tujuan awalnya bersifat lebih terbatas dan konkrit dibandingkan dengan usaha melakukan perlawanan terhadap serangan kaum pembaharu.[1]
Lahirnya NU banyak dipengaruhi oleh peristiwa Internasional. Sejak awal tahun 1924 telah tersiar berita bahwa khalifah Abd. Majid telah dipecat oleh pemimpin nasionalis Turki, Mustafa Kemal. Selanjutnya menyusul berita bahwa para ulama Mesir di bawah pimpinan Syaikh al-Azhar akan menyelenggarakan pertemuan iternasional membahas soal khilafah.
Dalam situasi hampir bersamaan, terjadi penyerangan Abd Aziz Ibn Suud, yang didukung oleh aliran wahabi, terhadap Syarif Husein di Arab Saudi dan menaklukkannya.
Menghadapi peristiwa tersebut, maka di Surabaya diselenggarakan pertemuan, 4 Agustus 1924, yang dihadiri para tokoh Syarikat Islam (SI), Muhammadiyah, al-Irsyad, al-Ta’dibiyah, Tashwir al-afkar, Ta’mir al-Masajid, dan perhimpunan lain.[2] Pertemuan memutuskan membentuk komite khilafah dan akan menyelenggarakan persidangan luar biasa kongres al-Islam untuk mengirim delegasi ke Kairo.
Kongres yang diadakan kemudian menyepakati beberapa agenda masalah, antara lain soal keagamaan yang diperselisihkan, dan rencana pengiriman delegasi ke Kairo. Akan tetapi di dalam perjalanan ternyata terjadi lobo-lobi di antara para peserta kongres yang terdiri dari berbagai organisasi. Akhirnya, kelompok tradisional menyetakan mundur dari kongres dan membentuk komite Hijaz, yang akan mengirim utusan sendiri ke Arab Saudi. Pada akhir pertemuan, 31 Januari 1926, komite Hijaz dibubarkan, dan menjilma menjadi orgaisasi formal yang bernama Nahdlatul Ulama (NU). Sehingga tanggal tersebut merupakan hari ulang tahun berdirinya NU.
Dengan demikian, dapat saja dikatakan bahwa NU lahir sebagai reaksi terhadap para pembaharu di Indonesia, tetapi yang jelas lebih banyak dipengaruhi oleh masalah keagamaan internasional yang berkembang saat itu. Hal itu dapat dibuktikan dengan kenyataan bahwa sebelum peristiwa pemecatan terhadap khalifah Abdul Majid oleh Mustafa Kemal di Turki dan penyerangan oleh Abdul Aziz Ibnu Suud terhdap Syarif Husein di Arab Saudi terjadi, para tokoh tradisional dan tokoh pembaharu dapat bekerja sama, bahu membahu mengembangkan ajaran Islam dan memberdayakan ummat.
Kerja sama itu misalnya lewat forum diskusi dan tukar pikiran yang diadakan melalui wadah Tashwir al-Afkar, yang melibatkan para tokoh pembaharu dan tradisional seperti: Mas Mansyur, Muhammadiyah, Abdul Wahab Hasbullah, NU, dan lain-lain.[3]

B. Paham Ahlussunnah Waljama’ah

Ahlussunnah Walajama’ah adalah aliran pemahaman keagamaan yang bercita-cita mengamalkan syari’at Islam secara murni, sesuai yang dikehendaki oleh Allah. Mereka harus memahami wahyu yang bersifat ghaib dan disampaikan dalam ke-ghaib-an. Untuk itu tidak ada yang patut mengaku sebagai pengamal syari’at Islam secara mutlak benar kecuali Rasul, karena dialah yang menerima dan dituntun wahyu sesuai kehendak Allah.
Selain Rasul, para sahabat yang selalu dekat dengannya adalah umat Islam yang kwalitas pemahaman terhadap wahyu mendekati sempurna, karena mereka tahu persis bagaimana Nabi Muhammad memahami dan mengamalkan wahyu. Mereka yang disebut Ahlussunnah Waljama’ah.
Umat Islam dituntut memahami dan mengamalkan syari’at Islam sesuai kehendak Allah, sebagaimana diamalkan oleh Nabi dan para sahabatnya. Tetapi wahyu sudah tidak turun lagi, yang tinggal hanya catatan berupa mushaf al-qur’an, dan Nabi sebagai patron ajaran Islam sudah tiada, hanya meninggalkan sunnah, berupa ucapan, perbuatan dan ketetapan yang tercatat di dalam beberapa kitab hadis. Begitu juga para sahabat, hanya meninggalkan atsar, bekas, maka untuk memenuhi tuntutan tersebut umat Islam hanya dapat melakukannya melalui proses identifikasi terhadap pemahaman dan pengamalan ajaran Islam yang dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya. Sudah barang tentu, yang namanya identifikasi tidak akan sama persis. Oleh karena itu, para ulama mencoba untuk mengidentifikasi beberapa kelompok pemahaman yang hampir sama dengan amalan Nabi dan para sahabat, yang disebut Ahlussunnah Waljama’ah.[4]
Terdapat delapan kelompok pemahaman yang telah teridentifikasi oleh para ulama sebagai pendukung Ahlussunnah Waljama’ah. Yaitu, Ulama kalam seperti al-Asy’ari dan al-Maturidi, Ulama fikih seperti Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad Ibn Hanbal, al-Auza’iy, al-Tsauriy, Ibn Abi Laila dan Daud al-Dhahiriy. Ulama Hadis, para ahli bahasa seperti Sibawaihi, Farra’ dan Asmu’iy, Ahli ilmu qira’at. Ulama tasawuf, pejuang militer seperti Shalahuddin al-Ayyubiy, dan pendukung syi’ar Ahlussunnah Waljama’ah.
Namun demikian, ada yang membatasi Ahlussunnah Waljama’ah hanya berkaitan dengan fikih saja. Ahlussunnah Waljama’ah berarti beberapa orang yang melestarikan sunnah Rasul dan para sahabatnya. Mereka memakai kitab Allah, Sunnah Rasul, Ijma’ al-Ummat dan Qiyas, analogi, sebagai dalil syara’ dan memandangnya sebagai sumber istinbath hukum.[5] Bahkan berdasarkan sejarah, ada yang membatasi Ahlussunnah Waljama’ah hanya dalam bidang akidah, ushuluddin atau teologi saja, sehingga yang termasuk Ahlussunnah Walajama’ah hanya terdiri dari tiga kelompok.
Pertama, Ahl al-Atsar, pengikut Imam Ahmad Ibn Hanbal, dengan ciri membatasi beberapa kajiannya berdasarkan dalil naqliyah, al-Qur’an dan Hadis, dan sedikit sekali menggunakan dalil aqliyah. Mereka tidak mau mentakwilkan, menjelaskan, menggunakan rasio, terhadap beberapa ayat mutasyabihat, ayat yang memiliki kemungkinan arti atau makna lebih dari satu, juga tidak suka memastikan maknanya, menyerahkan secara bulat pengertian ayat mutasyabihat kepada Allah.
Kedua, al-Asya’irah, pengikut Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari. Golongan ini memperluas kajian masalah Ilmu Kalam, memakai dalil aqliyah lebih banyak meskipun tetap mempertahankan keunggulan dalil Naqliyah. Mereka kurang tertarik membahas beberapa ayat Mutasyabbihat sampai mendalam. Golongan ini menjadi mayoritas ummat sampai sekarang, karena pengaruh kegiatan penyebaran wawasannya, terutama melalui beberapa kitab pendukungnya.
Ketiga, al-Maturidiyah, pengikut Imam Abu Manshur al-Maturidi, dengan metode yang menyerupai golongan al-Asy’ariyah, malah dalam beberapa hal, lebih bebas menggunakan dalil akal dan banyak menggunakan takwil terhadap semua ayat Mutasyabbihat.

C. Paham Ahlussunnah Waljama’ah Menurut NU

Nahdlatul Ulama mencoba untuk mengakomodir Ahlussunnah Waljama’ah sebagaimana tersebut di atas dengan batasan yang lebih sederhana. Ahlussunnah Walajama’ah menurut NU adalah mereka yang mengikuti metode berpikir, manhaj al-fikr, di dalam bidang akidah mengikuti madzhab al-Asy’ari dan Maturidi, di dalam bidang fikih mengikuti salah stu Imam empat, yaitu: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali serta di dalam bidang tasawuf mengikti madzhab Junaid al-Baghdadi dan diteruskan oleh al-Ghazali yang tereduksi di dalam kitab Ihya’ Ulum al-Din.[6] Batasan tersebut diambil oleh NU karena:
Pertama, Syari’at Islam secara global dapat dibagi menjadi tiga aspek, yaitu syari’at dalam arti hukum, baik ibadah maupun mu’amalah, akidah dan tasawuf atau akhlak, baik yang berhubungan antara manusia dengan sesama manusia maupun hubungan antara manusia dengan Tuhan.
Kedua, NU mengambil jalan tengah di antara dua kutub ekstrim, yaitu antara rasioalis dengan tekstualis, karena jalan tengah atau moderat itu dianggap yang paling selamat di antara yang selamat, sehingga NU mengakui bahwa madzhab yang diikutinya mengandung kemungkinan lebih besar berada di dalam jalur kebenaran dan keselamatan. Hal ini juga dapat berarti bahwa kebenaran yang diikuti dan diyakini oleh NU hanya bersifat kemungkinan dan bukan kemutlakan, dalam arti mungkin benar dan bukan mutlak benar. Oleh karena kebenaran yang diikuti dan diyakini hanya bersifat mungkin, maka dapat berarti juga mungkin salah. Hal ini dapat dilihat pada alasan ketiga.
Ketiga, kebenaran yang didasarkan atas hasil identifikasi akal pikiran tidak ada yang mutlak, sehingga memungkinkan adanya beberapa alternatif pilihan sesuai dengan situasi dan kondisi. Beberapa alternatif pilihan tersebut dimungkinkan dalam rangka menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi lingkungan masyarakat setempat. Karena ajaran Islam bersifat universal dan berlaku sepanjang zaman, kapan saja dan di mana saja.
Keempat, Islam adalah rahmat bagi seluruh alam. Alam ini tidak sama di setiap lokasi. Dengan prinsip ini, maka Islam mesti dapat beradaptasi dengan budaya local. Artinya Islam tidak harus seragam di seluruh dunia, Islam menerima keragaman sesuai dengan budaya setempat. Oleh karena itu, Islam di Indonesia adalah Islam yang sesuai dengan budaya bangsa Indonesia.
Pemikiran NU dalam merumuskan paham Ahlussunnah Waljama’ah seperti tersebut di atas, dilatar belakangi oleh sejarah Islam masuk ke Indonesia. Islam yang masuk ke Indonesia bercorak sufistik, bermadzhab fikih Syafi’i dan berpaham teologi Asy’ariyah. Islam yang bercorak sufistik, menyebabkan Islam mudah diterima oleh bangsa Indonesia tanpa gejolak, yang sebelumnya bangsa Indonesia telah memiliki kepercayaan Hindu-Budha.[7] Begitu juga dengan madzhab Syafi’i di bidang fikih dan paham Asy’ariyah di bidang teologi, yang berkembang di Indonesia, mempengaruhi umat Islam Indonesia bersikap moderat antara tekstualis dan rasionalis. Sehingga Islam di Indonsia penuh dengan toleransi, adaptasi dan asimilasi terhadap budaya setempat.
Dalam pandangan NU, paham Ahlussunnah Waljama’ah juga berkaitan erat dengan faktor sejarah perkembangan Islam secara keseluruhan, dan faktor metodologis mulai awal Islam sampai hari ini.
Faktor sejarah, mengacu kepada sekelompok sahabat dan generasi sesudahnya yang selalu bersikap tawasuth, mengambil jalan tengah, tawazun, seimbang, di dalam menyelesaikan setiap persoalan, dan bersikan tasamuh, toleran, adil, netral, di dalam menghadapi perselisihan.
Pada saat terjadi perselisihan politik antara sahabat Ali Ibn Abi Thalib dengan Muawiyah Ibn Abi Sufyan, telah terdapat beberapa sahabat yang netral dan menekuni bidang keilmuan. Sikap netral seperti itu juga dilanjutkan oleh beberapa tokoh tabi’in dan tabi’ al-tabi’in.
Sejak kematian Ali Ibn Abi Thalib pada tahun 40 H. atau 661 M. umat Islam telah terpecah menjadi tiga golongan. Yaitu:
1. Golongan Syi’ah yang mencintai Ali dan keluarganya serta membenci Muawiyah Ibn Abi Sufyan.
2. Golongan Khawarij yang tidak memihak kepada Ali Ibn Abi Thalib maupun Muawiyah, bahkan memusuhi keduanya.
3. Sebagian kaum muslimin yang mengakui kekhalifahan Muawiyah.
Dalam kondisi seperti ini terdapat sejumlah sahabat antara lain: Ibn Umar, Ibn Abbas, Ibn Mas’ud dan lain-lain, yang menghindarkan diri dari konflik dan menekuni bidang keilmuan dan keagamaan.
Dari kegiatan mereka inilah kemudian lahir sekelompok ilmuan sahabat, yang mewariskan tradisi keilmuan itu kepada generasi berikutnya. Selanjutnya melahirkan para muhadditsin, ahli Hdits, Fuqaha’, para ahli fikih, mufassirin, para ahli tafsir, dan mutakallimin, para ahli ilmu kalam. Kelompok ini selalu berusaha untuk mengakomodir semua kekuatan, model pemikiran yang sederhana, sehingga mudah diterima oleh mayoritas umat Islam.
Faktor metodologis, berkaitan erat dengan pemahaman ajaran Islam. Bahwa untuk memahami ajaran Islam secara benar, harus melalui mata rantai pewarisan pemahaman secara benar dan dapat dipertanggung jawabkan.
Kebenaran mata rantai pewarisan pemahaman ajaran Islam, dapat diukur dengan kesinambungan hubungan guru-murid secara langsung sampai kepada Nabi. Untuk memahami ajaran Islam yang berupa wahyu, secara benar tidak cukup hanya melalui beberapa catatan mushaf al-qur’an dan beberapa catatan hadits, tetapi harus juga melalui jalur penghayatan yang berupa sikap dan perilaku. Hal itu dapat dicapai hanya dengan melihat dan terlibat langsung dalam penghayatan dan pengamalan antara yang mewariskan dan yang mewarisi. Oleh karena itu, perlu madzhab, yaitu jaringan pemahaman ajaran Islam.
Kebenaran yang dapat dipertanggung jawabkan, diukur dari metode yang dipakai atau jalan pikiran yang ditempuh seseorang untuk sampai kepada kesimpulan pendapat mengenai penghayatan dan pengamalan tersebut, sehingga dapat diuji kebenarannya. Hal itu dapat dicapai melalui dokumen yang benar berupa beberapa buku atau beberapa kitab yang telah tertulis, sehingga dapat dicek kebenarannya oleh siapa saja dan kapan saja.

D. Penutup

Pemahaman NU terhadap ahlussunnah waljama’ah dapat diringkas dengan cukup sederhana, yaitu: syuhud ain al-syari’ah, moderasi antara akal dan nakl dan hakekat kebenaran.
Syuhud ain al-syari’ah, berarti bahwa yang tahu persis tentang bentuk dan rahasia syari’ah hanyalah Allah, yang selanjutnya diberitahukan kepada Rasul melalui wahyu secara rahasia. Selanjutnya Rasul melakukan syari’ah tersebut diikuti oleh para sahabat, diteruskan kepada tabi’in, tabi’ al-tabi’in dengan cara yang sama, sampai kepada para ulama dan umat secara keseluruhan, sambung sinambung sampai hari ini.
Moderasi antara akal dan nakl, berarti bahwa di dalam memahami dan mengamalkan syari’ah harus menggunakan segala sumber dan potensi, baik berupa wahyu maupun akal. Keduanya harus digunakan secara seimbang. Sebab wahyu tanpa akal tidak mungkin dapat dipahami dan diterima, begitu juga akal tanpa wahyu tidak mungkin mengetahui syari’ah sesuai yang dikehendaki oleh Allah. Oleh karena itu akal dan wahyu harus digunakan secara seimbang dalam rangka mengetahui dan memahami maksud syari’ah yang dikehendaki Allah.
Sedangkan hakekat kebenaran menurut NU adalah bahwa kebenaran yang hakiki adalah kebenaran yang bersumber pada wahyu. Kebenaran wahyu bersifat mutlak, sedangkan kebenaran yang dihasilkan oleh akal pikiran bersifat nisbi, relatif. Dengan demikian tidak ada klaim yang paling benar terhadap keputusan akal pikiran. Keputusan akal pikiran hanya mampu menciptakan beberapa alternatif yang bersifat sementara, sehingga memungkinkan adanya beberapa pilihan. Beberapa pilihan tersebut disesuaikan dengan tempat, situasi dan kondisi. Oleh karena itu NU sangat menghargai perbedaan dan penuh toleransi.
Demikian makalah singkat ini dibuat dengan segala keterbatasan, semoga ada guna dan manfaatnya. Amin.

[1] Martin Van Bruenessen, NU Tradisi, Relasi-relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru, (Jogyakarta : Lkis 1994), Cet. I, Hal. 150.
[2] Donald Eugene Smith, Politics and Sicial Change in the Thrith World, (Macmillan Publishing : The Free Press, Co., Inc. 1974), Hal. 57-66.
[3] M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia Pendekatan Fikih Dalam Politik, (Jakarta: PT.Gramdia Pustaka Utama 1994) Hal. 41-3.
[4] Einar Martahan Sitompul, Nahdlatul Ulama Dan Pancasila, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan 1996) Hal.70.
[5] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta : LP3ES 1982) Hal.148-160.
[6] Ibid., Hal.149.
[7] Einar Martahan Sitompul, Op. Cit., Hal.36-7.

AGAMA DAN MASYARAKAT MADANI (Rujukan Khusus Tentang Sikap Budaya, Agama dan Politik)

Oleh :
Achmad Jainuri
(Dosen Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya)
Abstrak: Pokok pembahasan dalam tulisan ini adalah diskursus mengenai masyarakat madani, dengan merujuk pada dasar-dasar teologis dan pengalaman kesejarahan umat Islam, terutama pada masa Nabi Muhammad Saw. Masyarakat madani, bagi sebagian kalangan dapat disepadankan dengan konsep civil society, seperti yang banyak dibicarakan di Barat. Wacana masyarakat madani menjadi sedemikian ramai dibicarakan justru bermula dari tiadanya padanan kata yang tepat bagi istilah masyarakat madani. Menyepadankan masyarakat madani dengan civil society, juga bukan solusi yang memuaskan. Sebab, masyarakat madani dan civil society memang lahir dari dua peradaban yang berbeda. Masyarakat madani lahir dan berkembang dalam lingkungan Arab-Islam, sementara civil society di Barat. Namun demikian, menurut penulis, berdasarkan nas al-Qur’a>n dan Hadi>th serta pengalaman kesejarahan umat Islam jelas menunjukkan bahwa masyarakat muslim telah memiliki dasar-dasar dan pengalaman dalam menegakkan masyarakat madani yang dijiwai oleh semangat pluralisme, demokrasi, egalitarianisme, dan toleransi. .

Kata kunci; masyarakat madani, civil society, piagam madinah
Pendahuluan
Tiadanya tatanan sosial politik yang mapan bisa menghancurkan kehidupan berbangsa, menghancurkan demokrasi dan hilangnya keadilan, kemerdekaan, persamaan serta hak asasi manusia lainnya. Pengalaman perjalanan sejarah bangsa Indonesia selama lebih setengah abad menunjukkan ketiadaan seperti yang dimaksudkan. Oleh karena itu, upaya penataan kembali sistem kehidupan berbangsa secara mendasar dilakukan dengan mencari rumusan baru yang diharapkan bisa menjamin tegaknya demokrasi, keadilan, HAM, toleransi, serta plularisme.
Di antara sumber utama rumusan itu, agama (Islam) menjadi rujukan sangat penting, setelah sekian lama ada keengganan menjadikan agama sebagai rujukan validasi pandangan hidup sosial politik. Tulisan ini tidak membicarakan penyikapan agama terhadap konsep “masyarakat madani”, tetapi mencoba memaparkan dasar-dasar teologis filosofis tentang elemen utama “masyarakat madani” yang ada dalam wawasan Islam, di samping pengalaman praktis dalam sejarah masyarakat Muslim. Karena itu sikap budaya (cultural attitude) dan sikap keagamaan (religious attitude) serta pengakuan atas hak-hak asasi manusia (human rights) merupakan unsur yang sangat penting untuk dibicarakan. Selain itu, coba didiskusikan pula wawasan Islam tentang politik yang memberikan nilai-nilai dasar kehidupan berdemokrasi. Semua elemen ini menjadi pilar penting tegaknya institusi sosial yang menjamin munculnya “masyarakat madani”.


Masyarakat Madani : Masalah Pluralisme dan Toleransi
Mencari padanan kata “masyarakat madani” dalam literatur bahasa kita memang agak sulit. Kesulitan ini tidak hanya disebabkan adanya hambatan psikologis untuk menggunakan istilah-istilah tertentu yang berbau Arab-Islam, tetapi juga karena tiadanya pengalaman empiris diterapkannya nilai-nilai “madaniyah” dalam tradisi kehidupan sosial dan politik bangsa. Namun banyak orang menyepadankan istilah ini dengan civil society, societas civilis (Romawi) atau koinonia politike ( Yunani). Padahal istilah “masyarakat madani” dan civil society berasal dari dua sistem budaya berbeda. Masyarakat madani merujuk tradisi Arab-Islam, sedang civil society pada tradisi Barat non-Islam. Perbedaan ini bisa memberikan makna berbeda apabila dikaitkan dengan konteks asal istilah itu muncul.
Oleh karena itu, pemaknaan lain di luar derivasi konteks asalnya akan merusak makna aslinya. Ketidaksesuaian pemaknaan ini tidak hanya menimpa kelompok masyarakat yang menjadi sasaran aplikasi konsep tersebut, tetapi juga para interpreter yang akan mengaplikasikannya. Hal lain yang berkaitan dengan perbedaan aplikasi kedua konsep masyarakat ini adalah bahwa civil society telah teruji secara terus-menerus dalam tatanan kehidupan sosial-politik Barat hingga mencapai maknanya yang terakhir, yang turut membidani lahirnya peradaban Barat modern. Sedangkan masyarakat madani seakan merupakan keterputusan konsep ummah yang merujuk pada masyarakat Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad. Idealisasi tatanan masyarakat Madinah ini didasarkan atas keberhasilan Nabi mempraktekkan nilai-nilai keadilan, ekualitas, kebebasan, penegakan hukum, dan jaminan kesejahteraan bagi semua warga serta perlindungan terhadap kaum lemah dan kelompok minoritas. Meskipun secara ideal eksistensi masyarakat Madinah ini hanya sebentar tetapi secara historis memberikan makna yang sangat penting sebagai rujukan masyarakat di kemudian hari untuk membangun kembali tatanan kehidupan yang sama. Dari pengalaman sejarah Islam masa lalu ini, masyarakat Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad secara kualitatif dipandang oleh sebagian kalangan intelektual muslim[1] sejajar dengan konsep civil society.
Dasar tatanan masyarakat madani memperoleh legitimasi kuat pada landasan tekstual (nas) al-Qur’an maupun Hadith dan praktik generasi awal Islam. Landasan ini tercermin dalam sikap budaya dan agama (cultural and religious attitude) seperti toleran dan pluralis, serta pengakuan atas hak-hak asasi manusia. Fazlur Rahman (1980), misalnya mengidentifikasi sikap ini dari simpulan makna beberapa ayat al-Qur’an yang menegaskan; “Karena semua ajaran Nabi berasal dari sumber yang sama, maka Nabi Muhammad memerintahkan ummatnya untuk meyakini semua wahyu Allah SWT. yang diturunkan kepada para Nabi”. Al-Qur’an mengatakan bahwa Muhammad meyakini, tidak hanya Kitab Taurat dan Injil tetapi juga kepada semua yang diturunkan Allah SWT.[2]
Dalam pandangan al-Qur’an, kebenaran serta petunjuk Tuhan tidak terbatas pada kaum tertentu tetapi secara universal berlaku untuk semua ummat manusia; “Tidak ada suatu ummat pun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan;”[3] karena bagi tiap-tiap kaum ada orang yang memberi petunjuk.[4] Fazlur Rahman mengatakan bahwa kata “kitab” yang sering digunakan dalam al-Qur’an tidak untuk menunjuk kitab wahyu tertentu tetapi merupakan istilah generik yang menjelaskan totalitas wahyu Allah SWT.[5]
Prinsip lain dalam al-Qur’an yang bisa dijadikan dasar pluralitas beragama ini seperti dikatakan: “Sekiranya Allah SWT. menghendaki, niscaya kamu dijadikannnya satu ummat (saja), tetapi Allah SWT. hendak menguji kamu terhadap pemberianNya kepadamu, maka berlomba-lombalah dalam kebajikan,[6] al-Qur’an juga menantang semua ummat beragama untuk berkompetisi dalam kebajikan:[7] “Katakanlah! Hai Ahli Kitab! Marilah kepada suatu kalimat (keterangan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah SWT. dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain dari pada Allah SWT.[8]
Tantangan dan ajakan ini memang ditujukan kepada orang-orang Yahudi dan Kristen sebagai ahl al-kitab, namun sebagian kaum muslim sekarang ini memahami bahwa ajakan ini juga termasuk kaum Hindu dan Budha. Konklusi logis yang bisa ditarik dari beberapa ayat yang disebutkan di muka adalah bahwa karena penganut agama-agama lain juga menyembah Tuhan (Islam), karena ampunan dan pahala di Hari Akhir nanti pasti akan diberikan Tuhan kepada mereka yang umumnya secara moral benar, dan karena kaum muslimin menghormati para pengikut agama lain dan memperlakukan mereka dengan kasih sayang atau toleran terhadapnya. Nabi bahkan diperintahkan untuk bersikap bijaksana terhadap orang-orang kafir meskipun mereka ini menolak kenabiannya.
Sikap toleran dan pluralis seorang muslim terhadap agama dan pendapat pemeluk agama lain jelas mendapat legitimasi dari ayat-ayat al-Qur’an dan preseden yang dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya. Salah satu tindakan pertama Nabi untuk mewujudkan masyarakat Madinah ialah menetapkan dokumen perjanjian yang disebut Piagam Madinah (Mithaq al-Madinah), atau terkenal dengan “Konstitusi Madinah”. Hamidullah menyebutkan bahwa Piagam Madinah merupakan konstitusi tertulis pertama yang ada di dunia, yang meletakkan dasar-dasar pluralisme dan toleransi. Dalam Piagam tersebut ditetapkan adanya pengakuan kepada semua warga Madinah, tenpa memandang perbedaan agama dan suku, sebagai anggota ummat yang tunggal (ummah wahidah), dengan hak dan kewajiban yang sama.[9]
Meskipun prinsip Piagam Madinah ini tidak dapat sepenuhnya terwujud, karena pengkhiatanan beberapa komunitas Yahudi di Madinah saat itu, namun semangat dan maknanya dipertahankan dalam berbagai perjanjian yang dibuat kaum Muslim di berbagai daerah yang telah dibebaskan tentara Islam.[10] Semangat ini terus menjiwai pandangan sosial, politik, dan keagamaan masyarakat Muslim. Dalam perjalanan sejarah ummat Islam juga ditemukan prinsip dasar sikap budaya dan agama serta hak-hak asasi manusia yang pernah dipraktekkan secara berbeda, sehingga berdampak buruk terhadap mereka yang oposan terhadap dan berlainan keyakinan dengan penguasa.
Penyimpangan atas norma dasar toleransi dan pluralitas serta hak-hak asasi manusia ini ditengarai karena kuatnya kepentingan kelompok elite penguasa Muslim tertentu yang pada akhirnya juga mengakibatkan tidak terformulasikannya wawasan politik Islam secara benar sesuai dengan perjalanan periode sejarah pemerintahan Islam. Setelah masa Khulafa’ al-Rashidin (40 H/661 M) adalah ‘Umar ibn ‘Abd al-Aziz, seorang khalifah Dinasti Umaiyah yang memerintah antara tahun 717-720, yang telah mencoba mengembalikan tatanan kehidupan sosial-politik dengan merujuk pada contoh masa Nabi dan Khulafa’ al-Rashidin sebagai the Islamic era par-excellence. Hal penting yang dilakukan di antaranya adalah pengembalian hak sipil dari beban pajak yang memberatkan, dan menata kembali infrastruktur politik yang dinilai tidak sesuai lagi dengan perkembangan kehidupan sosial-politik saat itu. Konsolidasi politik ini mencapai momentumnya dengan dikembalikannya hak demokrasi kepada rakyat. Meskipun telah ditunjuk untuk mewarisi jabatan khalifah dari pamannya, Sulaiman, namun jabatan tersebut diserahkan kembali kepada rakyat untuk memilihnya. Ini adalah sebuah keputusan politik yang berlawanan dengan tradisi yang telah berlangsung selama 56 tahun, yang melestarikan sistem suksesi kepemimpinan melalui warisan turun-temurun. Reformasi politik yang dilakukan ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz merambah pada pemangkasan dominasi kekuasaan keluarga Bani Umaiyah pada jajaran elite birokrasi, dan memberikan kesempatan umum untuk mendudukinya. Kebijakan baru yang dilakukan Umar ini mendapat perlawanan keras dari kalangan keluarganya sendiri, Bani Umaiyah, yang selama setengah abad lebih menikmati kekuasaan dan kekayaan negara. Mengakarnya KKN dalam tradisi kekuasaan pemerintahan Bani Umaiyah menjadikan upaya reformasi Umar ini tidak berlangsung lama, seiring dengan meninggalnya khalifah yang arif ini pada 720. Ia hanya memerintah kurang lebih selama dua tahun tiga bulan, dan oleh beberapa sumber disebutkan bahwa ia meninggal karena diracun keluarga sendiri. Sejak saat itu dunia politik Islam kembali diwarnai praktik oligarchy yang cenderung menggunakan kekuasaannya dengan cara-cara menyakitkan (despotic rule).


Wawasan Politik Islam
Masyarakat madani yang dicontohkan oleh Nabi pada hakikatnya adalah reformasi total terhadap masyarakat yang hanya mengenai supremasi kekuasaan pribadi seorang raja seperti yang selama itu menjadi pengertian umum tentang negara.[11] Meskipun secara eksplisit Islam tidak berbicara tentang konsep politik, namun wawasan tentang demokrasi yang menjadi elemen dasar kehidupan politik masyarakat madani bisa ditemukan di dalamnya. Wawasan yang dimaksud tercermin dalam prinsip persamaan (equality), kebebasan, hak-hak asasi manusia, serta prinsip musyawarah.
Prinsip persamaan bisa ditemukan dalam suatu ide bahwa setiap orang, tanpa memandang jenis kelamin, nasionalitas, atau status semuanya adalah makhluk Tuhan. Dalam Islam Tuhan menegaskan; “Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa.”[12] Nilai dasar ini dipandang memberikan landasan pemahaman, di mata Tuhan manusia memiliki derajat sama. Pemahaman inilah yang kemudian muncul dalam Hadith Nabi yang menegaskan bahwa tidak ada kelebihan antara orang Arab dan orang yang bukan Arab.
Dari sini kemudian dipahami bahwa Islam memberikan dasar konsep tentang ekualitas. Berbeda dengan konsep ekualitas yang ada pada masyarakat Yunani, ekualitas yang ada dalam Islam, misalnya bukan menjadi subordinasi dari keadaan apa pun yang datang sebelumnya. Ekualitas menurut orang-orang Yunani hanya berarti dalam tatanan hukum. Dalam hal ini Hannah Arendt mengatakan, bukan karena semua manusia lahir dalam keadaan sama, tetapi sebaliknya karena manusia pada dasarnya memang tidak sama. Karena itu ia memerlukan sebuah institusi artifisial, polis, untuk membuatnya sama. Persamaan ini hanya ada di bidang politik, yang memungkinkan orang bertemu satu sama lain sebagai warga negara dan bukan sebagai pribadi orang secara individual. Perbedaan antara konsep ekualitas Yunani kuno dengan Islam terletak pada ide bahwa manusia lahir dan diciptakan sama dan menjadi tidak sama karena nilai sosial dan politik, yang merupakan institusi buatan manusia. Ekualitas yang terdapat dalam masyarakat Yunani merupakan sebuah atribut kemasyarakatan dan bukan perorangan, yang memperoleh ekualitasnya berbadasarkan nilai kewarganegaraan dan bukan diperolehnya sejak lahir.[13] Meskipun dalam Islam ditemukan bahwa equalitas juga terkait dengan pra-kondisi politik, yaitu keanggotaan di dalam ummah, tetapi pra-kondisi ini bisa dicapai oleh setiap orang hanya dengan jalan menyatakan masuk Islam. Sementara dalam tradisi Yunani, jalan untuk mencapai dunia politik, yang merupakan pra-kondisi nilai ekualitas, hanya mungkin dilakukan oleh mereka yang memiliki kekayaan dan budak belian sebuah kelebihan yang tidak dimiliki oleh orang kebanyakan.
Perbedaan antara Islam dan Barat klasik mengenai konsep ekualitas sebagian tergambar dalam terminologi politik dari dua macam budaya ini. Al-Qur’an hanya menyebutkan manusia (insan), tidak membedakan keyakinan dan politik yang dianutnya, tetapi tidak menyebut kata warga negara. Oleh karena itu kaum Muslimin di zaman modern ini mencoba menemukan konsep warga nagara ini dengan kata muwatin (Arab), yang jelas merupakan istilah baru. Meskipun demikian, hak politik individu tidak banyak didefinisikan dalam sumber-sumber tradisional pemikiran politik Islam. Posisi manusia sendiri, dalam masa pra-sosialnya, memperoleh tempat yang tinggi dalam al-Qur’an sebagai “Wakil Tuhan di bumi.”[14] Sebaliknya bagi rakyat Romawi, kata Latin homo, yang berarti manusia, tidak menunjuk pada sesuatu kecuali manusia, seorang yang tidak memiliki hak, dan karenanya disamakan statusnya dengan budak.
Jika demokrasi dimaksudkan sebagai sebuah sistem pemerintahan yang menentang keditaktoran, Islam bisa bertemu dengan demokrasi karena di dalam Islam tidak ada ruang bagi putusan hukum sepihak yang dilakukan oleh seorang atau kelompok tertentu. Dasar semua keputusan dan tindakan dari sebuah negara Islam bukan ide mendadak dari seorang tetapi adalah shari’ah, yang merupakan sebuah perangkat aturan yang tertuang dalam al-Qur’an dan tradisi Nabi. Shari‘ah adalah salah satu manifestasi dari kebijakan Ilahi, yang mengatur semua fenomena yang ada di alam, materi maupun spiritual, natur maupun sosial. Beberapa istilah di dalam al-Qur’an menjelaskan karakter normatif tentang kebijaksanaan Tuhan ini seperti sunnatullah (hukum Allah SWT atau orang sering menyebutnya dengan “hukum alam”), mizan (timbangan), qist dan ’adl (keduanya berarti adil). Pada tingkat yang abstrak, semua ekspresi tersebut bisa memenuhi persyaratan awal demokrasi, yaitu tegaknya hukum. Beberapa penulis menyatakan, karena alasan ini sebuah negara Islam mestinya disebut bukan teokrasi, tetapi adalah sebuah nomocracy.
Perbedaannya memang tidak terlalu mencolok karena apa yang dipandang suci dan mengikat dalam Islam bukan hukum pada umumnya, tetapi hanya hukum yang datang dari Tuhan. Islam sesungguhnya menegaskan perlunya pemerintahan berdasarkan norma dan petunjuk jelas, bukan berdasar pada preferensi perorangan. Bagi kalangan Barat dan kelompok Muslim tertentu, penggalian konsep hukum buatan manusia dari wawasan syari’ah dipandang sebagai sebuah cara yang kurang memuaskan untuk merumuskan sebuah elemen rekayasa sosial. Namun demikian, harus diakui bahwa seseorang sesungguhnya tidak menemukan banyak kelemahan dengan cara ini, kecuali apa yang mungkin dianggap kuno. Karena dalam sejarah pemikiran politik Barat konsep hukum modern juga merupakan sebuah produk perkembangan perdebatan abad pertengahan mengenai sifat kebijaksanaan Tuhan. Gagasan hukum sebagai “sebuah tatanan rasional yang menyangkut kebaikan umum dan ketenteraman masyarakat” telah dibicarakan oleh St. Thomas Aquinas[15] dari persepsi akal Tuhan sebagai satu-satunya sumber yang memancarkan semua tingkat kosmis dan tatanan.


Kebebasan dan Hak Asasi Manusia
Disamping elemen seperti yang disebutkan di atas, Islam juga menekankan kebebasan dan hak-hak asasi manusia, dua komponen yang menjadi ciri penting masyarakat madani. Menjadi seorang mukmin yang baik, orang harus bebas merdeka. Apabila keyakinan seseorang karena paksaan, maka keyakinan yang dimiliki itu bukan merupakan keyakinan sesungguhnya. Dan jika seorang Muslim secara bebas menyerahkan diri kepada Tuhan, ini tidak berarti bahwa ia telah mengorbankan kebebasannya. Karena pilihan untuk menyerahkan diri itu semata didasarkan atas kebebasan yang dimilikinya. Hal ini karena, di sisi lain Tuhan juga menegaskan kepada manusia untuk bebas memilih taat atau tidak kepada perintahNya.
Dasar ajaran mengenai kebebasan ini memperoleh momentum penting dalam sejarah umat manusia, yang selalu diwarnai oleh tindakan pembelengguan hak serta kebebasan manusia. Sejarah mencatat bahwa mereka yang menjadi sasaran ketidakadilan selalu berada pada pihak kaum yang lemah. Budak oleh tuannya, kaum miskin oleh mereka yang kaya, rakyat oleh penguasa, yang bodoh oleh pandai, yang miskin spiritual dan agama oleh kaum pendeta dan ulama. Dunia seakan-akan tidak pernah kosong dari tindakan semena-mena manusia terhadap sesamanya. Dalam kekaisaran Romawi Kuno sejarah menyaksikan bagaimana bayi yang lahir dalam keadaan cacat sering menghadapi resiko mati karena kebijakan kaisar yang menghendaki keperkasaan karena tuntutan perang. Di Mesir Kuno pernah diberlakukan perintah untuk membunuh bayi laki-laki hanya karena Fir’aun takut tergeser dari singgasananya. Sebaliknya di Arab Jahiliyah, wanita dianggap tidak ada nilainya untuk sebuah harga diri bagi kehidupan bersuku, akibatnya setiap bayi perempuan lahir harus dikubur hidup-hidup.
Pengalaman hidup manusia seperti disebut di atas dan kondisi masyarakat Arab sewaktu Islam muncul, yang sarat dengan perbudakan, memberikan suatu pemahaman bahwa secara sistematis makna bebas (h}urr) yang dimaksudkan oleh Islam itu berlawanan dengan budak (‘abd). Bukankah salah satu misi penting sosial Islam adalah membebaskan perbudakan. Selain wawasan kebebasan yang dimaksud ini, sejak periode awal Islam beberapa pemikir Muslim juga mengembangkan doktrin ikhtiyar (pilihan atau kebebasan kehendak), yang merupakan sebuah pra kondisi substantif diterimanya konsep kebebasan seperti yang dipahami filsafat politik Barat.


Prinsip Musyawarah
Al-Qur’an tidak mentolerir adanya perbedaan antara satu dengan yang lain, laki-laki atau wanita atas dasar partisipasi yang sama dalam kehidupan bermasyarakat. Sejalan dengan ini al-Qur’an menegaskan tentang prinsip syura (musyawarah) untuk mengatur pembuatan keputusan yang dilakukan masyarakat madani. Sayangnya, selama berabad-abad di kalangan kaum Muslimin telah tumbuh kekeliruan fatal dalam menafsirkan karakteristik syura ini. Mereka memahami bahwa syura sama dengan seorang penguasa berkonsultasi dengan orang-orang yang menurut pandangan mereka, yang sangat bijaksana dengan tidak ada keharusan untuk mengimplementasikan nasehat mereka. Pandangan ini menurut Fazlur Rahman, jelas merusak makna syura itu sendiri. Al-Qur’an dengan jelas menyebutkan; “…sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka…. .”[16] Yang dimaksud dengan “urusan mereka” adalah bukan individu, kelompok, atau elit tertentu, tapi “urusan masyarakat pada umumnya” dan milik masyarakat secara keseluruhan. Dan “musyawarah antara mereka” yaitu urusan mereka itu dibicarakan dan diputuskan melalui saling konsultasi dan diskusi, bukan diputuskan oleh seorang individu atau elit yang tidak dipilih oleh masyarakat, dari sini dipahami bahwa syura tidak sama maknanya dengan “seorang minta nasehat dengan orang lain”, tetapi saling menasehati melalui diskusi dalam posisi yang sama. Secara langsung ini berarti, kepala negara tidak boleh menolak begitu saja keputusan yang diambil melalui musyawarah.[17]
Kondisi yang mempengaruhi perkembangan doktrin musyawarah dan kekhalifahan yang telah menimbulkan konsepsi keliru seperti yang baru disebut di atas, pada dasarnya adalah persoalan sejarah dan karenanya tidak bisa dihubungkan dengan al-Qur’an. Pada masa Nabi Muhammad, kekuasaan utama memang ada pada Nabi, dan putusan yang dibuatnya mengikat bagi semua Muslim. Kecuali dalam urusan agama, hal-hal yang menyangkut dengan kehidupan sosial dan politik, Nabi sering melakukan musyawarah dengan para sahabat. Setelah dia, dan terutama selama perluasan daerah Islam berlangsung, musyawarah menjadi persoalan informal yang dipakai Khalifah sebagai media konsultasi dengan para sahabat Nabi. Formalisasi dan pelembagaan musyawarah ke dalam badan perwakilan tidak mungkin terwujud karena tuntutan untuk berperang masih terus berlanjut, baik karena cepatnya kemenangan yang mereka peroleh maupun karena persoalan internal di kalangan militer sendiri.
Selama masa pemerintahan Bani Umayah (41-132/661-770), tuntutan semacam ini tidak hanya terbatas pada perluasan penaklukan tetapi juga termasuk konsolidasi politik-militer ke dalam, sepanjang sejarah pemerintahan Umayah terjadi pemberontakan yang terus-menerus. Pemerintahan Umaiyah merubah sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pemerintahan terdahulu dengan memaksakan logika politiknya sendiri, yang dalam beberapa hal, tidak memberikan kesempatan adanya partisipasi masyarakat. Kalau ada musyawarah, maka institusi ini hanya dilakukan dengan mereka yang mendukung rezim penguasa. Kenyataannya musyawarah kemudian menjadi komoditas clique yang al-Qur’a>n sendiri melarangnya. Perkembangan inilah yang kemudian mewarnai hubungan antara penguasa dan rakyat, yakni hubungan yang pada dasarnya berasal dari atas ke bawah, yang sesungguhnya bertentangan dengan makna syura itu sendiri.
Meskipun demikian tuntutan bai’ah, pernyataan menganggap sahnya pemerintahan khalifah, terus berlanjut selama pemerintahan Umaiyah. Periode ini juga ditandai berkembangnya hukum Islam dan teori hukum yang dilakukan para individu ulama. Hasil-hasil hukum ini kemudian diimplementasikan melalui sistem hukum negara selama pemerintahan Bani Abbasyiyah. Sementara Syi’ah mengembangkan doktrin kepemimpinan imam sebagai sumber petunjuk dan pemimpin tertinggi pada teoritisi, Sunni menekankan perlunya pemilihan khalifah dan pembatas fungsinya pada jabatan kepala negara, bukan agama. Meskipun mereka ini berbeda mengenai jumlah orang yang mewakili untuk mengangkat seorang Khalifah, namun mereka setuju prinsip-prinsip pemilihan itu harus ditegakkan. Masyarakat bisa menuntut hak mereka dari seorang Khalifah jika ia memaksakan diri atau mengambil kekuasaan itu secara tidak sah. Masyarakat juga berhak untuk tidak mematuhi dan bahkan memaksa pemimpin yang tidak sah ini untuk turun tahta.
Orang yang dipercaya dalam hal penyelenggaraan pemilihan dan memberikan nasehat pada Khalifah umumnya adalah kelompok yang memiliki pengaruh serta dihormati masyarakat, yang disebut ahl al-hall wa al-‘aqd. Karena prinsip syura telah hilang sebelum berkembang menjadi istitusi, maka tumpuan harapan pada institusi ahl al-h}all wa al-‘aqd merupakan satu-satunya alternatif yang memungkinkan. Apa yang sesungguhnya mengurangi pemikiran institusi politik sunni ini adalah karena penekanan oleh para teoritisi tentang pendapat yang mengatakan bahwa “pemberontakan sekalipun pada pemerintahan tirani adalah dilarang oleh Islam”. Memang jalan satu-satunya untuk menghentikan pemberontakan dan pelanggar hukum serta tatanan – ini alasan sebenarnya yang ada di balik posisi Sunni – adalah berlangsungnya musyawarah dalam bentuk praktis. Dan ini yang tidak terjadi dalam pengalaman sejarah. Pengalaman ini kemudian mewarnai perkembangan politik Islam di kemudian hari, seperti yang terjadi pada masa kesultanan, dan kemudian munculnya kekaisaran Islam pada akhir abad pertengahan. Semua ini menggambarkan adanya perbedaan mencolok antara cita-cita yang digambarkan dalam al-Qur’a>n dengan kenyataan sejarah, yang telah meniadakan partisipasi langsung dari masyarakat dalam urusan pemerintahan.


Demokrasi di Era Modern Islam
Dampak praktik kehidupan politik Islam pada abad pertengahan nampaknya masih membekas dalam kehidupan bernegara di dunia Islam sekarang ini. Meskipun dunia Muslim sekarang sudah terbebas dari dominasi asing (secara fisik) dan memiliki pemerintahan sendiri, tetapi hampir semuanya dihadapkan pada problem internal, yaitu “kurang demokratis”. Kecuali Turki, kata Bernard Lewis, semua negara yang mayoritas penduduknya Muslim dimpin oleh variasi dari rezim otoriter, otokrasi, despotis, dan sebangsanya.[18] Dari kalangan sosiolog dunia Islam digambarkan telah mengalami masa transisi dari masyarakat yang berorientasi pada ekonomi moneter dan masyarakat demokratis, kepada sebuah masyarakat agraris dan rejim militer.[19] Dua kecenderungan itu mencerminkan watak yang berbeda, yang pertama lebih bersifat dinamis dan rasional sedang yang kedua menggambarkan sifat tertutup. Gambaran seperti yang disebutkan di atas itu seakan-akan mengasumsikan bahwa Islam tidak mengenal pemerintahan demokrasi. Meskipun benar diakui bahwa konsep demokrasi masih juga menjadi salah satu isu perdebatan antara yang setuju dan yang menentang.
Sejak kira-kira abad ke-19, beberapa pemimpin reformis Muslim menyatakan bahwa untuk mengimplementasikan Islam dalam sektor kehidupan umum, pemerintahan harus ditegakkan berdasarkan kehendak rakyat banyak. Salah satu alasan menjadi pertimbangan kaum reformis seperti Jamal al-Din al-Afghani adalah karena tanpa partisipasi rakyat di dalam pemerintahan, negara Islam tidak akan kuat menghadapi tekanan Barat. Alasan yang lain, agar kemajuan internal bisa dicapai, karena tanpa kemajuan negara Islam akan tetap lemah, maka partisipasi masyarakat diperlukan. Namik Kemal (1840-1888), seorang tokoh gerakan Usmani Muda pada akhir abad ke-19, dalam membicarakan masalah shura, mengemukakan pertanyaan mengenai legitimasi pemerintahan tanpa dukungan rakyat. Jika seseorang, kata Kemal, mengangkat dirinya sendiri sebagai seorang hakim hanya berdasarkan deklarasinya sendiri dan bukan ddiangkat pejabat yang berwenang, maka klaimnya tidak sah. Lalu bagaimana dengan orang yang mendeklarasikan dirinya sendiri sebagai seorang penguasa, memerintahkan perang dan damai atas nama rakyat, dan membebankan pajak atas diri rakyat tanpa persetujuan rakyat?
Dalam kasus jaman kekaisaran Usmani, keberatan yang diajukan oleh mereka yang menentang bentuk pemerintahan demokrasi adalah disebabkan oleh suatu alasan bahwa rakyat secara umum, karena ketidaktahuannya tidak bisa memilih para wakil mereka yang tepat dan bahwa para wakil itu sendiri, karena mereka juga tidak tahu, tidak bisa diharapkan untuk membedakan mana yang benar dan salah dan memutuskan undang-undang secara tepat. Keberatan ini terutama diajukan oleh orang-orang Turki yang ingin mempertahankan kekuasaan Sultan dalam kekaisaran Usmani melawan para pemimpin gerakan konstitusi. Terhadap keberatan ini, Namik Kemal menjawab bahwa diberbagai daerah kekuasaan Usmani Muda orang bisa menemukan rakyat yang cukup bijaksana dalam menjalankan urusan kenegaraan dengan sukses. Kegagalan gerakan konstitusi yang dilakukan Usmani Muda karena; pertama, masih kuatnya pengaruh absolutisme kekuasaan sultan; kedua, ide konstitusi dinilai masih terlalu tinggi bagi rakyat kekaisaran Turki, dan ketiga, tidak ada golongan menengah berpendidikan dan ekonomi kuat yang mendukung gerakan Usmani Muda.


Penutup
Sebagai penutup ada beberapa catatan penting yang seperti dikatakan oleh Fazlur Rahman bahwa Islam sebenarnya, pertama, telah menegaskan peran masyarakat Muslim untuk menegakkan semacam tatanan sosial politik dan untuk mengimbangi ekstrimitas; kedua, kehidupan dan konstitusi internal masyarakat muslim harus selalu bersifat terbuka dan egaliter, tidak larut dengan kepentingan elistime serta tidak tertutup dan; ketiga, kehidupan dan tingkah laku internal masyarakat harus berpusat pada saling aktif berbuat baik dan bekerjasama.[20]
Penciptaan tatanan kehidupan masyarakat madani salah satunya adalah melalui penegakan kehidupan demokrasi. Wawasan dasar Islam tentang prinsip-prinsip demokrasi seperti keadilan, persamaan, kebebasan dan musyawarah, demikian juga dengan sikap pluralisme, toleransi dan pengakuan hak-hak asasi manusia telah berfungsi dengan baik selama masa Nabi dan Khulafa’ al-Rasyidin dalam kehidupan sosial politik, yang oleh kalangan intelektual Muslim direfleksikan sebagai tatanan masyarakat madani. Kondisi internal ummat setelah periode Khulafa’ al-Rasyidin yang tidak lagi kondusif bagi munculnya tatanan kehidupan politik yang demokratis, menyebabkan prinsip-prinsip dasar Islam mengenai demokrasi tidak bisa diformulasikan ke dalam lembaga politik yang mapan. Akibatnya, perbedaan antara teori (wawasan islam tentang demokrasi) dan praktik kehidupan politik terlihat sangat jauh; menjadikan ummat Islam terkesan asing dengan simbol-simbol demokrasi yang berkembang. Keterasingan simbol itulah yang barang kali menjadikan orang berusaha untuk mengimbanginya dengan merumuskan kembali tatanan kehidupan yang ada pada “masyarakat madani”.

[1] Lihat Anwar Ibrahim, “Islam dan Masyarakat Madani” dalam Aswab Mahasin (ed.) Ruh Islam dan Budaya Bangsa (Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal, 1996); Juga Nurcholish Madjid , “Meneruskan Agenda Reformasi untuk Demokrasi dengan Landasan Jiwa Masyarakat Madani; Masalah Pluralisme dan Toleransi,” Makalah Pidato Halal Bihalal KAHMI (Jakarta, 11 Syawwal 1419 / 28 Januari 1999).
[2] QS. Al-Shu>ra> (42): 15.
[3] QS. Fa>t}ir (35): 24.
[4] QS. Al-Ra‘d (13): 7.
[5] QS. Al-Baqarah (2): 213.
[6] QS. Al-Ma>idah (4): 48.
[7] QS. ‘A>li Imra>n (3): 64.
[8] Sumber normatif tentang landasan sikap budaya, agama, dan hak-hak asasi manusia ini juga bisa dilihat dalam makalah Nurcholish Madjid, Meneruskan Agenda Reformasi, 5-6.
[9] Alfred Guillaume, The Life of Muhammad (Lahore: Oxford University Press, 1970), 231-233.
[10] Nurcholish Madjid, Meneruskan Agenda Reformasi, 2.
[11] Ibid., 1-2.

[12] QS. Al-H}ujura>t (49): 13.
[13] Hannah Arendt, On Revolution (New York: Tp., 1963), 23.
[14] QS. Al-Baqarah (2): 30.
[15] St. Thomas Aquinas, Selected Political Writings, diedit oleh A.P.D. Entreves (Oxford: Oxford University Press, 1948), 113.

[16] QS. Al-Shu>ra> (42): 38.
[17] Fazlur Rahman, “The Principle of Shura and the Role of Ummah in Islam,” dalam Mumtaz Ahmad (ed.), Politics and Islam (Indianapolis, IN: American Trust Publication, 1986), 91, 95-96.

[18] Bernard Lewis, “Islam and Liberal Democracy: A Historical Overview,” Journal of Democracy 7,2 (1996), 58.
[19] Bryan S. Turner, Capitalism and Class in Middle East; Theories of Social Change and Economic Development (London: Heinemann Educational Books, 1984), 30.
[20] Ibid., 90-91.

PROBLEMATIKA SEPUTAR KITAB PERJANJIAN LAMA

Oleh :
Zainal Arifin
(Dosen Jurusan Perbandingan Agama Fak. Ushuluddin Surabaya IAIN Sunan Ampel)
Abstrak
Agama Yahudi termasuk tiga agama besar yang memiliki beberapa kesamaan dengan Islam dan Kristen, khususnya yang berhubungan dengan sejarah kelahiran yang berasal dari Ibrahim sehingga disebut Abrahamic religions (agama keturunan Ibrahim). Perbedaan secara prinsip terletak pada ajaran-ajaran yang tertuang dalam kitab suci, yaitu Perjanjian Lama (Taurat) baik content maupun proses penulisan hingga pembakuan sebagai kitab suci yang sampai kepada umatnya sekarang. Artikel ini menjelaskan tentang beberapa kelemahan kitab Perjanjian Lama sebagai kitab yang menjadi pedoman dan tuntunan penganut Yahudi. Ada tiga wilayah problem dalam kitab tersebut;yaitu corak kebahasaan, sejarah penulisan hingga pembakuan dan pola teologi yang dikembangkan. Dalam kitab Perjanjian Lama asli yang menggunakan bahasa Ibrani setiap kalimat huruf hidup ditandai dengan huruf mati (atau matres lictionis) sehingga sulit untuk dipahami secara benar, begitu pula bahasa Ibrani banyak kemiripan dengan bahasa Armenia sehingga mengesankan kitab tersebut diturunkan menggunakan dua bahasa. Problem berikutnya adalah sejak turunnya hingga penulisan sebagai pedoman standar dibatasi waktu ribuan tahun sehingga dimungkinkan kitab ini mengalami pergeseran atau disorientasi. Dan kenyataannya memang benar, sebelum Perjanjian Lama ditulis sudah muncul sekian kitab yang mengatasnamakan kitab Perjanjian Lama (Taurat) sehingga kecurigaan terjadinya distorsi semakin kuat. Penulis berpandangan bahwa membaca dan memahami kitab ini harus lebih kritis agar ditempatkan secara proporsional.
Yahudi is one of three great religions, beside Islam and Nasara which has equality in belief, historical background and geneology of belief, that called Abrahamic Religion.
Kata kunci : Yahudi, Perjanjian Lama, Ibrani, sejarah penulisan, teologi



Pendahuluan
Yahudi dan Kristen biasa disebut umat yang mempunyai banyak kitab (The People of Books)[1] yaitu Bibel. Bibel merupakan kitab atau kumpulan kitab suci umat Yahudi dan Kristen[2], terbagi menjadi dua bagian yakni Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Teks asli Perjanjian Lama ditulis dalam bahasa Ibrani, dengan beberapa bagian pendek yang ditulis dalam bahasa Armenia. Oleh orang Yahudi kitab ini diyakini sebagai kitab kuno Yahudi, dijaga dan dihormati sejak berabad-abad lamanya. Kitab Perjanjian Lama terdiri atas 3 (tiga) macam : Taurat, Nebim dan Ketubin. Taurat artinya hukum tertulis (Labeled Law)[3], atau pengajaran (Instruction).[4] Ia juga merupakan kitab Yahudi yang terpenting dan terkenal dengan sebutan Pentateuch (Five), yaitu kitab Kejadian (Genesis), Keluaran (Exodus), Levy (levyticus), Bilangan (Numbers) dan Ulangan (Deuteronomy).[5] Nebim (Prophets), berisi keterangan tentang para Nabi Bani Israil. Dan Ketubin (Writings), berjumlah sebelas buku mengenai aneka ragam karakter, seperti Psalms, Proverbs dan Chronicles.[6]
Hampir seluruh kitab Bibel sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa asing. Penerjemahan awal kitab ini dilakukan dalam bahasa Armenia, bahasa pergaulan orang Yahudi, Palestina dan seluruh kalangan Timur Tengah, sekitar tahun 600 SM. Taurat diterjemahkan ke bahasa Sumeria sekitar tahun 400 SM. Setelah kemenangan Alexander Agung, dan Yunani menjadi bahasa pergaulan seluruh kawasan Laut Tengah di Alexandria, kitab ini diterjemahkan ke bahasa Yunani, sekitar tahun 250 SM. Tahun 150 SM. kitab ini diterjemahkan ke bahasa Siria, Latin (The Vulgate), Ethiopia, Slavia, Persi, Arab dan Saxon. Menurut data, seluruh atau sebagian kitab-kitab Yahudi sudah diterjemahkan ke dalam 1.250 bahasa, dan jutaan kopi telah disebarluaskan ke berbagai penjuru dunia.[7]
Kegiatan penerjemahan secara besar-besaran, satu sisi memang bisa memudahkan sosialisasi kitab-kitab Yahudi, sekaligus ide dan etikanya. Tetapi sisi lain, kegiatan ini akan menimbulkan masalah kebahasaan yang kompleks, penulisan, pengucapan, penerjemahan atau lainnya, yang pada gilirannya akan mengundang kritik para ahli. Seperti kritik Frederick C. Grant terhadap watak bahasa Ibrani (Yahudi), sejarah teks Perjanjian Lama dan kritik lainnya.[8] Untuk itu di sini akan dicoba menjelaskan kritik di atas, dengan kritik menurut istilah Grant sendiri, “kritik ringan” (Lower Criticism), bukan kritik tajam (Higher Criticism). Logika kita ialah karena orang Yahudi itu tetap termasuk penganut kitab suci (ahlu al-Kitab). Maka mencari titik temu (Common Plat-form) antara sesama penganut kitab suci adalah suatu keharusan . Pesan Al-Qur’an :
Dan Kami (Allah) telah turunkan kepada (Muhammad) kitab suci dengan membawa kebenaran, untuk mendukung kebenaran sebelumnya, yang terdiri dari jenis kitab suci, dan sebagai saksi (muhaimin) atas kitab-kitab suci itu (QS 4:48).
“Katakanlah (Muhammad), wahai para penganut kitab suci, mari menuju kepada kalimatun sawa’ (ajaran yang sama) antara kami dan kami (QS 3:64).

Selain kritik, tentunya apresiasi dan respon positif juga harus diberikan kepada agama ini. Bagaimanapun, Yahudi dengan Taurat-nya, Kristen dengan Injil-nya dan Islam dengan al-Qur’an-nya termasuk penganut agama Nabi Ibrahim (Abrahamic religions)[9] yang hanif. Maka mencari pesan-pesan moral agama itu termasuk misi yang mulia juga.

Watak Bahasa Ibrani
Menurut Grant, kitab Perjanjian Lama ditulis dalam bahasa Ibrani, dengan pengecualian, ada beberapa bagian yang diidentifikasikan dalam bahasa Armenia seperti; Ezra 4:8 sampai 6:18; 7:12-26; Daniel 2:4 sampai 7:28, Jeremiah 10:11, dan beberapa kata yang terdapat pada kitab kejadian. Pada masa kuno bahasa Ibrani dan Armenia selalu ditulis dengan menggunakan huruf mati saja, huruf hidup ditandai dengan huruf mati tertentu, yaitu disebut Matres Lictionis. Akhirnya semua huruf hidup dijelaskan dengan huruf yang sama, huruf hidup.[10]
Sebagian huruf tertentu bahasa Ibrani dan Armenia ada kemiripan, baik bentuk dan bunyinya. Pada naskah segi empat (a square script) yang ditulis sekitar tahun 200 SM. misalnya, terdapat beberapa pasang huruf yang berbentuk sama, dan ini dimungkinkan bisa menimbulkan kerancuan bahasa, seperti huruf D dan R, B dan K, H dan Ch, T dan Ch. Beberapa huruf juga mengalami kerancuan bunyi; S yang mempunyai 3 (tiga) bunyi, K dan T juga berbunyi ganda. Transliterasi Inggris teks Masorek Isaiah 3:24 berikut ini menjelaskan penulisan dan pengucapan yang rancu tersebut.

- Instead of sweet spices there will be rottenness,
- And instead of girdle, a rope,
- Instead of well-set hair, baldness,
- And instead of arobe, a girdling of sack-cloth,
- Branding instead of beauty.[11]


Penulisan kata “instead” pada baris terakhir (baris lima) ayat di atas, yang berbeda dari empat ayat lainnya, menunjukkan kerancuan penulisan kitab Perjanjian Lama. Demikian juga kata “branding” pada baris yang sama, ia bisa diucapkan sama seperti huruf K. Kerancauan ini menurut Grant, disebabkan waktu itu banyak kata yang tidak ditulis secara jelas, dan banyak ayat yang tidak ditulis seperti yang ada sekarang.
Bila dicermati, kritik Grant ini hanya terfokus pada masalah teknis kebahasaan, seperti penulisan satu buku dalam dua bahasa yang berbeda, dan menyamakan huruf yang berbeda dalam kajian bahasa, daerah, nasional dan terlebih bahasa asing. Contoh bahasa Arab, huruf “ha” kadang ditranskripsikan dengan “Th” atau “Ts”.

Sejarah Teks Perjanjian Lama
Anggapan bahwa Yahudi termasuk kelompok agama dengan banyak kitab suci, ternyata bukan sekedar mitos, tapi suatu kenyataan sejarah. Ini terbukti dari banyaknya kitab Perjanjian Lama yang ditemukan dan ditulis antara tahun 100-100 SM. Atau tahun berikutnya, baik yang sudah berupa manuskrip lengkap, atau yang masih pragmentaris. Meski secara jujur diakui, tak satu pun kitab-kitab yang ada itu ditulis dalam bentuknya yang asli (not a single book has come down to the present in it origial). Kitab itu antara lain adalah “Gulungan Laut Mati” (Dead Sea Scrolls), manuskrip pertama yang ditemukan di gua Wadi Qumran, Wadi Murabbat dan daerah padang pasir Palestina. Sekitab abad I dan II SM, gulungan atau lembaran kecil kitab Perjanjian Lama selain Esther juga berhasil ditemukan.
Pada abad II SM., ditemukan teks Masorete, yang berarti orang yang memegang teguh tradisi (one who hands down the tradition). Teks ini menjadi obyek studi para sarjana Bibel yang hidup antara abad ke 6 sampai 10 M. Para Sarjana ini bukan golongan kritikus teks yang kritis, tapi pengawal tradisi Bibel yang baik, khususnya yang berkaitan dengan bacaan.[12]
Dari Masorete lahir dua keluarga utama, yaitu Bani Asher dan Bani Naptahuli. Dua dari lima generasi Bani Asher adalah orang-orang terkenal, seperti Musa bin Asher dan Aaron bin Musa bin Asher. Teks Bani Asher dipandang sebagai teks yang paling otentik setelah diperkenalkan oleh Maimonides (Musa bin Maimon).[13] Pada abad XII, dan diyakini sebagai teks paling tua waktu itu di kalangan sarjana modern. Teks yang juga digunakan bertahun-tahun di Sinagoge Aleppo (Siria), saat ini menjadi koleksi perpustakaan Universitas Yahudi Yerusalem. Ia juga menjadi referensi penulisan kritis kontemporer tentang masalah Yahudi.
Jelas, dari sejarah teks ini bisa dipahami bahwa antara penulisan kitab Perjanjian Lama mutakhir dan manuskrip-manuskrip yang menjadi acuan kajian kontemporer dibutuhkan waktu ribuan tahun atau lebih. Dalam rentang waktu yang panjang inilah menurut Grant, teks-teks itu disalin dan ditulis ulang dengan tangan. Teks yang ditulis dengan mesin ketik saja bisa salah, apalagi yang ditulis dengan tangan, kemungkinan terjadi kesalahan adalah sesuatu yang tak terelakkan. Kesalahan ini bisa dilihat pada bagian kitab Yahudi yang memuat materi yang sama dalam dua empat yang berbeda. Contoh, ayat Gulungan Laut mati Isaiah adalah : “For instead of beauty (there will be) shame”.
Ayat tersebut juga disebutkan pada teks Masorete Isaiah di atas, hanya ditambah kata “shame” saja. Contoh lain bisa dilihat pada Samuel II 22 pada Psalms 18, Isaiah 13-39 dan King II 18:13-12:19. Ternyata studi sejarah teks Perjanjian Lama sangat kompleks, dan kompleksitas ini tidak membantu banyak untuk menemukan dan menghasilkan studi tentang teks Perjanjian Lama yang asli.[14]

Problem Teologis
Ada kritik teologi yang dikedepankan Suhairi Ilyas, dengan mengutip isi kitab Levy dan Talmud Kutipannya : “…….diceritakan bahwa Tuhan itu sesungguhnya banyak, akan tetapi Bani Israil mempunyai seorang Tuhan khusus untuk mereka ….. agama Yahudi mengakui adanya satu Tuhan bagi mereka di samping umat lainnya pun mempunyai Tuhan masing-masing…..”.[15]
Bila dicermati, pemikiran di atas mengindikasikan pemikiran yang dikotomis, satu sisi agama Yahudi dianggap politeistik (musyrik), tapi sisi lain ia diakui secara jujur sebagai agama yang monoteistik. Pengakuan yang jujur ini memang sejalan dengan semangat agama Yahudi yang berciri monoteistik radikal, yang menurut Max Weber diakui sebagai agama “monoteisme murni” (a strict monotheism in principle).[16]
Hal ini bisa dikonfirmasikan pada ajaran Musa, yang menurut sebagian Yahudi Ortodok (Orthodox Jews) berasal langsung dari Tuhan (the direct word of God)[17], seperti percaya kepada eksistensi Tuhan, keesaan Tuhan, Tuhan tidak berbentuk dan keabadian Tuhan, yang semuanya mengisyaratkan prinsip-prinsip tauhid yang ekstrim dan radikal. Soal nama Tuhan Yahudi yang biasa disebut "Tuhan Yahweh" (Yahwistic God)[18], tentunya sebutan ini tidak mengurangi semangat ketuhanan Yahudi yang murni dan ekstrim. Hal ini hanya berkaitan dengan pemberian nama saja terhadap “Hakekat Tertinggi” yang menaungi hidup manusia, yang kepada-Nya ia merasa tergantung dan membina sikap batin khusus.[19] Apa diberi nama Gusti Allah, Gusti Pengeran, Wise Lord, Kenyataan Akhir, Sommum Bonum, Mysterium Tremendum at Fascinans, atau nama lainnya, semua itu, tidak menjadi masalah, hanya masalah nama saja.
Sebagai contoh, Allah orang Arab sebelum Islam (masa Jahiliyah) berbeda dari Allah orang Islam sekarang, karena Allah orang sebelum Islam, antara lain mempunyai anak dan serikat, yang semuanya minta dilayani dalam bentuk sajian dan kepatuhan manusia,[20] Al-Qur’an sendiri menyebutkan bahwa orang Arab jahiliyah juga percaya kepada Allah sebagai satu-satunya pencipta alam semesta dengan seluruh isinya. Tapi mereka mempunyai pengertian khusus tentang apa atau siapa hakekat Allah yang mereka percayai itu, dan masih menyembah yang lain juga, yaitu berhala yang mereka anggap bisa menjadi perantara kepaa Allah (Q.S. 39:3).
Pembedaan pemberian nama Tuhan ini bila diletakkan pada perspektif yang lebih jauh, mengisyaratkan adanya dua kelompok aliran teologi dalam merespon semangat keagamaan. Yaitu kelompok yang sering disebut dengan terma status qua, ekslusif, anti perubahan. Kelompok neo-Revivalis dan neo-Modernis meminjam istilah Masdar F. Masudi.[21] Ortodok atau ultra ortodok dan progressif atau liberal menurut Douglas Charing untuk orang Yahudi.[22] Atau kelompok skriptualis dan substansialis menurut terminologi Willian Liddle.[23] Di kalangan internal Islam Indonesia, kelompok pertama diwakili Daud Rasyid dengan madzhab media dakwahnya, sementara kelompok kedua diwakili Nurcholish Madjid dengan madzhab Paramadina. Dan polemik antar dua madzhab teologi ini sempat mewarnai banyak pemberitaan media cetak beberapa tahun lalu.
Seharusnya kita memberikan apresiasi dan respon positif terhadap agama Yahudi karena monoteismenya yang murni itu. Meski Islam juga menganut paham monotheisme murni, tapi kemurnian monotheisme Islam telah terkontaminasi ketika ia diterjemahkan pada konteks sosiologis. Yaitu adanya kultus terhadap orang-orang yang dipandang suci seperti wali (the pious).[24] Tentunya tengara Weber ini perlu diberi notasi khusus sebagai bahan mengacu diri umat Islam. Jadi benar kata Bakker bahwa formalisme agama hanya akan membuat seseorang terasing dari konsep agamanya yang paling dasar.[25]

Catatan Akhir : Agama Etis
Yahudi disifati sebagai agama yang etis (ethical religion), dan bukan agama mitos (mytical religion).[26] Artinya, prinsip-prinsip etika dijunjung tinggi oleh agama ini. Prinsip etika itu diformulasikan dengan bangunan kata yang terkenal, “Sepuluh perintah Tuhan” (Ten Commandements, al-Washaya al-Asyar). Diawali kata yang menarik “jangan”/negasi dan “harus”/imperasi. Di antaranya ialah jangan salah mengidentifikasikan Tuhan/jangan membunuh, berzina dan mabuk-mabukan. Jangan bernafsu untuk memiliki rumah saudara, istri, pembantu, rumah, kendaraan dan binatang piaraan. Berbuatlah baik
kepada perabot ribuan orang yang Tuhan kasihi.[27]
Formula etika ini sejalan dengan sistem pemikiran agama Yahudi yang bersifat universal. Bahwa prinsip etika Yahudi bisa diadopsi dan diartikulasi oleh setiap kelompok etnis apapun. Atau istilah yang lebih teknis ialah prinsip etika Yahudi bisa merangkul seluruh umat manusia ( Its ethical prinsiples embrace all mankinds ). Seperti pengobatan massal, pembuatan patung polisi, pemberian bingkisan lebaran atau kegiatan sosial lainnya, yang sering dilakukan oleh organisasi sosial elite seperti Lion Club, atau Rotary Club. Bila diindikasikan benar organisasi itu merupakan jaringan Yahudi, maka hal itu harus dipahami dalam konteks sistem etika Yahudi yang berdimensi global itu.
Sistem etika dalam wacana Yahudi ini seharusnya ditempatkan dalam kerangka pikir bahwa Yahudi merupakan kerajaan orang-orang mulia (a kingdom o priests) bangsa suci (a holy nation), dan pengawal monotheisme murni ( the custodian of pure monotheism ). Sebagai pengawal monotheisme, kompromi Yahudi hanya diberikan kepada yang bersemangat tauhid murni, tidak kepada sistem hukum, ritual, upacara keagamaan atau ikatan kesejarahan yang khusus. Sekalipun kepada para pendukungnya, yaitu orang-orang Graeco Roman dan agama anak perempuannya, Kristen dan Islam; yang telah membantu memenangkan keadilan Tuhan, kasih sayang dan kesucian dari paganisme. Esensi konsepsi Yahudi sebagai pengawal kemurnian tauhid ini tidak dimaksudkan bahwa merekalah yang paling berhak memonopoli kebenaran Tuhan, tapi lebih sebagai pengawal tauhid yang diangkat Tuhan demi kepentingan umat manusia.[28]
Mengikuti sejarah yang ada, memang sikap Yahudi terhadap agama-agama lain terkesan unik dan khas. Prinsip hukum agama yang keras, yang lahir dari sejarah Israel disebabkan adanya keharusan menjadi umat terhormat, tapi tidak untuk menyelamatkan manusia secara universal. Karena menurut pemikiran para Rabbi, Tuhan telah membuat perjanjian dengan seluruh ras manusia yang mendahului perjanjian denagan Israel. Dalam perjanjian itu telah diberikan dasar-dasar keyakinan manusia yang universal, yang digambarkan sebagai hukum-hukum anak-anak Nuh ( Laws of the children of Noah ). Hukum agama atau prinsip-prinsip etikanya secara mendasar berwatak sama, tidak berbeda dari prinsip etika agama yang datang kemudian, dimana Israel ditakdirkan untuk membangunnya di bawah panji-panji kenabian. Dan ini merupakan tahap awal dalam evolusi agama yang oleh Yahudi digambarkan sebagai puncak keyakinan manusia. Para rabbi secara mengesankan merekontruksi hukum-hukum anak Nuh dalam kacamata paganisme, dengan membuat peraturan yang bertujuan membimbing umat terhindar dari tingkah laku yang merusak dan unsur-unsur paganisme itu.
Untuk itu mereka diminta berhenti menyembah berhala, menghina Tuhan, berbuat tidak senonoh dengan saudara, membunuh, mencuri, berlaku kejam terhadap binatang yang masih hidup, yang semuanya mengisyaratkan persepsi moral yang negatif. Perjanjian yang memberikan rasa keadilan ini merupakan yang ketujuh dari perintah final Tuhan tentang sistem kepercayaan universal. Para rabbi mengajarkan bahwa tatanan dunia yang bermoral harus tetap ditegakkan, dan kemanusiaan yang beradab harus selalu dipertahankan dalam kondisi yang bagaimanapun. Menjadi kewajiban orang-orang yang terhormat untuk membimbing umat kepada ketinggian akhlak dan kesempurnaan agama.[29]
Semua ini bisa dicapai karena Yahudi tidak pernah mengembangkan agamanya dengan cara paksa dan kekerasan. Masalahnya, dorongan batin akan ajaran tertentu, yang menjadi kunci satu-satunya untuk keselamatan manusia, tidak mesti memadai, karena jalan menuju keselamatan selalu terbuka bagi siapa saja yang mempunyai standar keyakinan universal. Konversi formal umat dunia kepada Yahudi adalah bukan bagian dari rencana Tuhan, tapi lebih merupakan fungsi atau tugas orang-orang yang terhormat. Yang dengan hidup dan karyanya, mereka membangun standar moral dan agama yang mampu mengundang daya tarik umat menuju jalan kesempurnaan moral dan jalinan yang lebih dekat dengan Tuhan.[30]

[1] Douglas Charing, Comparative Religions, (New York: Blanford Press, 1982), 86
[2] Frederick C. Grant, Encyclopedia Americana, Vol. 3, (Canada: Gralier Limited, 1977), 647
[3] Ibid., 648
[4] Charing, Comparative, 89
[5] Maurice Bucaille, The Bible, Tehe Qur’an and Science, (Dakka: The Gorviment Press, 1985), 22
[6] Charing, Comparative, 89.
[7] Grant, Encyclopedia, 648.
[8] Ibid.
[9] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta:Paramadina, 1992), 48
[10] Grant, Encyclopedia, 658
[11] Ibid., 660
[12] Ibid.,
[13] Abraham A. Neuman, The Great Religions in The Modern World, (New Jersey: Prunceton Press, 1946), 237
[14] Grant, Encyclopedia, 600.
[15] Panji Masyarakat No. 328 Tahun (1985), hal….?
[16] Max Weber, The Sociology of Religion, (Boston: Beacin Press, 1964), 138
[17] Charing, Comparative,Loc. cit.
[18] Trevor Lingkungan, A History of Religion, East and West, (London: MacMillan Pres, 1968), 72
[19] JMW. Bakker, Agama Asli Indonesia, (Jakarta: Sinar Harapan Press, 1982), 12
[20] Ulumul Qur’an, No. 1 Tahun (1993), hal…..?
[21] Ibid.
[22] Charing, Comparative,….?
[23] Ulumul Qur’an, hal…..?
[24] Weber, Sociology, 139
[25] Bekker, Agama Asli, 14
[26] Ling, A History,
[27] Mahmud Abu al-Faidz, Ad-Dinu al-Muqoron, (Kairo: Dar an-Nahdhah, tt.), 659
[28] Neuman, The Great Religion, 228
[29] Ibid.
[30] Ibid.