Senin, 10 Maret 2008

AHLUSSUNNAH WALJAMA’AH MENURUT NAHDLATUL ULAMA

Oleh :
Ma'shum Nuralim
(Dekan Fakultas Ushuluddin Surabaya IAIN Sunan Ampel)


A. Pendahuluan

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan hamba-Nya ke jalan yang lurus, sederhana dan mudah dilaksanakan. Makalah singkat ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Sosial di Program Pascasarjana (S3) di IAIN Sunan Ampel Surabaya. Semoga makalah yang singkat ini ada guna dan manfaatnya.
Makalah ini sesuai dengan rencana Disertasi penulis berjudul: Paham Ahlussunnah Waljama’ah Menurut Nahdlatul Ulama, dengan permasalahan pokok : bagaimana NU sebagai organisasi memahami Ahlussunnah Walajama’ah ? dan mengapa NU memahami Ahlussunnah Walajama’ah seperti itu ?. Masalah ini diambil, mengingat NU adalah organisasi keagamaan Islam terbesar di Indonesia, yang di dalam anggaran dasarnya secara eksplisit menyatakan berpaham Ahlussunnah Walajama’ah. Di samping itu, Ahlussunnah Walajama’ah adalah symbol keselamatan umat Islam, sehingga menjadi klaim setiap muslim bahwa dialah ahlussunnah waljama’ah dan dialah orang atau golongan yang selamat dari api neraka.
Sejarah berdirinya Nahdlatul Ulama (NU), di Surabaya sering dihubungkan dengan situasi Indonesia saat itu, terutama munculnya kelompok pembaharu, Muhammadiyah, sehingga NU berdiri dianggap sebagai reaksi terhadap kelompok pembaharu di Indonesia. Namun sebab langsung berdirinya NU tidak banyak berhubungan dengan munculnya reformisme di Surabaya, dan tujuan-tujuan awalnya bersifat lebih terbatas dan konkrit dibandingkan dengan usaha melakukan perlawanan terhadap serangan kaum pembaharu.[1]
Lahirnya NU banyak dipengaruhi oleh peristiwa Internasional. Sejak awal tahun 1924 telah tersiar berita bahwa khalifah Abd. Majid telah dipecat oleh pemimpin nasionalis Turki, Mustafa Kemal. Selanjutnya menyusul berita bahwa para ulama Mesir di bawah pimpinan Syaikh al-Azhar akan menyelenggarakan pertemuan iternasional membahas soal khilafah.
Dalam situasi hampir bersamaan, terjadi penyerangan Abd Aziz Ibn Suud, yang didukung oleh aliran wahabi, terhadap Syarif Husein di Arab Saudi dan menaklukkannya.
Menghadapi peristiwa tersebut, maka di Surabaya diselenggarakan pertemuan, 4 Agustus 1924, yang dihadiri para tokoh Syarikat Islam (SI), Muhammadiyah, al-Irsyad, al-Ta’dibiyah, Tashwir al-afkar, Ta’mir al-Masajid, dan perhimpunan lain.[2] Pertemuan memutuskan membentuk komite khilafah dan akan menyelenggarakan persidangan luar biasa kongres al-Islam untuk mengirim delegasi ke Kairo.
Kongres yang diadakan kemudian menyepakati beberapa agenda masalah, antara lain soal keagamaan yang diperselisihkan, dan rencana pengiriman delegasi ke Kairo. Akan tetapi di dalam perjalanan ternyata terjadi lobo-lobi di antara para peserta kongres yang terdiri dari berbagai organisasi. Akhirnya, kelompok tradisional menyetakan mundur dari kongres dan membentuk komite Hijaz, yang akan mengirim utusan sendiri ke Arab Saudi. Pada akhir pertemuan, 31 Januari 1926, komite Hijaz dibubarkan, dan menjilma menjadi orgaisasi formal yang bernama Nahdlatul Ulama (NU). Sehingga tanggal tersebut merupakan hari ulang tahun berdirinya NU.
Dengan demikian, dapat saja dikatakan bahwa NU lahir sebagai reaksi terhadap para pembaharu di Indonesia, tetapi yang jelas lebih banyak dipengaruhi oleh masalah keagamaan internasional yang berkembang saat itu. Hal itu dapat dibuktikan dengan kenyataan bahwa sebelum peristiwa pemecatan terhadap khalifah Abdul Majid oleh Mustafa Kemal di Turki dan penyerangan oleh Abdul Aziz Ibnu Suud terhdap Syarif Husein di Arab Saudi terjadi, para tokoh tradisional dan tokoh pembaharu dapat bekerja sama, bahu membahu mengembangkan ajaran Islam dan memberdayakan ummat.
Kerja sama itu misalnya lewat forum diskusi dan tukar pikiran yang diadakan melalui wadah Tashwir al-Afkar, yang melibatkan para tokoh pembaharu dan tradisional seperti: Mas Mansyur, Muhammadiyah, Abdul Wahab Hasbullah, NU, dan lain-lain.[3]

B. Paham Ahlussunnah Waljama’ah

Ahlussunnah Walajama’ah adalah aliran pemahaman keagamaan yang bercita-cita mengamalkan syari’at Islam secara murni, sesuai yang dikehendaki oleh Allah. Mereka harus memahami wahyu yang bersifat ghaib dan disampaikan dalam ke-ghaib-an. Untuk itu tidak ada yang patut mengaku sebagai pengamal syari’at Islam secara mutlak benar kecuali Rasul, karena dialah yang menerima dan dituntun wahyu sesuai kehendak Allah.
Selain Rasul, para sahabat yang selalu dekat dengannya adalah umat Islam yang kwalitas pemahaman terhadap wahyu mendekati sempurna, karena mereka tahu persis bagaimana Nabi Muhammad memahami dan mengamalkan wahyu. Mereka yang disebut Ahlussunnah Waljama’ah.
Umat Islam dituntut memahami dan mengamalkan syari’at Islam sesuai kehendak Allah, sebagaimana diamalkan oleh Nabi dan para sahabatnya. Tetapi wahyu sudah tidak turun lagi, yang tinggal hanya catatan berupa mushaf al-qur’an, dan Nabi sebagai patron ajaran Islam sudah tiada, hanya meninggalkan sunnah, berupa ucapan, perbuatan dan ketetapan yang tercatat di dalam beberapa kitab hadis. Begitu juga para sahabat, hanya meninggalkan atsar, bekas, maka untuk memenuhi tuntutan tersebut umat Islam hanya dapat melakukannya melalui proses identifikasi terhadap pemahaman dan pengamalan ajaran Islam yang dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya. Sudah barang tentu, yang namanya identifikasi tidak akan sama persis. Oleh karena itu, para ulama mencoba untuk mengidentifikasi beberapa kelompok pemahaman yang hampir sama dengan amalan Nabi dan para sahabat, yang disebut Ahlussunnah Waljama’ah.[4]
Terdapat delapan kelompok pemahaman yang telah teridentifikasi oleh para ulama sebagai pendukung Ahlussunnah Waljama’ah. Yaitu, Ulama kalam seperti al-Asy’ari dan al-Maturidi, Ulama fikih seperti Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad Ibn Hanbal, al-Auza’iy, al-Tsauriy, Ibn Abi Laila dan Daud al-Dhahiriy. Ulama Hadis, para ahli bahasa seperti Sibawaihi, Farra’ dan Asmu’iy, Ahli ilmu qira’at. Ulama tasawuf, pejuang militer seperti Shalahuddin al-Ayyubiy, dan pendukung syi’ar Ahlussunnah Waljama’ah.
Namun demikian, ada yang membatasi Ahlussunnah Waljama’ah hanya berkaitan dengan fikih saja. Ahlussunnah Waljama’ah berarti beberapa orang yang melestarikan sunnah Rasul dan para sahabatnya. Mereka memakai kitab Allah, Sunnah Rasul, Ijma’ al-Ummat dan Qiyas, analogi, sebagai dalil syara’ dan memandangnya sebagai sumber istinbath hukum.[5] Bahkan berdasarkan sejarah, ada yang membatasi Ahlussunnah Waljama’ah hanya dalam bidang akidah, ushuluddin atau teologi saja, sehingga yang termasuk Ahlussunnah Walajama’ah hanya terdiri dari tiga kelompok.
Pertama, Ahl al-Atsar, pengikut Imam Ahmad Ibn Hanbal, dengan ciri membatasi beberapa kajiannya berdasarkan dalil naqliyah, al-Qur’an dan Hadis, dan sedikit sekali menggunakan dalil aqliyah. Mereka tidak mau mentakwilkan, menjelaskan, menggunakan rasio, terhadap beberapa ayat mutasyabihat, ayat yang memiliki kemungkinan arti atau makna lebih dari satu, juga tidak suka memastikan maknanya, menyerahkan secara bulat pengertian ayat mutasyabihat kepada Allah.
Kedua, al-Asya’irah, pengikut Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari. Golongan ini memperluas kajian masalah Ilmu Kalam, memakai dalil aqliyah lebih banyak meskipun tetap mempertahankan keunggulan dalil Naqliyah. Mereka kurang tertarik membahas beberapa ayat Mutasyabbihat sampai mendalam. Golongan ini menjadi mayoritas ummat sampai sekarang, karena pengaruh kegiatan penyebaran wawasannya, terutama melalui beberapa kitab pendukungnya.
Ketiga, al-Maturidiyah, pengikut Imam Abu Manshur al-Maturidi, dengan metode yang menyerupai golongan al-Asy’ariyah, malah dalam beberapa hal, lebih bebas menggunakan dalil akal dan banyak menggunakan takwil terhadap semua ayat Mutasyabbihat.

C. Paham Ahlussunnah Waljama’ah Menurut NU

Nahdlatul Ulama mencoba untuk mengakomodir Ahlussunnah Waljama’ah sebagaimana tersebut di atas dengan batasan yang lebih sederhana. Ahlussunnah Walajama’ah menurut NU adalah mereka yang mengikuti metode berpikir, manhaj al-fikr, di dalam bidang akidah mengikuti madzhab al-Asy’ari dan Maturidi, di dalam bidang fikih mengikuti salah stu Imam empat, yaitu: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali serta di dalam bidang tasawuf mengikti madzhab Junaid al-Baghdadi dan diteruskan oleh al-Ghazali yang tereduksi di dalam kitab Ihya’ Ulum al-Din.[6] Batasan tersebut diambil oleh NU karena:
Pertama, Syari’at Islam secara global dapat dibagi menjadi tiga aspek, yaitu syari’at dalam arti hukum, baik ibadah maupun mu’amalah, akidah dan tasawuf atau akhlak, baik yang berhubungan antara manusia dengan sesama manusia maupun hubungan antara manusia dengan Tuhan.
Kedua, NU mengambil jalan tengah di antara dua kutub ekstrim, yaitu antara rasioalis dengan tekstualis, karena jalan tengah atau moderat itu dianggap yang paling selamat di antara yang selamat, sehingga NU mengakui bahwa madzhab yang diikutinya mengandung kemungkinan lebih besar berada di dalam jalur kebenaran dan keselamatan. Hal ini juga dapat berarti bahwa kebenaran yang diikuti dan diyakini oleh NU hanya bersifat kemungkinan dan bukan kemutlakan, dalam arti mungkin benar dan bukan mutlak benar. Oleh karena kebenaran yang diikuti dan diyakini hanya bersifat mungkin, maka dapat berarti juga mungkin salah. Hal ini dapat dilihat pada alasan ketiga.
Ketiga, kebenaran yang didasarkan atas hasil identifikasi akal pikiran tidak ada yang mutlak, sehingga memungkinkan adanya beberapa alternatif pilihan sesuai dengan situasi dan kondisi. Beberapa alternatif pilihan tersebut dimungkinkan dalam rangka menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi lingkungan masyarakat setempat. Karena ajaran Islam bersifat universal dan berlaku sepanjang zaman, kapan saja dan di mana saja.
Keempat, Islam adalah rahmat bagi seluruh alam. Alam ini tidak sama di setiap lokasi. Dengan prinsip ini, maka Islam mesti dapat beradaptasi dengan budaya local. Artinya Islam tidak harus seragam di seluruh dunia, Islam menerima keragaman sesuai dengan budaya setempat. Oleh karena itu, Islam di Indonesia adalah Islam yang sesuai dengan budaya bangsa Indonesia.
Pemikiran NU dalam merumuskan paham Ahlussunnah Waljama’ah seperti tersebut di atas, dilatar belakangi oleh sejarah Islam masuk ke Indonesia. Islam yang masuk ke Indonesia bercorak sufistik, bermadzhab fikih Syafi’i dan berpaham teologi Asy’ariyah. Islam yang bercorak sufistik, menyebabkan Islam mudah diterima oleh bangsa Indonesia tanpa gejolak, yang sebelumnya bangsa Indonesia telah memiliki kepercayaan Hindu-Budha.[7] Begitu juga dengan madzhab Syafi’i di bidang fikih dan paham Asy’ariyah di bidang teologi, yang berkembang di Indonesia, mempengaruhi umat Islam Indonesia bersikap moderat antara tekstualis dan rasionalis. Sehingga Islam di Indonsia penuh dengan toleransi, adaptasi dan asimilasi terhadap budaya setempat.
Dalam pandangan NU, paham Ahlussunnah Waljama’ah juga berkaitan erat dengan faktor sejarah perkembangan Islam secara keseluruhan, dan faktor metodologis mulai awal Islam sampai hari ini.
Faktor sejarah, mengacu kepada sekelompok sahabat dan generasi sesudahnya yang selalu bersikap tawasuth, mengambil jalan tengah, tawazun, seimbang, di dalam menyelesaikan setiap persoalan, dan bersikan tasamuh, toleran, adil, netral, di dalam menghadapi perselisihan.
Pada saat terjadi perselisihan politik antara sahabat Ali Ibn Abi Thalib dengan Muawiyah Ibn Abi Sufyan, telah terdapat beberapa sahabat yang netral dan menekuni bidang keilmuan. Sikap netral seperti itu juga dilanjutkan oleh beberapa tokoh tabi’in dan tabi’ al-tabi’in.
Sejak kematian Ali Ibn Abi Thalib pada tahun 40 H. atau 661 M. umat Islam telah terpecah menjadi tiga golongan. Yaitu:
1. Golongan Syi’ah yang mencintai Ali dan keluarganya serta membenci Muawiyah Ibn Abi Sufyan.
2. Golongan Khawarij yang tidak memihak kepada Ali Ibn Abi Thalib maupun Muawiyah, bahkan memusuhi keduanya.
3. Sebagian kaum muslimin yang mengakui kekhalifahan Muawiyah.
Dalam kondisi seperti ini terdapat sejumlah sahabat antara lain: Ibn Umar, Ibn Abbas, Ibn Mas’ud dan lain-lain, yang menghindarkan diri dari konflik dan menekuni bidang keilmuan dan keagamaan.
Dari kegiatan mereka inilah kemudian lahir sekelompok ilmuan sahabat, yang mewariskan tradisi keilmuan itu kepada generasi berikutnya. Selanjutnya melahirkan para muhadditsin, ahli Hdits, Fuqaha’, para ahli fikih, mufassirin, para ahli tafsir, dan mutakallimin, para ahli ilmu kalam. Kelompok ini selalu berusaha untuk mengakomodir semua kekuatan, model pemikiran yang sederhana, sehingga mudah diterima oleh mayoritas umat Islam.
Faktor metodologis, berkaitan erat dengan pemahaman ajaran Islam. Bahwa untuk memahami ajaran Islam secara benar, harus melalui mata rantai pewarisan pemahaman secara benar dan dapat dipertanggung jawabkan.
Kebenaran mata rantai pewarisan pemahaman ajaran Islam, dapat diukur dengan kesinambungan hubungan guru-murid secara langsung sampai kepada Nabi. Untuk memahami ajaran Islam yang berupa wahyu, secara benar tidak cukup hanya melalui beberapa catatan mushaf al-qur’an dan beberapa catatan hadits, tetapi harus juga melalui jalur penghayatan yang berupa sikap dan perilaku. Hal itu dapat dicapai hanya dengan melihat dan terlibat langsung dalam penghayatan dan pengamalan antara yang mewariskan dan yang mewarisi. Oleh karena itu, perlu madzhab, yaitu jaringan pemahaman ajaran Islam.
Kebenaran yang dapat dipertanggung jawabkan, diukur dari metode yang dipakai atau jalan pikiran yang ditempuh seseorang untuk sampai kepada kesimpulan pendapat mengenai penghayatan dan pengamalan tersebut, sehingga dapat diuji kebenarannya. Hal itu dapat dicapai melalui dokumen yang benar berupa beberapa buku atau beberapa kitab yang telah tertulis, sehingga dapat dicek kebenarannya oleh siapa saja dan kapan saja.

D. Penutup

Pemahaman NU terhadap ahlussunnah waljama’ah dapat diringkas dengan cukup sederhana, yaitu: syuhud ain al-syari’ah, moderasi antara akal dan nakl dan hakekat kebenaran.
Syuhud ain al-syari’ah, berarti bahwa yang tahu persis tentang bentuk dan rahasia syari’ah hanyalah Allah, yang selanjutnya diberitahukan kepada Rasul melalui wahyu secara rahasia. Selanjutnya Rasul melakukan syari’ah tersebut diikuti oleh para sahabat, diteruskan kepada tabi’in, tabi’ al-tabi’in dengan cara yang sama, sampai kepada para ulama dan umat secara keseluruhan, sambung sinambung sampai hari ini.
Moderasi antara akal dan nakl, berarti bahwa di dalam memahami dan mengamalkan syari’ah harus menggunakan segala sumber dan potensi, baik berupa wahyu maupun akal. Keduanya harus digunakan secara seimbang. Sebab wahyu tanpa akal tidak mungkin dapat dipahami dan diterima, begitu juga akal tanpa wahyu tidak mungkin mengetahui syari’ah sesuai yang dikehendaki oleh Allah. Oleh karena itu akal dan wahyu harus digunakan secara seimbang dalam rangka mengetahui dan memahami maksud syari’ah yang dikehendaki Allah.
Sedangkan hakekat kebenaran menurut NU adalah bahwa kebenaran yang hakiki adalah kebenaran yang bersumber pada wahyu. Kebenaran wahyu bersifat mutlak, sedangkan kebenaran yang dihasilkan oleh akal pikiran bersifat nisbi, relatif. Dengan demikian tidak ada klaim yang paling benar terhadap keputusan akal pikiran. Keputusan akal pikiran hanya mampu menciptakan beberapa alternatif yang bersifat sementara, sehingga memungkinkan adanya beberapa pilihan. Beberapa pilihan tersebut disesuaikan dengan tempat, situasi dan kondisi. Oleh karena itu NU sangat menghargai perbedaan dan penuh toleransi.
Demikian makalah singkat ini dibuat dengan segala keterbatasan, semoga ada guna dan manfaatnya. Amin.

[1] Martin Van Bruenessen, NU Tradisi, Relasi-relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru, (Jogyakarta : Lkis 1994), Cet. I, Hal. 150.
[2] Donald Eugene Smith, Politics and Sicial Change in the Thrith World, (Macmillan Publishing : The Free Press, Co., Inc. 1974), Hal. 57-66.
[3] M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia Pendekatan Fikih Dalam Politik, (Jakarta: PT.Gramdia Pustaka Utama 1994) Hal. 41-3.
[4] Einar Martahan Sitompul, Nahdlatul Ulama Dan Pancasila, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan 1996) Hal.70.
[5] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta : LP3ES 1982) Hal.148-160.
[6] Ibid., Hal.149.
[7] Einar Martahan Sitompul, Op. Cit., Hal.36-7.

Tidak ada komentar: