Senin, 10 Maret 2008

PROBLEMATIKA SEPUTAR KITAB PERJANJIAN LAMA

Oleh :
Zainal Arifin
(Dosen Jurusan Perbandingan Agama Fak. Ushuluddin Surabaya IAIN Sunan Ampel)
Abstrak
Agama Yahudi termasuk tiga agama besar yang memiliki beberapa kesamaan dengan Islam dan Kristen, khususnya yang berhubungan dengan sejarah kelahiran yang berasal dari Ibrahim sehingga disebut Abrahamic religions (agama keturunan Ibrahim). Perbedaan secara prinsip terletak pada ajaran-ajaran yang tertuang dalam kitab suci, yaitu Perjanjian Lama (Taurat) baik content maupun proses penulisan hingga pembakuan sebagai kitab suci yang sampai kepada umatnya sekarang. Artikel ini menjelaskan tentang beberapa kelemahan kitab Perjanjian Lama sebagai kitab yang menjadi pedoman dan tuntunan penganut Yahudi. Ada tiga wilayah problem dalam kitab tersebut;yaitu corak kebahasaan, sejarah penulisan hingga pembakuan dan pola teologi yang dikembangkan. Dalam kitab Perjanjian Lama asli yang menggunakan bahasa Ibrani setiap kalimat huruf hidup ditandai dengan huruf mati (atau matres lictionis) sehingga sulit untuk dipahami secara benar, begitu pula bahasa Ibrani banyak kemiripan dengan bahasa Armenia sehingga mengesankan kitab tersebut diturunkan menggunakan dua bahasa. Problem berikutnya adalah sejak turunnya hingga penulisan sebagai pedoman standar dibatasi waktu ribuan tahun sehingga dimungkinkan kitab ini mengalami pergeseran atau disorientasi. Dan kenyataannya memang benar, sebelum Perjanjian Lama ditulis sudah muncul sekian kitab yang mengatasnamakan kitab Perjanjian Lama (Taurat) sehingga kecurigaan terjadinya distorsi semakin kuat. Penulis berpandangan bahwa membaca dan memahami kitab ini harus lebih kritis agar ditempatkan secara proporsional.
Yahudi is one of three great religions, beside Islam and Nasara which has equality in belief, historical background and geneology of belief, that called Abrahamic Religion.
Kata kunci : Yahudi, Perjanjian Lama, Ibrani, sejarah penulisan, teologi



Pendahuluan
Yahudi dan Kristen biasa disebut umat yang mempunyai banyak kitab (The People of Books)[1] yaitu Bibel. Bibel merupakan kitab atau kumpulan kitab suci umat Yahudi dan Kristen[2], terbagi menjadi dua bagian yakni Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Teks asli Perjanjian Lama ditulis dalam bahasa Ibrani, dengan beberapa bagian pendek yang ditulis dalam bahasa Armenia. Oleh orang Yahudi kitab ini diyakini sebagai kitab kuno Yahudi, dijaga dan dihormati sejak berabad-abad lamanya. Kitab Perjanjian Lama terdiri atas 3 (tiga) macam : Taurat, Nebim dan Ketubin. Taurat artinya hukum tertulis (Labeled Law)[3], atau pengajaran (Instruction).[4] Ia juga merupakan kitab Yahudi yang terpenting dan terkenal dengan sebutan Pentateuch (Five), yaitu kitab Kejadian (Genesis), Keluaran (Exodus), Levy (levyticus), Bilangan (Numbers) dan Ulangan (Deuteronomy).[5] Nebim (Prophets), berisi keterangan tentang para Nabi Bani Israil. Dan Ketubin (Writings), berjumlah sebelas buku mengenai aneka ragam karakter, seperti Psalms, Proverbs dan Chronicles.[6]
Hampir seluruh kitab Bibel sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa asing. Penerjemahan awal kitab ini dilakukan dalam bahasa Armenia, bahasa pergaulan orang Yahudi, Palestina dan seluruh kalangan Timur Tengah, sekitar tahun 600 SM. Taurat diterjemahkan ke bahasa Sumeria sekitar tahun 400 SM. Setelah kemenangan Alexander Agung, dan Yunani menjadi bahasa pergaulan seluruh kawasan Laut Tengah di Alexandria, kitab ini diterjemahkan ke bahasa Yunani, sekitar tahun 250 SM. Tahun 150 SM. kitab ini diterjemahkan ke bahasa Siria, Latin (The Vulgate), Ethiopia, Slavia, Persi, Arab dan Saxon. Menurut data, seluruh atau sebagian kitab-kitab Yahudi sudah diterjemahkan ke dalam 1.250 bahasa, dan jutaan kopi telah disebarluaskan ke berbagai penjuru dunia.[7]
Kegiatan penerjemahan secara besar-besaran, satu sisi memang bisa memudahkan sosialisasi kitab-kitab Yahudi, sekaligus ide dan etikanya. Tetapi sisi lain, kegiatan ini akan menimbulkan masalah kebahasaan yang kompleks, penulisan, pengucapan, penerjemahan atau lainnya, yang pada gilirannya akan mengundang kritik para ahli. Seperti kritik Frederick C. Grant terhadap watak bahasa Ibrani (Yahudi), sejarah teks Perjanjian Lama dan kritik lainnya.[8] Untuk itu di sini akan dicoba menjelaskan kritik di atas, dengan kritik menurut istilah Grant sendiri, “kritik ringan” (Lower Criticism), bukan kritik tajam (Higher Criticism). Logika kita ialah karena orang Yahudi itu tetap termasuk penganut kitab suci (ahlu al-Kitab). Maka mencari titik temu (Common Plat-form) antara sesama penganut kitab suci adalah suatu keharusan . Pesan Al-Qur’an :
Dan Kami (Allah) telah turunkan kepada (Muhammad) kitab suci dengan membawa kebenaran, untuk mendukung kebenaran sebelumnya, yang terdiri dari jenis kitab suci, dan sebagai saksi (muhaimin) atas kitab-kitab suci itu (QS 4:48).
“Katakanlah (Muhammad), wahai para penganut kitab suci, mari menuju kepada kalimatun sawa’ (ajaran yang sama) antara kami dan kami (QS 3:64).

Selain kritik, tentunya apresiasi dan respon positif juga harus diberikan kepada agama ini. Bagaimanapun, Yahudi dengan Taurat-nya, Kristen dengan Injil-nya dan Islam dengan al-Qur’an-nya termasuk penganut agama Nabi Ibrahim (Abrahamic religions)[9] yang hanif. Maka mencari pesan-pesan moral agama itu termasuk misi yang mulia juga.

Watak Bahasa Ibrani
Menurut Grant, kitab Perjanjian Lama ditulis dalam bahasa Ibrani, dengan pengecualian, ada beberapa bagian yang diidentifikasikan dalam bahasa Armenia seperti; Ezra 4:8 sampai 6:18; 7:12-26; Daniel 2:4 sampai 7:28, Jeremiah 10:11, dan beberapa kata yang terdapat pada kitab kejadian. Pada masa kuno bahasa Ibrani dan Armenia selalu ditulis dengan menggunakan huruf mati saja, huruf hidup ditandai dengan huruf mati tertentu, yaitu disebut Matres Lictionis. Akhirnya semua huruf hidup dijelaskan dengan huruf yang sama, huruf hidup.[10]
Sebagian huruf tertentu bahasa Ibrani dan Armenia ada kemiripan, baik bentuk dan bunyinya. Pada naskah segi empat (a square script) yang ditulis sekitar tahun 200 SM. misalnya, terdapat beberapa pasang huruf yang berbentuk sama, dan ini dimungkinkan bisa menimbulkan kerancuan bahasa, seperti huruf D dan R, B dan K, H dan Ch, T dan Ch. Beberapa huruf juga mengalami kerancuan bunyi; S yang mempunyai 3 (tiga) bunyi, K dan T juga berbunyi ganda. Transliterasi Inggris teks Masorek Isaiah 3:24 berikut ini menjelaskan penulisan dan pengucapan yang rancu tersebut.

- Instead of sweet spices there will be rottenness,
- And instead of girdle, a rope,
- Instead of well-set hair, baldness,
- And instead of arobe, a girdling of sack-cloth,
- Branding instead of beauty.[11]


Penulisan kata “instead” pada baris terakhir (baris lima) ayat di atas, yang berbeda dari empat ayat lainnya, menunjukkan kerancuan penulisan kitab Perjanjian Lama. Demikian juga kata “branding” pada baris yang sama, ia bisa diucapkan sama seperti huruf K. Kerancauan ini menurut Grant, disebabkan waktu itu banyak kata yang tidak ditulis secara jelas, dan banyak ayat yang tidak ditulis seperti yang ada sekarang.
Bila dicermati, kritik Grant ini hanya terfokus pada masalah teknis kebahasaan, seperti penulisan satu buku dalam dua bahasa yang berbeda, dan menyamakan huruf yang berbeda dalam kajian bahasa, daerah, nasional dan terlebih bahasa asing. Contoh bahasa Arab, huruf “ha” kadang ditranskripsikan dengan “Th” atau “Ts”.

Sejarah Teks Perjanjian Lama
Anggapan bahwa Yahudi termasuk kelompok agama dengan banyak kitab suci, ternyata bukan sekedar mitos, tapi suatu kenyataan sejarah. Ini terbukti dari banyaknya kitab Perjanjian Lama yang ditemukan dan ditulis antara tahun 100-100 SM. Atau tahun berikutnya, baik yang sudah berupa manuskrip lengkap, atau yang masih pragmentaris. Meski secara jujur diakui, tak satu pun kitab-kitab yang ada itu ditulis dalam bentuknya yang asli (not a single book has come down to the present in it origial). Kitab itu antara lain adalah “Gulungan Laut Mati” (Dead Sea Scrolls), manuskrip pertama yang ditemukan di gua Wadi Qumran, Wadi Murabbat dan daerah padang pasir Palestina. Sekitab abad I dan II SM, gulungan atau lembaran kecil kitab Perjanjian Lama selain Esther juga berhasil ditemukan.
Pada abad II SM., ditemukan teks Masorete, yang berarti orang yang memegang teguh tradisi (one who hands down the tradition). Teks ini menjadi obyek studi para sarjana Bibel yang hidup antara abad ke 6 sampai 10 M. Para Sarjana ini bukan golongan kritikus teks yang kritis, tapi pengawal tradisi Bibel yang baik, khususnya yang berkaitan dengan bacaan.[12]
Dari Masorete lahir dua keluarga utama, yaitu Bani Asher dan Bani Naptahuli. Dua dari lima generasi Bani Asher adalah orang-orang terkenal, seperti Musa bin Asher dan Aaron bin Musa bin Asher. Teks Bani Asher dipandang sebagai teks yang paling otentik setelah diperkenalkan oleh Maimonides (Musa bin Maimon).[13] Pada abad XII, dan diyakini sebagai teks paling tua waktu itu di kalangan sarjana modern. Teks yang juga digunakan bertahun-tahun di Sinagoge Aleppo (Siria), saat ini menjadi koleksi perpustakaan Universitas Yahudi Yerusalem. Ia juga menjadi referensi penulisan kritis kontemporer tentang masalah Yahudi.
Jelas, dari sejarah teks ini bisa dipahami bahwa antara penulisan kitab Perjanjian Lama mutakhir dan manuskrip-manuskrip yang menjadi acuan kajian kontemporer dibutuhkan waktu ribuan tahun atau lebih. Dalam rentang waktu yang panjang inilah menurut Grant, teks-teks itu disalin dan ditulis ulang dengan tangan. Teks yang ditulis dengan mesin ketik saja bisa salah, apalagi yang ditulis dengan tangan, kemungkinan terjadi kesalahan adalah sesuatu yang tak terelakkan. Kesalahan ini bisa dilihat pada bagian kitab Yahudi yang memuat materi yang sama dalam dua empat yang berbeda. Contoh, ayat Gulungan Laut mati Isaiah adalah : “For instead of beauty (there will be) shame”.
Ayat tersebut juga disebutkan pada teks Masorete Isaiah di atas, hanya ditambah kata “shame” saja. Contoh lain bisa dilihat pada Samuel II 22 pada Psalms 18, Isaiah 13-39 dan King II 18:13-12:19. Ternyata studi sejarah teks Perjanjian Lama sangat kompleks, dan kompleksitas ini tidak membantu banyak untuk menemukan dan menghasilkan studi tentang teks Perjanjian Lama yang asli.[14]

Problem Teologis
Ada kritik teologi yang dikedepankan Suhairi Ilyas, dengan mengutip isi kitab Levy dan Talmud Kutipannya : “…….diceritakan bahwa Tuhan itu sesungguhnya banyak, akan tetapi Bani Israil mempunyai seorang Tuhan khusus untuk mereka ….. agama Yahudi mengakui adanya satu Tuhan bagi mereka di samping umat lainnya pun mempunyai Tuhan masing-masing…..”.[15]
Bila dicermati, pemikiran di atas mengindikasikan pemikiran yang dikotomis, satu sisi agama Yahudi dianggap politeistik (musyrik), tapi sisi lain ia diakui secara jujur sebagai agama yang monoteistik. Pengakuan yang jujur ini memang sejalan dengan semangat agama Yahudi yang berciri monoteistik radikal, yang menurut Max Weber diakui sebagai agama “monoteisme murni” (a strict monotheism in principle).[16]
Hal ini bisa dikonfirmasikan pada ajaran Musa, yang menurut sebagian Yahudi Ortodok (Orthodox Jews) berasal langsung dari Tuhan (the direct word of God)[17], seperti percaya kepada eksistensi Tuhan, keesaan Tuhan, Tuhan tidak berbentuk dan keabadian Tuhan, yang semuanya mengisyaratkan prinsip-prinsip tauhid yang ekstrim dan radikal. Soal nama Tuhan Yahudi yang biasa disebut "Tuhan Yahweh" (Yahwistic God)[18], tentunya sebutan ini tidak mengurangi semangat ketuhanan Yahudi yang murni dan ekstrim. Hal ini hanya berkaitan dengan pemberian nama saja terhadap “Hakekat Tertinggi” yang menaungi hidup manusia, yang kepada-Nya ia merasa tergantung dan membina sikap batin khusus.[19] Apa diberi nama Gusti Allah, Gusti Pengeran, Wise Lord, Kenyataan Akhir, Sommum Bonum, Mysterium Tremendum at Fascinans, atau nama lainnya, semua itu, tidak menjadi masalah, hanya masalah nama saja.
Sebagai contoh, Allah orang Arab sebelum Islam (masa Jahiliyah) berbeda dari Allah orang Islam sekarang, karena Allah orang sebelum Islam, antara lain mempunyai anak dan serikat, yang semuanya minta dilayani dalam bentuk sajian dan kepatuhan manusia,[20] Al-Qur’an sendiri menyebutkan bahwa orang Arab jahiliyah juga percaya kepada Allah sebagai satu-satunya pencipta alam semesta dengan seluruh isinya. Tapi mereka mempunyai pengertian khusus tentang apa atau siapa hakekat Allah yang mereka percayai itu, dan masih menyembah yang lain juga, yaitu berhala yang mereka anggap bisa menjadi perantara kepaa Allah (Q.S. 39:3).
Pembedaan pemberian nama Tuhan ini bila diletakkan pada perspektif yang lebih jauh, mengisyaratkan adanya dua kelompok aliran teologi dalam merespon semangat keagamaan. Yaitu kelompok yang sering disebut dengan terma status qua, ekslusif, anti perubahan. Kelompok neo-Revivalis dan neo-Modernis meminjam istilah Masdar F. Masudi.[21] Ortodok atau ultra ortodok dan progressif atau liberal menurut Douglas Charing untuk orang Yahudi.[22] Atau kelompok skriptualis dan substansialis menurut terminologi Willian Liddle.[23] Di kalangan internal Islam Indonesia, kelompok pertama diwakili Daud Rasyid dengan madzhab media dakwahnya, sementara kelompok kedua diwakili Nurcholish Madjid dengan madzhab Paramadina. Dan polemik antar dua madzhab teologi ini sempat mewarnai banyak pemberitaan media cetak beberapa tahun lalu.
Seharusnya kita memberikan apresiasi dan respon positif terhadap agama Yahudi karena monoteismenya yang murni itu. Meski Islam juga menganut paham monotheisme murni, tapi kemurnian monotheisme Islam telah terkontaminasi ketika ia diterjemahkan pada konteks sosiologis. Yaitu adanya kultus terhadap orang-orang yang dipandang suci seperti wali (the pious).[24] Tentunya tengara Weber ini perlu diberi notasi khusus sebagai bahan mengacu diri umat Islam. Jadi benar kata Bakker bahwa formalisme agama hanya akan membuat seseorang terasing dari konsep agamanya yang paling dasar.[25]

Catatan Akhir : Agama Etis
Yahudi disifati sebagai agama yang etis (ethical religion), dan bukan agama mitos (mytical religion).[26] Artinya, prinsip-prinsip etika dijunjung tinggi oleh agama ini. Prinsip etika itu diformulasikan dengan bangunan kata yang terkenal, “Sepuluh perintah Tuhan” (Ten Commandements, al-Washaya al-Asyar). Diawali kata yang menarik “jangan”/negasi dan “harus”/imperasi. Di antaranya ialah jangan salah mengidentifikasikan Tuhan/jangan membunuh, berzina dan mabuk-mabukan. Jangan bernafsu untuk memiliki rumah saudara, istri, pembantu, rumah, kendaraan dan binatang piaraan. Berbuatlah baik
kepada perabot ribuan orang yang Tuhan kasihi.[27]
Formula etika ini sejalan dengan sistem pemikiran agama Yahudi yang bersifat universal. Bahwa prinsip etika Yahudi bisa diadopsi dan diartikulasi oleh setiap kelompok etnis apapun. Atau istilah yang lebih teknis ialah prinsip etika Yahudi bisa merangkul seluruh umat manusia ( Its ethical prinsiples embrace all mankinds ). Seperti pengobatan massal, pembuatan patung polisi, pemberian bingkisan lebaran atau kegiatan sosial lainnya, yang sering dilakukan oleh organisasi sosial elite seperti Lion Club, atau Rotary Club. Bila diindikasikan benar organisasi itu merupakan jaringan Yahudi, maka hal itu harus dipahami dalam konteks sistem etika Yahudi yang berdimensi global itu.
Sistem etika dalam wacana Yahudi ini seharusnya ditempatkan dalam kerangka pikir bahwa Yahudi merupakan kerajaan orang-orang mulia (a kingdom o priests) bangsa suci (a holy nation), dan pengawal monotheisme murni ( the custodian of pure monotheism ). Sebagai pengawal monotheisme, kompromi Yahudi hanya diberikan kepada yang bersemangat tauhid murni, tidak kepada sistem hukum, ritual, upacara keagamaan atau ikatan kesejarahan yang khusus. Sekalipun kepada para pendukungnya, yaitu orang-orang Graeco Roman dan agama anak perempuannya, Kristen dan Islam; yang telah membantu memenangkan keadilan Tuhan, kasih sayang dan kesucian dari paganisme. Esensi konsepsi Yahudi sebagai pengawal kemurnian tauhid ini tidak dimaksudkan bahwa merekalah yang paling berhak memonopoli kebenaran Tuhan, tapi lebih sebagai pengawal tauhid yang diangkat Tuhan demi kepentingan umat manusia.[28]
Mengikuti sejarah yang ada, memang sikap Yahudi terhadap agama-agama lain terkesan unik dan khas. Prinsip hukum agama yang keras, yang lahir dari sejarah Israel disebabkan adanya keharusan menjadi umat terhormat, tapi tidak untuk menyelamatkan manusia secara universal. Karena menurut pemikiran para Rabbi, Tuhan telah membuat perjanjian dengan seluruh ras manusia yang mendahului perjanjian denagan Israel. Dalam perjanjian itu telah diberikan dasar-dasar keyakinan manusia yang universal, yang digambarkan sebagai hukum-hukum anak-anak Nuh ( Laws of the children of Noah ). Hukum agama atau prinsip-prinsip etikanya secara mendasar berwatak sama, tidak berbeda dari prinsip etika agama yang datang kemudian, dimana Israel ditakdirkan untuk membangunnya di bawah panji-panji kenabian. Dan ini merupakan tahap awal dalam evolusi agama yang oleh Yahudi digambarkan sebagai puncak keyakinan manusia. Para rabbi secara mengesankan merekontruksi hukum-hukum anak Nuh dalam kacamata paganisme, dengan membuat peraturan yang bertujuan membimbing umat terhindar dari tingkah laku yang merusak dan unsur-unsur paganisme itu.
Untuk itu mereka diminta berhenti menyembah berhala, menghina Tuhan, berbuat tidak senonoh dengan saudara, membunuh, mencuri, berlaku kejam terhadap binatang yang masih hidup, yang semuanya mengisyaratkan persepsi moral yang negatif. Perjanjian yang memberikan rasa keadilan ini merupakan yang ketujuh dari perintah final Tuhan tentang sistem kepercayaan universal. Para rabbi mengajarkan bahwa tatanan dunia yang bermoral harus tetap ditegakkan, dan kemanusiaan yang beradab harus selalu dipertahankan dalam kondisi yang bagaimanapun. Menjadi kewajiban orang-orang yang terhormat untuk membimbing umat kepada ketinggian akhlak dan kesempurnaan agama.[29]
Semua ini bisa dicapai karena Yahudi tidak pernah mengembangkan agamanya dengan cara paksa dan kekerasan. Masalahnya, dorongan batin akan ajaran tertentu, yang menjadi kunci satu-satunya untuk keselamatan manusia, tidak mesti memadai, karena jalan menuju keselamatan selalu terbuka bagi siapa saja yang mempunyai standar keyakinan universal. Konversi formal umat dunia kepada Yahudi adalah bukan bagian dari rencana Tuhan, tapi lebih merupakan fungsi atau tugas orang-orang yang terhormat. Yang dengan hidup dan karyanya, mereka membangun standar moral dan agama yang mampu mengundang daya tarik umat menuju jalan kesempurnaan moral dan jalinan yang lebih dekat dengan Tuhan.[30]

[1] Douglas Charing, Comparative Religions, (New York: Blanford Press, 1982), 86
[2] Frederick C. Grant, Encyclopedia Americana, Vol. 3, (Canada: Gralier Limited, 1977), 647
[3] Ibid., 648
[4] Charing, Comparative, 89
[5] Maurice Bucaille, The Bible, Tehe Qur’an and Science, (Dakka: The Gorviment Press, 1985), 22
[6] Charing, Comparative, 89.
[7] Grant, Encyclopedia, 648.
[8] Ibid.
[9] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta:Paramadina, 1992), 48
[10] Grant, Encyclopedia, 658
[11] Ibid., 660
[12] Ibid.,
[13] Abraham A. Neuman, The Great Religions in The Modern World, (New Jersey: Prunceton Press, 1946), 237
[14] Grant, Encyclopedia, 600.
[15] Panji Masyarakat No. 328 Tahun (1985), hal….?
[16] Max Weber, The Sociology of Religion, (Boston: Beacin Press, 1964), 138
[17] Charing, Comparative,Loc. cit.
[18] Trevor Lingkungan, A History of Religion, East and West, (London: MacMillan Pres, 1968), 72
[19] JMW. Bakker, Agama Asli Indonesia, (Jakarta: Sinar Harapan Press, 1982), 12
[20] Ulumul Qur’an, No. 1 Tahun (1993), hal…..?
[21] Ibid.
[22] Charing, Comparative,….?
[23] Ulumul Qur’an, hal…..?
[24] Weber, Sociology, 139
[25] Bekker, Agama Asli, 14
[26] Ling, A History,
[27] Mahmud Abu al-Faidz, Ad-Dinu al-Muqoron, (Kairo: Dar an-Nahdhah, tt.), 659
[28] Neuman, The Great Religion, 228
[29] Ibid.
[30] Ibid.

Tidak ada komentar: