Kamis, 28 Februari 2008

KEBAHAGIAAN (Studi Kritis Terhadap Aliran Filsafat Mengenai Konsep Kebahagiaan)

Oleh : Muktafi Sahal
Abstrak: Kebahagiaan dalam kajian filsafat telah mengkristal menjadi aliran seperti Hedonisme, Utilitarisme, Stoisisme dan Deontogi. Hedonisme adalah aliran filsafat yang memandang kesenangan (hedone) sebagai tujuan pokok bagi kehidupan ini, tetapi yang dimaksud adalah kesenangan sebagai perangsang intelek manusia. Orang yang bijakasana selalu mengusahakan kesenangan sebanyak-banyaknya dan menghindari penderitaan. Utilitarisme memandang baik dan buruk segala perbuatan manusia dipandang dari sudut besar kecilnya manfaat bagi manusia, dipandang dari sudut kuantita, besar kecilnya manfaat. Yang dimaksud manfaat ialah kebahagiaan untuk jumlah manusia yang sebesar-besarnya. Stoisisme mengatakan kalau manusia mencari kebebasan janganlah ia mencoba mencari dengan berusaha meloloskan diri dari kodratnya, tetapi dengan jalan bekerja dan bertahan diri. Manusia yang berpikir dan berbuat secara stoa dapat dikatakan benar-benar merdeka. Persesuaian kemauan manusia dengan kemauan Tuhan, sebagai pelaksanaan hukum kausal-alamiah bukan syarat bagi merdeka sebenar-benarnya, tetapi juga syarat untuk memperoleh kesenangan hidup. Deontologi menyatakan, yang bisa disebut baik dalam arti sesungguhnya hanyalah kehendak yang baik. Perbuatan dapat dianggap baik jika dikendalikan oleh kehendak yang baik. Menurut Kant: kehendak menjadi baik jika bertindak karena kewajiban.

Kata Kunci: Kebahagiaan, Hedonisme, Utilitarisme, Stoisisme dan Deontologi.
Kebahagiaan: Tujuan Aktifitas Manusia
Aristoteles menyatakan, bahwa setiap tindakan mempunyai tujuan-tujuannya. Tetapi ada dua macam tujuan; tujuan yang dicari demi sesuatu tujuan selanjutnya dan tujuan yang dicari demi dirinya sendiri. Misalnya tujuan kepandaian dalam ilmu kedokteran itu sendiri hanya demi tujuan selanjutnya, yaitu orang sakit supaya disembuhkan. Menurut Aristoteles tak mungkinlah semua tujuan kita cari demi tujuan lain lagi. Akhirnya mesti ada tujuan yang dicari demi dirinya sendiri. Tujuan itulah yang kita sebut baik pada dirinya sendiri. Maka untuk mengetahui bagaimana sebaiknya kita bertindak, perlu menemukan apa yang menjadi tujuan pada dirinya sendiri. Menurutnya, apa yang dicari demi dirinya sendiri hanyalah satu, yaitu kebahagiaan (eudaimonia).[1]
Dengan mengikuti pendapat Aristoteles di atas, berarti sama halnya dengan kita mengatakan bahwa kebahagiaan adalah motif terdasar dari segala sesuatu yang kita kerjakan. Bagaimanapun juga segala perbuatan manusia, baik yang aktif maupun yang pasif sebenarnya tujuannya hanyalah satu, yaitu kebahagiaan.
Setiap perbuatan kita digerakkan oleh keinginan. Pemuasan keinginan tersebut dituju dan dikehendaki paling sedikit sebagai suatu unsur dalam keseluruhan kebahagiaan kita. Oleh karena itu maka, apa sebenarnya yang dinamakan kebahagiaan ? apakah kebahagiaan itu dapat dicapai ? bagaimana cara memperolehnya ? bagaimana tanda-tanda orang yang memperoleh kebahagiaan ? apakah tujuan dari pengetahuan tentang baik dan buruk dalam relevansinya dengan kebahagiaan kita? Apakah kebahagiaan sempurna itu dapat dicapai di dunia ini? Apa yang disebut kebahagiaan pribadi dan apa pula kebahagiaan bersama?.
Beberapa pertanyaan berangkai di atas, maka persoalan kebahagiaan telah menjadi masalah yang unik dalam kehidupan manusia, utamanya untuk memberikan standar yang pasti tentang apa yang dinamakan kebahagiaan dan bahkan istilah kebahagiaan seringkali terpakai dalam beberapa kata yang kurang konkrit dan parsial sifatnya. Oleh karena itu timbul sengketa di wilayah sekitar makna dan pemakaiannya, sehingga menimbulkan beberapa aliran yang khusus membahas masalah kebahagiaan dari segala sudut dan bentuknya, sebagaimana akan diterangkan berikut ini.

A. Hedonisme
Di dalam filsafat Yunani kuno, tokoh pertama yang dikenal mengajarkan Hedonisme (hedone = kesenangan) ialah Demokritos (400-370 sM), yang memandang kesenangan sebagai tujuan pokok di dalam kehidupan ini. Yang dimaksudkan bukanlah kesenangan fisik, tetapi kesenangan sebagai perangsang bagi intelek manusia.
Pengikut Sokrates, Aristippus (w. _+395 sM) mengajarkan bahwa kesenanganlah yang merupakan satu-satunya nilai yang ingin dicari manusia. Yang dimaksudnya dengan kesenangan ialah rasa senang yang diperdapat langsung melalui panca indera. Orang yang bijaksana selalu mengusahakan kesenangan sebanyak-banyaknya. Kesenangan itu baginya merupakan pengalaman yang lunak, sebab kekerasan dipandangnya menimbulkan rasa sakit.[2]
Contoh yang terkenal dari aliran hedonis ini ialah etika kaum Epikurus (341-270sM). Menurut pengalaman, kata Epikurus, semua manusia ingin mencapai kelezatan dan juga hewan ingin mencapai kelezatan. Dan semuanya didorong oleh watak (tabiat) manusia dan bukan disebabkan pelajaran atau pemikiran akal. Karena itu teranglah, yang menentukan keinginan manusia itu bukanlah akal, akan tetapi natur (fitrah) manusia. Oleh karena sudah nature atau fitrah manusia ingin kepada kelezatan itu, maka diteruskan bahwa tujuan manusia adalah mencari kelezatan.
Kaum hedonis menganggap bahwa perbuatan yang baik adalah perbuatan yang menimbulkan hedone (kenikmatan). Karena kelezatan itu merupakan tujuan, maka semua jalan yang menyampaikan kepadanya adalah sesuatu yang utama (berharga). Akal, pengetahuan serta kebijaksanaan dianggap sebagai keutamaan karena mereka juga merupakan jalan menuju kelezatan itu.[3]
Pendapat kaum Epikurus tentang kelezatan atau kebahagiaan ini secara ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Epikurus berpendapat bahwa kebahagiaan atau kelezatan itu ialah tujuan manusia. Tidak ada kebaikan dalam hidup selain kelezatan dan tidak ada keburukan kecuali penderitaan. Dan etika itu tidak lain selain dari berbuat untuk menghasilkan kebahagiaan.
2. Epikurus berpendapat bahwa kelezatan akal dan rokhani itu lebih penting dari kelezatan badan, karena badan itu berasa dengan lezat dan derita selama adanya kelezatan dan penderitaan itu saja, dan badan itu tidak dapat mengenangkan kelezatan yang telah lalu, tidak dapat merencanakan kelezatan yang akan datang. Adapun akal itu dapat mengenangkan dan merencanakan dan karenanya kelezatan akal itu lebih lama dan lebih kekal. Akal itu mengikuti badan dalam kelezatannya, waktu merasakan kelezatan dan ditambah dengan kelezatan kenangan dan kelezatan rencana.
3. Golongan Epikurus menginginkan kelezatan negatif lebih banyak dari pada kelezatan positif. Mereka memaksudkan dengan kelezatan negatif ialah sunyi dari penderitaan. Mereka tidak memperhatikan benar-benar kepada sangatnya lezat dan rasanya yang menyala-nyala, akan tetapi perhatian mereka yang terbesar ditujukan ke arah kelezatan negatif, seperti ketentraman akal dan ketenangan, dan jauh dari apa yang menyebabkan kegoncangan.
4. Golongan Epikurus berpendapat bahwa kebahagiaan itu tidak tergantung kepada banyaknya kebutuhan dan kecenderungan, bahkan kebanyakan itu menjadikan sukar untuk menghasilkan kebahagiaan. Oleh karenanya wajib bagi kita untuk memperkecil kebutuhan dan keinginan kita sedapat mungkin.[4]
Kelezatan masih tetap menjadi norma perbuatan baik. Tetapi kesenangan di sini tidak meliputi kesenangan badaniah, sebab kesenangan jenis ini akhirnya akan menimbulkan rasa sakit. Senang bagi Epikurus berarti tidak adanya rasa sakit di dalam badan dan tidak ada kesulitan-kesulitan jiwa. Puncak kesenangan baginya ialah ketenagan jiwa. Jiwa dapat meninjau kembali peristiwa yang menyenangkan masa lampau dan juga mungkin yang akan datang. Jiwapun dapat mengatasi keterbatasan tubuh manusia. Biarpun badan sakit, namun jiwa mungkin dapat mengatasinya dengan memusatkan pikiran kepada hal-hal yang lain. Jiwa dapat mengalami rasa sakit yang lebih berat dari pada badan seperti yang kelihatan pada orang yang sakit jiwa. Oleh sebab itulah harus diusahakan supaya jiwa jangan sampai terganggu dan sakit.[5]
Dari jurusan ini Epikurus melihat bahwa kelezatan itu adalah ketentraman jiwa. Ketentraman jiwa ini tidak akan tercapai tanpa keseimbangan badan. Tidak ada keseimbangan badan itulah yang menyebabkan timbulnya keinginan-keinginan manusia kepada kelezatan. Tetapi dari pengalaman ternyata bahwa badan manusia itu keadaannya selalu berubah-ubah dan tidak pernah sungguh-sungguh berada dalam keseimbangan. Dengan begitu Epikurus lalu membuat keseimbangan lain, yaitu keseimbangan rokhani yang menimbulkan kelezatan rasional atau kelezatan rokhani yang bersandar pada keseimbangan jiwa dan akal manusia.
Kaum hedonis modern memilih kata kebahagiaan untuk kesenangan. Menurut Aristippus, kesenangan itu berkat gerakan yang lemah gemulai. Sedangkan rasa sakit berkat gerakan kasar. Kesenangan intelektual mungkin lebih tinggi, tetapi kesenangan panca indera lebih dalam (lebih intensif). Sesuatu perbuatan disebut baik sejauh menyebabkan kesenangan, memberi kenikmatan. Kebajikan berguna untuk menahan kita jangan jatuh ke dalam nafsu yang keterlaluan, yakni gerakan kasar, jadi tidak menyenangkan. Sesuatu adalah baik bila akan menambah kesenangan kita dan buruklah hal yang mengurangi kesenangan. Kesenangan intelektual lebih baik karena lebih tahan lama, tetapi kita tidak merasa cukup tanpa kesenangan-kesenangan indrawi. Orang yang bijaksana mengatur hidupnya sedemikian rupa sehingga dapat mencapai kesenangan sebanyak-banyaknya dan kesedihan sedikit-sedikitnya.[6]
Demikianlah pandangan Hedonisme tentang kelezatan, kenikmatan atau kebahagiaan. Aliran ini lebih dekat mengartikan kebahagiaan pada bentuk-bentuk lahiriyah, yakni kelezatan, kenikmatan dan sebagainya. Akal dijadikan alat supaya dapat mengantarkan kepada kelezatan itu, mengenang dan merencanakannya di masa yang akan datang. Inilah fakta moral yang dirancang hedonisme agar manusia dapat merasakan kelezatan itu dalam waktu yang relatif lama, yang melampaui perasaan lezat pada badan ketika ia merasakan kebahagiaan.

B. Utilitarisme.
Secara historis aliran ini terbit dari hedonisme. Hume dalam suatu tulisannya yang terkenal, menolak gagasan kontrak sosial sebagai suatu takhayyul dan menganjurkan supaya tidak ada ukuran legitimasi dalam masyarakat untuk selain dari pada kegunaan. Bacaan tentang inilah yang memberikan inspirasi pada Jeremy Bentham (1748-1832) untuk menulis karyanya “Fragment on Government” (1776), suatu karya yang berusaha memperkenalkan akal sehat dan metode ilmiah dalam pembahasan masalah negara.
Bentham menterjemahkan optimisme ini ke dalam bahasa filsafat moral. Premis Bentham cukup sederhana, yaitu Hedonisme Psikologis. Manusia mencari kesenangan dan menghindarkan rasa sakit, dan itulah satu-satunya fakta moral yang tunggal.
“Alam telah menempatkan manusia di bawah kekuasaan dua majikan, yaitu sakit dan senang. Mereka menguasai kita dalam segala tindakan, ucapan dan dalam segalanya yang kita pikirkan. Setiap usaha kita untuk melepaskan diri dari kekuasaan tersebut, hanya akan membuktikan dan membenarkan kenyataan itu. Dalam perkataan, manusia mungkin berpura-pura mengutuk kekuasaan tersebut, tetapi dalam kenyataan dia tetap tunduk selamanya”.
Bentham mengubah dengan segera pengamatan ini menjadi suatu prinsip yang mengatakan bahwa hanya demi kesenangan dan rasa sakit “kita menyatakan apa yang harus kita lakukan dan menentukan apa yang kita lakukan”. Dari pernyataan ini selangkah pendek saja lagi kita sampai pada azas kegunaan (utility) yang terkenal itu. Azas ini menyatakan bahwa “kebahagiaan yang paling besar dari semua mereka yang kepentingannya dipersoalkan” adalah tujuan tindakan manusia sebagai satu-satunya tujuan yang benar dan pantas serta didambakan secara universal.[7]
Utilitarisme adalah aliran yang memandang baik dan buruknya segala perbuatan manusia itu ditinjau dari sudut pandang kwantita, kecil besarnya manfaat bagi manusia. Adapun yang dimaksudkan dengan manfaat di sini adalah suatu kebahagiaan untuk jumlah manusia yang sebesar-besarnya (utility is happiness for the greatest number of sentient being).[8]
Jadi tujuan aktifitas hidup manusia menurut aliran ini adalah kebahagiaan yang paling besar bagi jumlah terbesar orang (the greates happiness of the greatest number).
Keuntungan besar yang nampak dari azas ini ialah bahwa prinsip tersebut memungkinkan etika untuk dapat dipahami secara kuantitatif. Kita dapat membayangkan satuan dari kesenangan dan penderitaan—untuk dinilai dalam konteks intensitas, lamanya, kepastiannya, persamaannya dan sebagainya—untuk mengukur satu tindakan terhadap tindakan yang lain.[9]
Bentham mengatakan bahwa kesenangan dan kesedihan perorangan adalah bergantung kepada kebahagiaan dan kemakmuran pada umumnya dari seluruh masyarakat.[10] Perbuatan-perbuatan yang menimbulkan rasa senang adalah baik dan yang menyebabkan rasa sakit adalah buruk. Kedua jenis perasaan inilah yang menentukan apakah yang dipikirkan, dikatakan dan diperbuat manusia. Manusia itu adalah makhluk yang mencari kesenangan dan mengelakkan rasa sakit. Perbuatan yang sesuai dengan prinsip utility akan meningkatkan kebahagiaan seseorang dan juga kebahagiaan masyarakat.[11]
Aliran Utilitarisme mencapai perkembangan sepenuhnya dalam diri John Stuart Mill (1806-1873). Mill mengatakan bahwa kesenangan itu berbeda dalam kualitas dan juga berbeda dalam kuantitas. Tujuan perbuatan manusia dan ukuran moralitas adalah hidup bebas dari kesedihan dan sekaya-kayanya dalam kesenangan, baik dalam kualitas maupun kuantitasnya. Seterusnya Mill berkata bahwa kebajikan tidaklah berlawanan dengan kebahagiaan. Kebajikan adalah salah satu unsur yang membuat bahagia.[12] Kebahagiaan terdiri dari kebiasaan-kebiasaan yang moral baik.
Sikap etis yang wajar ialah menghitung-hitung dengan cermat rasa senang dan jumlah rasa sakit sebagai hasil perbuatan untuk kemudian mengurangi jumlah rasa sakit dari pada jumlah rasa senang. Kalau rasa senang lebih banyak dari pada rasa sakit, maka perbuatan itupun dapat dinilai baik. Perhitungan jumlah rasa senang dan jumlah rasa sakit ini dikenal dengan nama “hedonistic calculus” dapat dilakukan, sebab Bentham melihat tujuh unsur atau dimensi dari nilai-nilai rasa sakit dan rasa senang sebagai berikut.
1. Intensity (kuat lemahnya perasaan sakit atau senang)
2. Duration (lama atau pendeknya waktu berlakunya rasa senang itu)
3. Certainty (kepastian akan timbulnya perasaan itu)
4. Propinguity (dekat-jauhnya dalam waktu terjadinya perasaan itu)
5. Facundity (kemungkinan perasaan itu diikuti oleh perasaan yang sama)
6. Purity (kemurnian, tidak bercampurnya dengan perasaan yang berlawanan)
7. Extent (jumlah orang yang akan terkena oleh perasaan itu).[13]
Enam unsur pertama mengenai perbuatan yang menimbulkan rasa senang atau rasa sakit dari orang per orang, tetapi unsure ke tujuh khusus mengenai orang lain yang terkena oleh rasa senang sebagai akibat dari perbuatan seseorang. Dengan unsur ke tujuh ini etika yang individualistik berubah menjadi etika sosial sifatnya.
Dengan hedonistic calculus ini Bentham memberikan dasar matematik kepada bidang etika, sebab ke tujuh unsur-dimensi dari rasa senang itu dapat diukur. Etika oleh karena itu akan memberi arah bagi perbuatan-perbuatan manusia. Tiap orang dapat menjumlah rasa senang dan mengurangi rasa sakit untuk mencapai hasil yang akan menentukan, apakah perbuatan itu akan dilakukan atau tidak.[14] Akhirnya Utilitarisme ini adalah sebagai teori teleologis universalis. Teleologis karena mengukur betul-salahnya tindakan manusia dari manfaat akibatnya. Utilitarisme bersifat universalis karena yang menjadi norma moral bukanlah akibat-akibat baik bagi si pelaku sendiri saja, melainkan akibat-akibat baik di seluruh dunia. Kita harus memperhatikan kepentingan dari semua orang yang akan terpengaruh oleh tindakan kita, termasuk kita sendiri. Maka dengan demikian Utilitarisme mengatasi egoisme dan membenarkan bahwa pengorbanan dari kepentingan atau nikmatnya sendiri demi orang lain dapat merupakan tindakan yang paling tinggi nilai moralnya.[15]
Utilitarisme hanya menuntut maksimalisasi dari akibat-akibat baik, sedangkan apa yang dianggap baik dapat berbeda-beda. Maka ada utilitarisme egois dan ada juga yang eudomonis atau pluralis, artinya mengenai pelbagai hal yang bernilai pada dirinya sendiri, bukan hanya satu saja.[16] Namun demikian sejak lebih dari tiga puluh tahun dibedakan
dua macam utilitarisme yang memang berlainan, yakni utilitarisme
tindakan dan utilitarisme peraturan.
a. Utilitarisme tindakan. Kaidahnya dapat dirumuskan bertindaklah sedemikian rupa, sehingga tindakanmu itu menghasilkan suatu kelebihan akibat-akibat baik di dunia yang sebesar mungkin dibandingkan dengan akibat-akibat yang buruk
b. Utilitarisme peraturan. Berbeda dengan utilitarisme tindakan, maka utilitarisme peraturan kaidahnya dapat dirumuskan: bertindaklah selalu sesuai dengan kaidah-kaidah yang penetapannya menghasilkan kelebihan akibat-akibat baik di dunia yang sebesar mungkin dibandingkan dengan akibat-akibat buruk.[17]
Pada kaidah pertama (utilitarisme tindakan), kaidah macam itu ternyata makin lama makin diserang, sehingga hampir tidak ada lagi yang membelanya. Alasannya bukan hanya bahwa kiranya orang tidak dapat hidup sama sekali tanpa peraturan, tetapi bahwa setiap pernyataan moral mengandung unsur bahwa harus diulangi dalam situasi yang sama, walaupun barangkali akibat-akibatnya berlainan. Hal ini dapat dihayati dari contoh berikut ini : “seorang ibu mau mencuri beberapa blek/kaleng daging dari toko makanan besar untuk memberikannya kepada seorang gelandangan”. Apakah ibu itu boleh berbuat begitu? Mengingat rugi toko itu kecil sekali. Di lain pihak blek-blek itu amat bermanfaat bagi seorang gelandangan. Utilitarisme tindakan dapat membenarkan pencurian itu, tetapi apakah itu dapat diterima? Bukankah ada bahaya bahwa dengan demikian seluruh keteraturan masyarakat akan goyang?. Bukankah pencurian semacam itu paling-paling boleh menjadi usaha terakhir kalau ibu itu tidak melihat lagi jalan lain untuk mempertahankan nyawa si gelandangan itu (sedangkan utilitarisme tindakan tidak menuntut terpenuhinya syarat itu).
Oleh sebab itu menurut kaidah kedua, yang mencoba memperbaikinya supaya luput dari serangan-serangan itu. Sekarang yang diperhitungkan bukan lagi akibat baik dan buruk dari tindakan itu sendiri masing-masing, melainkan dari peraturan umum yang mendasari tindakan itu. Jadi yang dipersoalkan sekarang adalah akibat-akibat baik dari suatu peraturan andaikata dianggap berlaku umum.
Hal ini menurut Mill terdapat suatu hambatan setelah dipadukan dengan membahas persoalan kebebasan politik (on liberty). Bahwa persoalan politik dapat dipecahkan kalau soal itu dipandang secara negatif. Dalam arti segala pembatasan yang sah dapat dikenakan pada individu. Dan karena kebahagiaan terletak pada pemuasan keinginan, maka kebebasan politik kalau harus merupakan suatu nilai yang sesuai dengan azas utilitas, maka harus ada dalam kebebasan untuk memberi kepuasan pada keinginan. Namun orang mungkin menginginkan melakukan sesuatu yang merintangi pemuasan keinginan orang lain. Azas mana yang harus digunakan dalam memberikan pengesahan antara keduanya? Atau tidak perlu ada azas itu? Hanya perjuangan kodrat untuk berkuasa.
Tampaknya bagi Mill pasti harus ada hambatan, tetapi tidak dapat didasarkan hanya atas dasar utilitas, karena itu, tidak akan menuju pada hukum yang tercipta dan tidak ada kepatuhan rakyat pada tatanan yang sudah nyata. Orang dapat saja berbeda pendapat mengenai kepuasan mana yang akan lebih besar atau yang paling menguntungkan untuk jangka panjang.[18]
Demikianlah pandangan Utilitarisme tentang kebahagiaan dalam bentuknya yang lebih mengarah dan hanya diarahkan pada azas manfaat yang dirasakan oleh sebagian besar orang akibat tindakan kita dan kemaslahatan di dunia pada umumnya.

C. Stoisisme.
Pada mulanya stoisis berasal dari nama sekolah yang didirikanDalam filsafat kuno, aliran stoisis langsung berlawanan dengan hedonisme Epikurus. Anthisthenes, sebagaimana juga Aristippus adalah murid Sokrates.
oleh Zeno (336-264). Perkataan stoa diambil dari bahasa Greek, yang berarti ruang (ukiran yang terdapat dalam ruang). Seperti dengan kaum Epikurus, kaum stoa berbicara tentang persoalan-persoalan yang mengarah pada satu titik tujuan dari pada aktifitas manusia sebagai motif terdasarnya, yaitu kebahagiaan. Mereka mengatakan; kalau manusia mencari kebebasan, janganlah ia mencoba mencari dengan berusaha meloloskan diri dari kodratnya, tetapi dengan jalan bekerja dan bertahan diri.[19]
Menurut Zeno kebajikan itu mendorong untuk hidup dalam persesuaian, artinya hidup menurut suatu pedoman yang berdasarkan akal yang sehat. Kalau Clenthes mengatakan “sesuai dengan alam”. Artinya demikian, manusia sebagai bagian dari pada alam raya memiliki nafsu-nafsu asli, yaitu nafsu untuk mempertahankan hidupnya. Nafsu ini pada manusia sudah mempunyai sifat kerokhanian, dan berupa nafsu mempertahankan akalnya, sebab akal manusia adalah “aku”nya. Jadi sesuai dengan alam di sini berarti sesuai dengan dirinya sebagai makhluk yang mempunyai akal sehat, tetapi disamping itu juga sesuai dengan tata pada alam semesta. Jadi sesuai dengan akal ketuhanan.[20]
Alam semesta ini terdiri dari pada benda yang kecil sekali dan yang besar. Semuanya itu dikuasai oleh suatu tenaga, suatu kemauan saja. Dengan pendapat semacam itu kaum stoalah yang pertama kali mengatakan bahwa segala sesuatu yang terjadi di dalam alam ini dikuasai oleh hukum kausalitas.
Apa yang terjadi, berlaku sebagai gerak. Tiap-tiap gerak ada yang menyebabkan ia bergerak. Suatu kebetulan tidak ada. Segala yang terjadi, bergerak sebagai suatu kemestian yang tidak dapat diubah. Dasar kemestian yang tidak dapat diubah itu dikemukakan oleh kaum stoa dalam segala bidang penghidupan. Dalam paham kaum stoa, merdeka dan mesti adalah dua serangkai. Budi hidup yang setinggi-tingginya ialah hidup menurut hukum alam.[21] Yang dinamakan orang yang sempurna ialah seorang yang benar-benar bijaksana, tidak ada orang lain sebebas, sekaya dan sebahagia dia.[22] Kesadaran yang tepat pada seseorang, terutama pada seorang yang bijaksana adalah sebab tindakannya. Manusia yang hidup menurut kesadaran yang tepat –menurut alamnya—akan sehat hidupnya. Manusia yang khilaf --yang hidup menyimpang dari alam yang semestinya itu –akan sakit. Berbuat jahat dan berbuat salah dapatlah diapandang sebagai penyakit, sebagai penyelewenangan dari pada norma alam.[23] Oleh sebab itu seseorang baru dikatakan bijaksana, kalau ia tidak berbuat satu dosapun. Dosa yang bagaimanapun kecilnya akan membuat seseorang bijaksana menjadi seorang “tolol”.[24] Kesadaran yang tepat itu –yaitu kemestian—menjadi dasar yang tertinggi dari pada alam, kosmos seluruhnya. Kesadaran Tuhan menyusun semuanya dalam keadaan sempurna, tepat menurut tujuannya dan dalam keadaan indah. Sebab itu manusia yang hidup menurut alamnya adalah merdeka sepenuh-penuhnya. Yang dimaksud merdeka di sini ialah menurut apa kehendak alam, sebab alam berkembang sesuai dengan hukum yang tidak dapat dibelokkan. Mereka mengatakan bahwa tidak ada hal lain yang terjadi kecuali apa yang sungguh-sungguh terjadi. Pemberontakan hanyalah reaksi emosional terhadap alam dan hanya membuat dirinya menderita. Alam tetap tinggal tenang meski aku memakinya sekuat tenaga. Bertindak sesuai dengan akal budi yang menunjukkan kepaku hukum alam yang tidak terbelokkan, hanya itulah yang baik. Ini kebajikan. Orang yang berkebajikan tetap tegak berdiri meskipun dunia berantakan di kanan kirinya. Yang hidup dengan alam adalah seorang yang bijaksana atau seorang filosof. Yang tidak sesuai dengan alam adalah orang sinting (a fool).[25]
Oleh sebab itulah filosofi yang sebenarnya dapat disamakan dengan obat mujarab, yang menjernihkan pikiran, menyehatkan pertimbangan dan yang membedakan apa yang layak dituju dan apa yang harus disingkirkan, sehingga manusia dapat mendidik dirinya dengan merdeka sesuai dengan semestinya (alamnya). Demikianlah filosofi membimbing manusia ke jalan kemerdekaan yang benar dan tepat. Sebab itu manusia yang berpikir dan berbuat secara stoa dapat dikatakan benar-benar merdeka. Persesuaian kemauan manusia dengan kemauan Tuhan, sebagai pelaksanaan hukum kausal alamiah, bukan syarat bagi merdeka sebenar-benarnya tetapi juga syarat untuk memperoleh kesenangan hidup.[26]
Jika John Stuart Mill (utilitarisme), mengatakan bahwa kebajikan adalah unsur yang membuat bahagia, maka Anthisthenes, mengajarkan bahwa kebajikan tidak hanya jalan ke arah kebahagiaan, tetapi kebajikan adalah kebaikan, dan tabiat buruk adalah satu-satunya kejahatan, dan hal-hal lainnya adalah indeferen. Kesesatan paling besar adalah bahwa kesenangan itu adalah sesuatu yang baik, sehingga Anthisthenes konon pernah berkata “ aku lebih baik gila dari pada senang “. Hakekat kebajikan adalah self-sufficiency, merdeka, tidak bergantung pada apa dan siapa saja.[27]
Begitulah pandangan stoisisme. Aliran ini menggantungkan diri pada panggilan natur (alam/fitrah) dengan segala keteraturan dan kesempurnaannya. Akal, karena bagian dari pada alam, maka akal merupakan alat yang utama untuk mencari persesuaian dengan alam kosmos seluruhnya. Tuhan sebagai pencipta alam yang telah merancangnya dengan sempurna, maka mencari persesuaian dengan kehendak Tuhan adalah sebagai hukum kausal ilmiah sekaligus sebagai syarat untuk merdeka dan memperoleh bahagia.

D. Deontologi
Yang menciptakan sistem moral ini adalah Immauel Kant (1724-1808). Menurut Kant, yang bisa disebut baik dalam arti sesungguhnya hanyalah kehendak yang baik. Semua hal lain disebut baik secara terbatas atau dengan syarat. Misalnya kesehatan, kekayaan, atau intelengensia adalah baik jika digunakan dengan baik oleh kehendak manusia. Tetapi jika dipakai oleh kehendak yang jahat, semua hal itu bisa menjadi jelek sekali. Bahkan keutamaan-keutamaan bisa disalahgunakan oleh kehendak yang jahat. Sedang, apakah yang membuat kehendak menjadi baik?. Menurut Kant, kehendak menjadi baik, jika bertindak karena kewajiban. Kalau perbuatan dilakukan dengan suatu maksud atau motif lain, perbuatan itu tidak bisa disebut baik, betatapun luhur atau terpuji motif itu. Misalnya kalau perbuatan dilakukan karena kecenderungan atau watak, perbuatan itu secara moral tidak baik. Bagi Kant, perbuatan-perbuatan yang berasal dari kecenderungan macam itu tidak bisa disebut baik, tetapi dari sudut moral netral saja. Perbuatan adalah baik jika hanya dilakukan karena wajib dilakukan. Jadi, belum cukup jika sesuatu perbuatan sesuai dengan kewajiban. Seharusnya perbuatan itu dilakukan berdasarkan kewajiban. Bertindak sesuai dengan kewajiban oleh Kant disebut legalitas. Dengan legalitas kita memenuhi norma hukum. Misalnya, tidak penting dengan motif apa saja saya membayar pajak, asal saja saya bayar jumlah uang yang sesuai dengan kewajiban saya. Tetapi dengan itu saya belum memenuhi norma moral. Saya baru memasuki taraf moralitas jika saya melakukan perbuatan semata-mata karena kewajiban. Kata Kant, suatu perbuatan bersifat moral jika dilakukan semata-mata karena hormat untuk hukum moral. Dengan hukum moral dimaksudkannya kewajiban.[28]
Ada dua kewajiban moral menurut Kant, yaitu imperatif hipotetis dan imperatif kategoris. Yang pertama dapat dikenal dengan adanya anteseden kondisional, yakni kata “jikalau”, yang mengacu pada persyaratan mengenai kebutuhan atau keinginan. Jika anda ingin minum, pergilah ke ruang tamu. Akibat dari suatu imperatif seperti menyatakan (jika seluruhnya sah) suatu sarana yang memadai bagi kepuasan kebutuhan atau keinginan yang disebutkan dalam anteseden. Imperatif seperti ini dapat dibenarkan secara obyektif, tanpa mengandaikan suatu tugas khusus rasio praktis. Cukuplah menunjukkan bahwa sarana yang dimaksud itu memadai untuk tujuan yang diandaikan. Tetapi dalam suatu makna yang penting, dia tidak memiliki dan tidak pula menuntut obyektifitas; karena dia memberi bermacam alasan untuk bertindak hanya kepada orang yang punya keinginan seperti yang disebutkan dalam anteseden. Pengaruh atau daya motivitasnya bergantung kepada keinginan aktual subyek yang dituju, dan tunduk pada daya motivasi dari berbagai keinginan tersebut.
Adapun imperatif kategoris, tidak berkaitan dengan keinginan dan kebutuhan tertentu, dan oleh karena itu kesahannya tidak bergantung (seandainya mampu menerima kesahan) pada syarat-syarat empiris seperti yang dikemukakan Kant. Imperatif semacam ini tidak mengandung “jikalau” dan tidak ada konsesi bagi kepentingan-kepentingan subyek anteseden. Imperatif ini berbentuk “lakukan ini”! Anda harus laksanakan ini!. Hadirnya istilah “harus” itu menunjukkan bahwa, sementara dia mungkin tidak mempunyai keabsahan, dia jelas menuntutnya. Dan tuntutan di sini ialah bagi suatu obyektifitas yang sejati, dan tidak bergantung pada rasio teoritis. Pernyataan ini adalah tuntutan untuk mengikat subyek tanpa memperdulikan keinginan sebenarnya untuk menyatakan, sebagai suatu perintah rasio, suatu perintah yang harus dilakukan.[29] Inti deontologi ini cocok dengan pengalaman moral kita, terutama sebagaimana tampak dalam hati nurani. Kita memang sering merasa terikat dengan kewajiban dalam perilaku moral kita, sehingga tidak bisa disangkal bahwa kewajiban merupakan aspek penting dalam hidup moral kita. Tapi ada juga kritik serius terhadap teori ini. Kritik itu tidak ditujukan kepada peranan kewajiban itu sendiri, melainkan pada peranan ekklusif kewajiban di bidang moral.
Akhisrnya sampai pandangan William David Ross (1877-1971). Ross menerima teori Deontolgi, tapi dia menambah sebuah nuansa penting. Kewajiban itu selalu merupakan kewajiban prima facie (pada pandangan pertama). Artinya suatu kewajiban untuk sementara, dan hanya berlaku sampai timbul kewajiban lebih penting lagi yang mengalahkan kewajiban pertama tadi. Ross menyusun sebuah daftar kewajiban yang kesemuanya merupakan kewajiban prima facie, yakni:
1. Kewajiban kesetiaan; kita harus menepati janji yang diadakan dengan bebas
2. Kewajiban ganti rugi; kita harus melunasi hutang moril dan materiil
3. Kewajiban terimakasih; kita harus berterimakasih kepada orang yang berbuat baik kepada kita
4. Kewajiban keadilan; kita harus membagikan hal-hal yang menyenangkan sesuai dengan jasa orang yang bersangkutan
5. Kewajiban berbuat baik; kita harus membantu orang lain yang membutuhkan bantuan kita
6. Kewajiban mengembangkan dirinya; kita harus mengembangkan dan meningkatkan bakat kita di bidang keutamaan, intelegensia dan sebagainya
7. Kewajiban untuk tidak merugikan; kita tidak boleh melakukan sesuatu yang merugikan orang lain (satu-satunya kewajiban yang dirumuskan Ross dalam bentuk negatif).
Menurut Ross, setiap manusia mempunyai intuisi tentang kewajiban-kewajiban itu. Artinya, semua kewajiban itu berlaku langsung bagi kita. Tapi kita tidak mempunyai intuisi tentang apa yang terbaik dalam suatu situasi konkrit. Untuk itu perlu kita pergunakan akal budi. Kita harus mempertimbangkan dalam setiap kasus mana kewajiban yang paling penting, jika tidak mungkin memenuhi semua kewajiban sekaligus. Kewajiban-kewajiban lain kalah terhadap kewajiban yang dinilai paling penting.[30]
Kebahagiaan: Suatu Analisis Filosofis
Kebahagiaan adalah sekadar nama untuk menyatakan keadaan sadar kita bahwa keinginan kita telah atau sedang dipuaskan. Ini artinya, kebahagiaan tidak lain selain dari pada wujud kesadaran jiwa dan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mengembalikan segala keadaan yang terjadi di saat mana manusia mengalami peristiwa kehidupannya pada porsi budi sempurna dalam bentuk pengertian-pengertian, dari penderitaan, kesengsaraan dan kesenangan, kegembiraan pada hikmah dan nikmat terbesar. Sebab seseorang barangkali boleh jadi beranggapan lebih baik menderita penderitaan yang sedang diderita dari pada menderita karena berusaha mengeluarkan diri dari penderitaan yang diderita itu. Atau dengan ungkapan lain, lebih baik menderita penderitaan dari pada harus memikirkan penderitaannya, sebab dia telah menderita penderitaan itu adalah menderita ditambah lagi dengan penderitaan karena memikirkan beban penderitannya.
Bila kepuasaan manusia yang dialami beraksentuasi dan atau berorientasi pada kesenangan hidup tidak bernilai baik, bukan kebajikan, maka kebahagiaan tersebut sebenarnya adalah penderitaan untuk sementara waktu di saat mana manusia melakukannya dalam bentuk “suffering”. Berbeda dan bahkan sebaliknya, bila seseorang menderita penderitaan sebab melakukan sesuatu hal yang bernilai baik, luhur, kebajikan, maka penderitaan semacam ini sebenarnya adalah kebahagiaan dalam waktu yang tidak terbatas. Artinya, seorang bijak tidak akan menganggap musibah yang menimpa dirinya dari perlakuan ketidak-adilan sebagai penderitaan, karena kesadarannya telah melampaui nasib yang ditimpa badannya.
Kepuasan jasmani belaka, bukanlah kebahagiaan atau hal-hal yang menghiasi hidup manusia, seperti kekayaan, keluarga, kehormatan, ketenaran, kekuasaan, pengaruh dan sebagainya, tidak dapat membuat manusia bahagia sempurna. Bukan karena itu semua yang menyebabkan tidak bahagia, tetapi dapat menyebabkan ketidak-bahagiaan karena beban dan tanggung jawab yang harus dipikul karena nama, pangkat dan kebesaran tersebut.
Beberapa konsep kebahagiaan para filosof, seperti Sokrates, Plato, Aristoteles, deontologi dan berbagai aliran seperti Hedonisme, Utilitiarisme, Stoisisme tentang kebahagiaan dalam hubungannya dengan kehidupan, kebaikan dan pengertian budi adalah suatu bentuk penyajian pandangan yang berkekuatan intelektual tinggi, sehingga bagaimanapun juga dapat diterima dan dibenarkan secara argumentatif. Hal itu tercermin dari penataan pemikiran yang rapi, kritis dan rasional. Ia adalah gambaran tentang kesempurnaan dari daya-cita manusia. Jadi wujudnya teoritis-ideal. Akan tetapi yang kritis-rasional-teoritis tersebut belum pasti realistis dan mendatangkan manfaat yang besar bagi kehidupan manusia, sehingga kadangkala pandangan-pandangan tersebut sukar untuk diterjemahkan secara fungsional dalam bentuk kehidupan praktis. Bukan hanya semua itu -tetapi lebih dari itu-, titik kulminasi dari permainan pemikiran tersebut sering tak dapat ditemukan secara pasti, tepat dan benar. Artinya, setiap ujung dari dan kesimpulan yang dicapai oleh akal segera dapat dipertanyakan kembali. Hal ini lalu merupakan wilayah sengketa di sekitar hasil pemikiran itu sendiri, dan berikut menimbulkan berbagai konflik internal-intelektual yang tak terselesaikan secara tuntas, karena masing-masing argumentasi hanya beroperasi di seputar wilayah sengketa tersebut (acrobathic intelectual). Dengan perkataan lain, dalam beberapa teori tentang hakikat pemikiran filsafat yang dimaksudkan untuk menjelaskan bagaimana terdapat suatu disiplin intelektual yang seluruhnya abstrak, tetapi dimaksudkan untuk diamalkan secara fungsional dalam kehidupan praktis. Konflik eksistensial inilah yang memberi inspirasi dan embrio timbulnya beberapa aliran yang secara khusus mempersoalkan kebahagiaan yang dicapai oleh renungan /kontemplasi diri pemikiran.
Manusia tidak dapat membuat dirinya bahagia sempurna dalam hidup di dunia ini, disebabkan: 1). Ada hal-hal yang baik dan sesuai untuk badan 2). Ada hal-hal yang baik dan sesuai untuk jiwa, dan 3). Ada hal-hal yang baik dan sesuai untuk jiwa dan badan secara serempak. Jelasnya, karena terdapat tuntutan-tuntutan yang dihadapi pribadi-pribadi, yaitu tuntutan yang menyebabkan kita memilih alternatif-alternatif moral. Manusia memiliki kesulitan-kesulitan untuk memenuhi berbagai macam tuntutan hidupnya, yakni:
1. Tuntutan-tuntutan fisik. Terdapat kebutuhan-kebutuhan fisik yang harus dipenuhi dengan jalan keputusan dan tindakan yang tepat. Jika orang hidup dengan cara tertentu ia akan tetap hidup dan sehat. Jika ia mengubah cara hidupnya, kehidupannya akan susah, dan bahkan ia mungkin mati, misalnya seseorang memerlukan hawa yang segar, sinar matahari, temperatur tertentu, makan dan minum, gerak badan dan tidur jika ia ingin agar badannya berfungsi baik
2. Tuntutan-tuntutan psikologis dan sosial. Terdapat dorongan-dorongan dan keinginan-keinginan pokok yang muncul dari keadaan psikologis dan kebutuhan-kebutuhan sosial. Dorongan-dorongan ini menampakkan diri dengan cara-cara yang sama di mana saja manusia hidup. Dalam tempat-tempat tersebut, kehidupan memajukan tuntutan-tuntutan kepada kita. Kemarahan, ketakutan, dengki, keresahan, menyebabkan penderitaan kepada tubuh dan condong untuk merusak kehidupan sosial.
3. Tuntutan-tuntutan spiritual dan intelektual. Ada tuntutan spiritual dan intelektual juga, ada kewajiban moral untuk mendapatkan informasi tentang soal-soal penting dan untuk bertindak secara pandai sedapat mungkin. Kecerdasan-kecerdasan condong untuk menghemat waktu, tenaga, bahkan menyelamatkan jiwa. Dalam hal ini terdapat keyakinan yang universal yang mendapat ekpresi dalam sistem sosial dan keagamaan, bahwa kepuasan akal dan jiwa lebih diperlukan dan lebih langgeng dari pada kepuasan badan.[31]
Sedangkan di antara sebab-sebab yang menyebabkan seseorang tidak menjadi filosof yang bahagia benar-benar ialah:
1. Kebahagiaan ialah suatu kegembiraan yang sempurna dan abadi bagi jiwa dan badan bersama-sama, karena kebahagiaan yang terbatas bukan kebahagiaan dalam arti yang sebenarnya
2. Berakhirnya kebahagiaan sebagai suatu hal yang dapat diduga menyusahkan keadaan kita. Oleh karena itu, kita menginginkan keabadian sebagai syarat asasi bagi kebahagiaan, disebabkan kita menginginkan hidup bahagia untuk selamanya.[32]
Bagaimana jiwa manusia bisa mendapatkan kebahagiaan sempurna pada dirinya, sedang ia terus-menerus membutuhkan kesenangan yang menjadi tujuan yang pada tempatnya. Bagaimana juga usaha yang dilakukannya, namun filsafatnya dan keutamaannya tidak bisa menjelma dari dirinya, dikarenakan memang tidak dimilikinya terdapat pada dirinya.
Konsep kebahagiaan yang disandarkan pada panggilan natur (fitrah) sebagaimana dipahami dari aliran Stoa (Stoisisme), dari melalui kejadian manusia melulu, walaupun dapat diterima dan dibenarkan secara argumentatif, tidaklah dapat menjamin kelangsungan hidup secara realistik, disebabkan oleh peristiwa hidup yang secara kodrati direka dan belum pasti. Oleh karena alam memperlengkapi manusia dengan kemampuan-kemampuan seperti yang dimaksud, supaya kita mengembangkannya sampai sepenuhnya, tetapi hal itu tidak akan membuat manusia bahagia sempurna, disebabkan perkembangan diri adalah suatu tujuan manusia tetapi bukan tujuan terakhir yang deterministik.
Lain halnya dengan aliran hedonis (Hedonisme) yang berbeda pandangan dengan Stosisime/Naturalisme. Jika stoisisme sebagai pandangan filsafat yang berdiri dan menganggap keteraturan alam sebagai tujuan idealnya, maka bagi kaum hedonis lezat adalah sebagai tujuan dasar aktifitas manusia. Kalau kita senang tentu senang akan sesuatu, yang berarti kita senang mengerjakan sesuatu. Dari sini kesimpulannya, bahwa kesenangan adalah pengiring pemakaian biasa dari kemampuan-kemampuan yang adanya untuk pemenuhan suatu tujuan. Umpamanya kita makan, pertama-tama untuk menjaga kelangsungan hidup kita, meskipun makan itu juga menyenangkan. Mungkin kita tidak akan bersusah makan andaikata kita tidak merasa lapar dan makanan itu sendiri tidak mempunyai rasa. Kita mempunyai mata untuk menangkap apa yang kita butuhkan dan membimbing gerak-gerik kita, meski banyak pandangan yang menyebabkan kesenangan. Kita buka mata kita terus-menerus karena sungguh-sungguh kita alami senangnya melihat. Seks diperuntukkan repropuksi manusia baru, meskipun seks juga mempunyai kenikmatannya. Orang tidak akan mau memikul beban tanggung jawab yang begitu besar dalam berkeluarga andaikata ia tidak tertarik akan kesenangan hidup perkawinan. Intelek memungkinkan kita untuk hidup secara beradab, dan juga kita mengalami kesenangan apabila ada problem yang bisa dikupas secara baik dan memuaskan. Kita hendak berpikir sungguh-sungguh andaikata kita tidak mengetahui bahwa soal atau problem itu sesuatu tantangan yang menarik.
Oleh sebab itu manusia dengan akal pikirannya menemui banyakKesenangan altruistis seperti dijelaskan oleh Utilitarisme, meskipun lebih tinggi tarafnya dari kesenangan egois-individualis, juga mereka tidak akan menemukan tujuan terakhir, sebab beberapa orang tidak mempunyai waktu dan tidak mampu untuk berkarya semacam itu. Kesenangan yang diciptakan dari hasil karya itu sering dinodai dengan sikap apati dan tidak mengerti terimakasih, juga dengan salah pengertian. Disamping itu ada gagasan yang kurang tepat, kurang koheren, yakni andaikata memperbaiki nasib orang lain adalah sebagai akhir tujuan kita, lalu apakah tujuan orang-orang yang diperbaiki nasibnya itu? Apabila adaku untuk orang lain, lalu orang lain itu untuk apa? Apabila setiap orang adanya demi setiap orang lain, lalu kalau seluruh proses kita teruskan, mengikuti gerak lingkaran setan (satanic circle) yang tidak ada mana ujung mana pangkal. Kesimpulannya yang kita dapati adalah tidak seorangpun yang sesungguhnya ada demi sesuatu atau dengan perkataan lain adaku adalah untuk diriku sendiri bukan demi yang lain.
kesulitan untuk mencapai bahagia sempurna (tujuan terakhirnya) di dunia ini. Atau segala sesuatu yang sesuai dengan tarafnya dengan manusia tidak dapat membuat bahagia sempurna. Dengan demikian manusia dapat menyempurnakan kebahagiaannya dengan cara bergantung pada sesuatu yang dapat mengatasi segala sesuatu, yaitu sesuatu yang berada di atas tarafnya pada sesuatu yang tidak terbatas, Tuhan.

Kebahagiaan Islami: Suatu Alternatif.
Dalam pembahasan terdahulu dapat dipahami bahwa akallah semata yang dijadikan instrumen untuk menentukan segala ukuran perbuatan manusia dan dinilai baik atau buruk, kebahagiaan, penderitaan dan sebagainya. Maka di sini akan disajikan tinjauan Islam dalam keterkaitannya dengan pembahasan tentang kebahagiaan.
Orang yang mempunyai akal dan perasaan (pancaindra) yang sehat, mengakui dengan menyaksikan bahwa dirinya adalah ada (maujud). Demikian pula ia menyaksikan bahwa ia mempunyai kemauan untuk melakukan perbuatan-perbuatan dengan ikhtiar, yang dipertimbangkan dengan akal dan ditentukan dengan kehendak (iradat) sendiri. Kemudian barulah perbuatan itu dianggap tepat dan dilaksanakan dengan sepenuh kodrat yang ada dalam dirinya. Siapa yang berani mengingkari ketentuan seperti itu, dianggap sama dengan mengingkari wujud dirinya sendiri, karena ketentuan itu merupakan kenyataan yang logis dan dibenarkan oleh akal.
Setiap manusia kadangkala bermaksud untuk memperoleh tujuan yang baik, mencari kebenaran, kebahagiaan –tetapi seringkali pula yang didapat malah sebaliknya—buruk dan penderitaan, ia jatuh ke lembah kesengsaraan. Hal yang demikian ini merupakan pertanda dari ketidak mampuan dirinya memahami hukum hidup dan menguasainya, sehingga nasib buruk menimpanya. Atau dalam alam ini ada sesuatu kekuatan yang lebih tinggi untuk dapat dicapai oleh kodrat dirinya, dan ada pula Dzat yang mengatur, mengendalikan yang tidak bisa dijangkau oleh kekuatannya. Maka andaikata ia telah dapat petunjuk dan dipimpin oleh dalil yang benar, untuk mengakui bahwa segala peristiwa-peristiwa alam dengan segala rahasianya, semua bersandar pada Dzat yang WajibWujud, yang mengendalikan semua itu sesuai dengan ilmu dan kemauanNya, niscaya khusyu’ dan tunduklah hatinya, kemudian mengembalikan segala kejadian-kejadian yang menimpa dirinya itu kepada taqdir yang tidak bisa ditolak. Namun demikian ia tidak fatalistis buat selanjutnya.
Orang yang beriman menyaksikan dengan dalil dan bukti nyata bahwa kodrat Pencipta alam semesta ini lebih tinggi dari kodrat yang ada pada segala makhluk. Di atas ketentuan taqdir dan ikhtiar inilah berjalannya shari‘at agama dan di atas ketentuan itu pulalah berdiri taklif-taklif (perintah-perintah) Tuhan. Siapa yang berani mengingkari salah satu di antaranya, nyatalah ia memungkiri sumber iman pada dirinya sendiri, yakni akalnya; akal yang telah mendapat kehormatan dari Allah untuk dapat memikirkan perintah-perintah dan larangan-larangannya.
Sedangkan bagaimana menyesuaikan dalil-dalil tentang kekuasaan ilmu Allah dan kemauan iradatNya dengan kenyataan-kenyataan adanya kebebasan berikhtiar manusia dalam memilih perbuatan-perbuatan yang ada hak ikhtiar di dalamnya, maka itu berarti mencari rahasia kadar ilahi sesuai dengan kemampuan kodrat manusia.[33] Dalam bahasa agama usaha mencari persesuaian antara kemauan Tuhan dan kehendak manusia itu disebut taufiq. Sinergitas kemauan manusia dan Tuhan itulah yang senantiasa dicari orang beragama, sehingga terjadi rida dan diridai (radiyatan mardiyah).
Bertitik tolak dari rasa iman itulah asas Islam didirikan di atas pondasi yang kuat, sehingga amal perbuatan apapun jika dilandasi oleh kekuatan iman akan tetap mantap hatinya, akan tetap besar jiwanya dalam memahami dan menjalani tugas hidup dan kehidupan, dan rintangan apapun hanya akan memberi arti sebagai ujian baginya, yang perlu dicari hikmah dan faedahnya.
Oleh sebab itu filsafat sebagai suatu usaha yang diamalkan manusia dalam dia mencari jalan dan menempuh jalan itu untuk mencari kebahagiaan. Agar filsafat itu mendatangkan keuntungan pada manusia, maka filsafat itu haruslah pula dapat diamalkan oleh manusia itu. Kebahagiaan sempurna adalah kebahagiaan sepenuhnya dunia akhirat, soal sesudah mati (eskatologis) itupun adalah merupakan soal yang harus dipecahkan dan dibereskan oleh manusia, agar soal akhirat ini jangan menggaanggu manusia itu, tetapi ini merupakan sesuatu yang negatif. Secara positif, maka pengertian akhirat itu harus berisi, penuh dan juga harus dipergunakan manusia dalam dia berusaha mencari wujudnya sebagai manusia.[34] Artinya, keyakinan kita terhadap kehidupan akhirat itu bisa membuat kita berusaha dengan sungguh-sungguh untuk melaksanakan amal kebajikan di dunia ini, agar akhirat yang diyakini itu benar-benar terwujud dalam kenyataan nanti dan tidak mengganggu dalam kehidupan dunia ini.
Dalam perbendaharaan Islam, kita jumpai banyak kata-kata yang mengarah kepada makna kebahagiaan, kebaikan dan kebajikan dan sebagainya, seperti al-birr (kebajikan), khair/hasanah (kebaikan), qist (kewajaran), ‘adl (keseimbangan), haqq (kebenaran), ma‘ruf (dikenal baik dan wajar), i’mi’nan (ketenangan), nikmah (kenikmatan), fawz (keberuntungan) dan sa‘adah (kebahagiaan). Dibawah ini adalah sebagian contoh dari makna yang dimaksud di atas. Seperti hadith Rasul :

عن النواس بن سمعان الأنصرى قال سألت رسولالله صلى الله عليه وسلم عن البر والآثم فقال : البر حسن الخلق والآثم ماحاك فى صدرك وكرهت ان يطلع عليه الناس [35]
Artinya: Dari Nawwas bin Sam‘an al-Ansari, berkata :”aku bertanya kepada Rasulullah Saw. Tentang kebaikan dan keburukan. Maka Rasul menjawab : kebaikan itu adalah berbudi pekerti yang terpuji, dan keburukan itu adalah sesuatu yang berkecamuk di dalam hatimu dan kau akan membencinya andaikata diketahui oleh orang”.
Al-Qur’an menyatakan :

[36]ليس البر ان تولوآ وجوهكم قبل المشرق والمغرب ولكن البر من آمن بالله واليوم الأخر والملائكة والكتاب والنبيين وآتىالمال علىحبه ذواالقربى واليتامى والمساكين وابن السبيل والسائلين وفى الرقاب واقام الصلاة وآتى الزكاة والموفون بعهدهم اذا عاهدوا والصابرين بالبأسآء والضرآء وحين البأس اولئك الذين صدقوا واولئك هم المتقون

Artinya: Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah kebajikan orang yang beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan memerdekaan hamba sahaya, mendirikan salat, menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan merekalah orang-orang yang bertaqwa.
Memperhatikan ajaran Islam al-Qur’an dan hadith di atas bahwa ketenteraman jiwa yang sempurna akan mengilhami setiap Muslim, sebab ia ada mempunyai keyakinan yang mantap bahwa jiwanya tetap hidup walau jasad telah memisahkan diri dengannya dalam kehidupan dunia ini. Dia yakin akan adanya pertemuan dengan Tuhannya, sehingga tertutuplah baginya jalan-jalan yang tidak memberi faedah atau dapat mengantarkan pada pertemuan dengan dan memperoleh ridaNya. Karena ia yakin pula dalam kesadaran penuh bahwa kejahatan dan dosa nafsu akan mendapatkan balasan durhakaNya dan yang menyebabkan penderitaannya di akhirat kelak.
Dalam soal ketertundukan nafsu ini dilambangkan oleh Allah dalam surat al-Fajr 27:
يآيتهاالنفس المطمئنة ارجعى الى ربك راضية مرضية فادخلى فى عبادى وادخلى جنتى

“Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridaiNya. Maka masuklah ke dalam kelompok hamba-hambaKu dan masuklah ke dalam syurgaKu”.
Bila beberapa filosof mengatakan bahwa kebahagiaan itu mensyaratkan tidak adanya pengaruh hawa nafsu, sehingga mengumpulkan seluruh kebaikan, maka kebaikan itu di dalam Islam berlaku secara universal dan tidak terikat dalam ruang lingkup kehidupan di dunia ini belaka, tetapi mencakup kebaikan di akhirat kelak. Hal ini dapat dimengerti dari dua ayat di bawah ini.

قل ياعبادى الذين امنوا اتقوا ربكم للذين احسنوا فى هذه الدنيا حسنة وارض الله واسعة انما يوف الصابرون اجرهم بغير حساب [37]

“Katakanlah: hai hamba-hambaKu yang beriman, bertaqwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik, di dunia ini memperoleh kebaikan, dan bumi Allah itu luas. Sesungguhnya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan padala mereka tanpa batas.

ربنا اتنا فى الدنيا حسنة وفى الأحرة حسنة وقنا عذاب النار[38]

Artinya ; Ya tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.
Oleh sebab itu menggantungkan harapan hanya kepada Allah Swt. dan meredamkan segala keinginan nafsu yang mengotori jiwa, supaya jiwanya tidak rapuh yang dapat mengantarkan atau menyebabkan datangnya kesedihan, kesengsaraan dan penderitaan dapat dihilangkan dengan melalui mengingat Allah. Hal ini ditegaskan dalam surat al-Ra’d28-29.

الذين امنوا وتطمئن قلوبهم بذكرالله الا بذكرالله تطمئن القلوب الذين امنوا وعملواالصالحات طوبىلهم وحسن مأب[39]
Artinya: (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi
tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah! Hanya dengan mengingat Allahlah hati menjadi tenteram, tenang. Orang-orang yang beriman dan beramal saleh bagi mereka kebahagiaan dan tempat kembali yang baik.
Sedangkan apa dan bagaimana kebahagiaan yang bakal diperoleh oleh orang-orang yang beriman, beramal saleh (kebajikan) dan bertaqwa, banyak sekali dinyatakan dalam al-Qur’an. Sebut saja di antaranya:

ومن يطع الله والرسول فأولئك مع الذين انعم الله عليهم من النبين والصدقين والشهداء والصالحين وحسن أولئك رفيقا[40]

Artinya: dan barang siapa yang mentaati Allah dan RasulNya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang dianugerahi nikmat oleh Allah; yaitu nabi-nabi, para siddiqin, orang-orang yang mati shahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.”

ومن يطع الله ورسوله ويخش الله ويتقه فأولئك هم الفا ئزون[41]

Artinya: dan barang siapa yang taat kepada Allah dan RasulNya dan takut kepada Allah dan bertaqwa kepadaNya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat keberuntungan.”

ومن يطع الله ورسوله فقد فاز فوزا عظيما[42]
Artinya: Dan barang siapa yang mentaati Allah dan rasulNya, maka sesungguhnya ia telah mendapat keberuntungan yang besar.”

تلك حدود الله ومن يطع الله ورسوله يدخله جنت تجرى من تحتها الانهار خالدين فيها وذلك الفوزالعظيم ومن يعص الله ورسوله ويتعد حدوده يدخله نارا خالدين فيها وله عذاب مهين[43]

(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barang siapa taat kepada Allah dan RasulNya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam syurga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah keberuntungan yang besar.”
Demikian pula kesedihan, ancaman dan penderitaan bagi orang-orang yang melanggar ketentuan Allah dan RasulNya. Misalnya ayat-ayat berikut.

ذلك بأنهم شاقواالله ورسوله ومن يشاق الله ورسوله فان الله شديد العقاب[44]

Artinya: ketentuan yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan rasulNya, maka sesungguhnya Allah sangat keras siksaannya.

ان الذين يحادون الله ورسوله كبتوا كما كبت الذين من قبلهم وقد انزلنا آيت بينت وللكافرين عذاب مهين[45]

Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah dan RasulNya pasti mendapatkan kehinaan sebagaimana orang-orang yang sebelum mereka mendapat kehinaan. Sesungguhnya Kami telah menurunkan bukti-bukti yang nyata. Dan bagi orang-orang kafir ada siksa yang menghinakan.

ومن يشاقق الرسول من بعد ما تبين له الهدى ويتبع غير سبيل المؤمنين نوله ونصله جهنم وسائت مصيرا[46]
Artinya: Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu. Dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.

يوم يأت لا تكلف نفس الا باذنه فمنهم شقي وسعيد فامالذين شقوا ففى النار لهم فيها زفير وشهيق خالدين فيها مادامت السماوات والارض الا ما شاء ربك ان ربك فعال لما يريد واملذين سعدوا ففى الجنة خالدين فيها مادامت السموات والارض الا ما شاء ربك عطاء غير مجدود

Artinya: di kala datang hari itu, tidak ada seorang pun yang berbicara melainkan dengan izinNya; maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang berbahagia. Adapun orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka mengeluarkan nafas dan menariknya dengan merintih. Mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain). Sesungguhnya tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang dia kehendaki.
Adapun orang-orang yang berbahagia, maka tempatnya di dalam syurga. Mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tidak putus-putusnya.[47]
Dari beberapa ayat suci di atas, dapat ditegaskan bahwa orang-orang yang mentaati perintah Allah dan RasulNya, mereka di akhirat kelak akan ditempatkan oleh Allah bersama orang-orang yang diberi nikmat; yaitu para nabi, para siddiqin (orang yang benar dalam menjalankan agama Allah) dan orang-orang saleh (baik dalam mengerjakan agama Allah). Dan barang siapa yang bertaqwa dalam arti yang sebenarnya, maka akan mendapatkan kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat, kebahagiaan dan kemenangan yang besar, karena dimasukkan oleh Allah ke dalam syurga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya. Namun sebaliknya bila perintah Allah dan RasulNya dilanggar, dilampaui, maka ia bakal mendapat balasan siksa, kepedihan, kesengsaraan, penderitaan, kerendahan dan kehinaan, disebabkan ia bakal menempati jahannam.
Sedangkan gambaran kehidupan syurga dinyatakan di dalam hadith qudsi:

حديث ابى هريرة رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : قال الله تعالى أعددت لعبادى الصالحين ما لا عين رأت ولا أذن سمعت ولا خطر على قلب بشر[48]

Dari Abu Hurairah ra., berkata: bersabda Rasullah Saw. : Allah berfirman “Aku telah persiapkan bagi hamba-hambaKu yang saleh tentang apa-apa yang mata belum pernah menyaksikan, telinga belum pernah mendengar dan belum pernah pula terlintas di dalam hati manusia.
Dengan demikian bisa dimengerti menurut keyakinan Islam, bahwa keadaan akhirat itu adalah keadaan yang sama sekali berbeda dibanding dengan segala apa yang ada dan diperumpamakan di dunia ini. Ia adalah keadaan yang sama sekali sempurna; tempat kenikmatan, kesenangan, kegembiraan dan kebaikan-kebaikan lainnya). Itulah syurga yang dijanjikan Allah bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh di dunia ini.

Kebahagiaan : Petunjuk Operasional
Di dalam al-Qur’an, paling sedikit diketemukan 50 unit ayat yang mengkaitkan iman dengan amal.[49] Dengan demikian, ilmu pengetahuan (ma‘rifat) pasti melahirkan keyakinan/keimanan dan keimanan mengharuskan melakukan tindakan. Tidak mungkin keyakinan timbul dari ketidak-tahuan. Orang yang tahu akan kebenaran pastilah ia meyakini kebenaran tersebut. Barang siapa yang memiliki keyakinan akan kebenaran pastilah bertindak sesuai dengan keyakinannya. Tidak mungkin terjadi pertentangan antara keyakinan dengan tindakan. Barang siapa yang bertindak demikian, maka ia telah melanggar norma iman di dalam dirinya.
Tetapi dalam kenyataan kehidupan praktis sehari-hari, ternyata banyak dijumpai orang yang dianggap/disangka mengetahui tentang kebaikan, kebenaran, kejujuran, keadilan dan sebagainya masih melakukan tindakan-tindakan yang tidak baik, benar, jujur, adil dan sebagainya. Sehingga dengan demikian perlulah ada suatu petunjuk dan cara praktis yang dapat membuat orang yang mengerti itu tentang kebaikan, kebenaran dan sebagainya itu dapat melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang diketahuinya.
Dalam pandangan al-Ghazali bahwa orang yang mengetahui tentang kebaikan, kebenaran tidak otomatis ia bertindak sesuai dengan apa yang diketahuinya itu, baik dan benar. Seseorang baru dapat bertindak baik, benar sesuai dengan pengertiannya itu bila yang bersangkutan senantiasa melakukan mumarasah/latihan. Latihan pembiasaan itulah yang dapat menyebabkan seseorang bertindak baik dan benar. Bilamana pembiasaan-pembiasaan tersebut telah tertanam dalam-dalam di dalam hati sanubari, maka barulah disebut oleh al-Ghazali dengan karakter/perangai dan akhlak. Akhlak baginya ialah sikap yang mengakar dalam jiwa yang darinya keluar perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa membutuhkan suatu pertimbangan dan pemikiran. Bilamana yang keluar darinya suatu perbuatan yang baik menurut akal dan shara’, maka itu disebut dengan karakter yang baik, tetapi sebaliknya, bila yang keluar darinya adalah karakter yang jelek menurut akal dan shara’, maka disebut dengan karakter yang jelek.[50]
Akhlak itu bukanlah perbuatan atau tingkah laku itu sendiri, karena betapa banyak orang yang akhlaknya dermawan (sakha’) tetapi ia tidak bersedekah; mungkin karena tidak ada harta atau karena sesuatu halangan. Juga banyak orang yang akhlaknya kikir tapi ia bersedekah; mungkin karena riya’ atau sesuatu sebab yang lain. Jadi akhlak adalah sikap yang dapat membuat jiwa siap untuk memberi atau tidak memberi. Artinya, suatu ungkapan tentang sikap mental dan wujud batinnya.[51]
Untuk mengamalkan ilmu tentang kebaikan, kebenaran, keadilan, kejujuran dan sebagainya itu membutuhkan latihan yang sungguh-sungguh dan terus-menerus, sehingga menjadi kebiasaan. Kalau seseorang telah terbiasa berkata jujur, peramah, sabar, berlaku benar, adil dan sebagainya maka akan mudah untuk merefleksikan-nya dalam tindakan apapun. Mempergunakan akal dan ilmu itu seperti berolahraga juga, membutuhkan kepada latihan yang rutin, sehingga tidak ada kesulitan-kesulitan untuk melakukannya. Tidak seorang muslimpun mengingkari tentang keutamaan kebaikan membaca al-Qur’an misalnya, berbakti kepada orang tua, salat malam, berkata sopan menyejukkan, jujur, menegakkan kebenaran, berlaku adil, ramah, sabar dan sebagainya, tetapi seberapa orang yang dapat melakukannya. Hal itu tergantung kepada kekuatan latihan-pembiasaan yang sungguh-sungguh sehingga ia tidak memiliki kesulitan apapun untuk melakukannya. Demikian pula tidak seorangpun mengingkari betapa buruknya tindakan seperti; berkata kasar, korup, bertindak tidak adil, tidak jujur, tidak benar, tidak sabar, tidak ramah dan sebagainya, namun demikian masih banyak orang yang tetap melakukannya.
Dengan demikian secara teoritis bisa saja seseorang mampu mengatasi semua problem kehidupan dalam pemikiran, akan tetapi secara praktis belum tentu dia dapat mengatasinya dengan baik. Dunia kenyataan adalah dunia perasaan bukan dunia pikiran semata. Banyak orang menjadi kolaps karena menghadapi dunia perasaan bukan dunia pemikiran seperti orang yang dimabuk asmara, ditimpa musibah dan sebagainya. Oleh sebab itu mampu secara pikiran, belum tentu mampu melakukannya.
Dengan demikian seseorang yang terbiasa melakukan kebaikan bila tergoda oleh gangguan dan rayuan syetan untuk melakukan hal-hal yang jelek, tidak baik, tidak benar, tidak jujur, tidak adil dan sebagainya pasti ada sinaran ilahi di dalam jiwa sebagai petunjuk, teguran dan dalam waktu itu pula ia langsung sadar akan kesalahannya serta kembali ke jalan yang benar. Allah berfirman :

ان الذين اتقوا اذا مسهم طئف من الشيطان تذكروا فاذاهم مبصرون [52]

ِArtinya : Sesungguhnya orang-orang yang beriman bila mereka ditimpa was-was dari syetan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.
Tetapi sebaliknya jika yang terbiasa dilakukan adalah ketidak jujuran, ketidak adilan, ketidak benaran dan sebagainya maka ia akan dengan mudah tertarik kepada pembiasaannya itu. Oleh sebab itu seseorang haruslah pandai-pandai menguasai, melatih diri dalam semua keadaan dan mengarahkannya kepada hal-hal yang baik dan mulia (kearifan). Kebahagiaan hanyak terletak di dalam hal-hal yang bernilai baik. Oleh sebab itum barang siapa tidak terbiasa mensyukuri atas nikmat yang kecil, sedikit, bila memperoleh yang besarpun tidak mudah untuk mensyukurinya. Kebahagiaan terletak dalam kemampuan seseorang mengendalikan diri dalam semua keadaan, ketika memperoleh nikmat atau cobaan. Kebahagiaan tidak bisa berkumpul dengan kedurhakaan, pelanggaran, tetapi ia identik dan bersinergi dengan kebaikan, kebajikan, kebenaran. Harapan orang yang beramal saleh akan kehidupan akhirat akan terpantul dalam kehidupan di dunia. Jadi, walaupun berbuat baik di dunia tidak mesti mendapat balasan yang baik pula, tetapi ia memiliki keyakinan yang mantap akan balasan di akhirat, sehingga sikap apatis dan tidak adanya sikap terimakasih dari usaha dan amal baiknya di dunia tidak menghalanginya untuk meraih kebahagiaan.
[1] Franz von Magnis, Etika Umum (Yogyakarta : Kanisius, 1985), 84.
[2] Muh. Said, Etika Masyarakat Indonesia (Jakarta : Pradnya Paramita, 1980), 79.
[3] Hasbullah Bakry, Sistematik Filsafat (Jakarta : Wijaya, 1981), 81.
[4] Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), (Jakarta : Bulan Bintang, cet. II, 1977), 104-105.
[5] Muh. Said, Etika, 79-80.
[6] W.Poespoprodjo, Filsafat Moral (Bandung : Remaja Karya, 1986), 45-46.
[7] Roger Scruton, From Descartes for Wittgenstein, terj. (Jakarta : Pantja Simpati, 1986), 272-275.
[8] Hasbullah Bakry, Sistematik, 83.
[9] Roger Scruton, From, 275.
[10] Poespoprodjo, Filsafat, 47-48.
[11] Muh. Said, Etika, 82.
[12] W.Poespoprodjo, Filsafat, 47-48.
[13] Muh. Said, Etika, 82.
[14] Ibid., 82.
[15] Franz von Magnis,Etika, 94.
[16] Ibid., 95.
[17] Ibid., 97.
[18] Roger Scruton, From, 279.
[19] A.Epping OFM.dkk, Filsafat Ensie (Bandung : Jenmars, 1983), 114.
[20] Ibid., 116.
[21] Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani (Jakarta: Tintamas, 1980), 153.
[22] A.Epping, Filsafat, 117.
[23] Mohammad Hatta, Alam, 153.
[24] A.Epping, Filsafat, 117.
[25] W. Poespoprodjo, Filsafat, 50.
[26] Mohammat Hatta, Alam, 154.
[27] W.Poepoprodjo, Filsafat, 48.
[28] K.Bertens, Etika.., 255-56.
[29] Roger Scruton, From , 178-179.
[30] K.Bertens, Etika.., 354-258.
[31] Titus dkk, Living Issues in Philosophy, terj.M.Rasjidi (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), 143-144.
[32] A.Hanafi, Filsafat Skolastik (Jakarta: Pustaka Al Husna, 1985), 125.
[33] Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, terj.(Jakarta: Bulan Bintang, 1979), 91-93.
[34] M.Nasroen, Falsafah dan Tjara Berfalsafah (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), 25.
[35] Imam Muslim, Sahih Muslim, Juz II (Bandung: Dahlan, tt), 421.
[36] Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Pelita III,1981/1982), 43
[37] Ibid, 747.
[38] Ibid, 49.
[39] Ibid, 49.
[40] Ibid, 130.
[41] Ibid, 553.
[42] Ibid, 680.
[43] Ibid, 118.
[44] Ibid, 262.
[45] Ibid, 909.
[46] Ibid, 140.

[47] Ibid, 343.
[48] Muhammad Fuad Abd. Al-Baqi, Lu’lu wa al-Marjan, Juz II (Kairo: Dar al-Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, 1949), 51 hadith 1798.
[49] Lihat penelitian M.Quraish Shihab, Etika Bisnis dalam Wawasan al-Qur’an dalam Ulumul Qur’an, 3/VII/1997.
[50] Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din II (Beirut-Libanon: Dar al-Fikr, 1410/1990), 52.
[51]Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), 25.
[52] QS. 7 : 201

Tidak ada komentar: