Senin, 10 Maret 2008

AHLUSSUNNAH WALJAMA’AH MENURUT NAHDLATUL ULAMA

Oleh :
Ma'shum Nuralim
(Dekan Fakultas Ushuluddin Surabaya IAIN Sunan Ampel)


A. Pendahuluan

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan hamba-Nya ke jalan yang lurus, sederhana dan mudah dilaksanakan. Makalah singkat ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Sosial di Program Pascasarjana (S3) di IAIN Sunan Ampel Surabaya. Semoga makalah yang singkat ini ada guna dan manfaatnya.
Makalah ini sesuai dengan rencana Disertasi penulis berjudul: Paham Ahlussunnah Waljama’ah Menurut Nahdlatul Ulama, dengan permasalahan pokok : bagaimana NU sebagai organisasi memahami Ahlussunnah Walajama’ah ? dan mengapa NU memahami Ahlussunnah Walajama’ah seperti itu ?. Masalah ini diambil, mengingat NU adalah organisasi keagamaan Islam terbesar di Indonesia, yang di dalam anggaran dasarnya secara eksplisit menyatakan berpaham Ahlussunnah Walajama’ah. Di samping itu, Ahlussunnah Walajama’ah adalah symbol keselamatan umat Islam, sehingga menjadi klaim setiap muslim bahwa dialah ahlussunnah waljama’ah dan dialah orang atau golongan yang selamat dari api neraka.
Sejarah berdirinya Nahdlatul Ulama (NU), di Surabaya sering dihubungkan dengan situasi Indonesia saat itu, terutama munculnya kelompok pembaharu, Muhammadiyah, sehingga NU berdiri dianggap sebagai reaksi terhadap kelompok pembaharu di Indonesia. Namun sebab langsung berdirinya NU tidak banyak berhubungan dengan munculnya reformisme di Surabaya, dan tujuan-tujuan awalnya bersifat lebih terbatas dan konkrit dibandingkan dengan usaha melakukan perlawanan terhadap serangan kaum pembaharu.[1]
Lahirnya NU banyak dipengaruhi oleh peristiwa Internasional. Sejak awal tahun 1924 telah tersiar berita bahwa khalifah Abd. Majid telah dipecat oleh pemimpin nasionalis Turki, Mustafa Kemal. Selanjutnya menyusul berita bahwa para ulama Mesir di bawah pimpinan Syaikh al-Azhar akan menyelenggarakan pertemuan iternasional membahas soal khilafah.
Dalam situasi hampir bersamaan, terjadi penyerangan Abd Aziz Ibn Suud, yang didukung oleh aliran wahabi, terhadap Syarif Husein di Arab Saudi dan menaklukkannya.
Menghadapi peristiwa tersebut, maka di Surabaya diselenggarakan pertemuan, 4 Agustus 1924, yang dihadiri para tokoh Syarikat Islam (SI), Muhammadiyah, al-Irsyad, al-Ta’dibiyah, Tashwir al-afkar, Ta’mir al-Masajid, dan perhimpunan lain.[2] Pertemuan memutuskan membentuk komite khilafah dan akan menyelenggarakan persidangan luar biasa kongres al-Islam untuk mengirim delegasi ke Kairo.
Kongres yang diadakan kemudian menyepakati beberapa agenda masalah, antara lain soal keagamaan yang diperselisihkan, dan rencana pengiriman delegasi ke Kairo. Akan tetapi di dalam perjalanan ternyata terjadi lobo-lobi di antara para peserta kongres yang terdiri dari berbagai organisasi. Akhirnya, kelompok tradisional menyetakan mundur dari kongres dan membentuk komite Hijaz, yang akan mengirim utusan sendiri ke Arab Saudi. Pada akhir pertemuan, 31 Januari 1926, komite Hijaz dibubarkan, dan menjilma menjadi orgaisasi formal yang bernama Nahdlatul Ulama (NU). Sehingga tanggal tersebut merupakan hari ulang tahun berdirinya NU.
Dengan demikian, dapat saja dikatakan bahwa NU lahir sebagai reaksi terhadap para pembaharu di Indonesia, tetapi yang jelas lebih banyak dipengaruhi oleh masalah keagamaan internasional yang berkembang saat itu. Hal itu dapat dibuktikan dengan kenyataan bahwa sebelum peristiwa pemecatan terhadap khalifah Abdul Majid oleh Mustafa Kemal di Turki dan penyerangan oleh Abdul Aziz Ibnu Suud terhdap Syarif Husein di Arab Saudi terjadi, para tokoh tradisional dan tokoh pembaharu dapat bekerja sama, bahu membahu mengembangkan ajaran Islam dan memberdayakan ummat.
Kerja sama itu misalnya lewat forum diskusi dan tukar pikiran yang diadakan melalui wadah Tashwir al-Afkar, yang melibatkan para tokoh pembaharu dan tradisional seperti: Mas Mansyur, Muhammadiyah, Abdul Wahab Hasbullah, NU, dan lain-lain.[3]

B. Paham Ahlussunnah Waljama’ah

Ahlussunnah Walajama’ah adalah aliran pemahaman keagamaan yang bercita-cita mengamalkan syari’at Islam secara murni, sesuai yang dikehendaki oleh Allah. Mereka harus memahami wahyu yang bersifat ghaib dan disampaikan dalam ke-ghaib-an. Untuk itu tidak ada yang patut mengaku sebagai pengamal syari’at Islam secara mutlak benar kecuali Rasul, karena dialah yang menerima dan dituntun wahyu sesuai kehendak Allah.
Selain Rasul, para sahabat yang selalu dekat dengannya adalah umat Islam yang kwalitas pemahaman terhadap wahyu mendekati sempurna, karena mereka tahu persis bagaimana Nabi Muhammad memahami dan mengamalkan wahyu. Mereka yang disebut Ahlussunnah Waljama’ah.
Umat Islam dituntut memahami dan mengamalkan syari’at Islam sesuai kehendak Allah, sebagaimana diamalkan oleh Nabi dan para sahabatnya. Tetapi wahyu sudah tidak turun lagi, yang tinggal hanya catatan berupa mushaf al-qur’an, dan Nabi sebagai patron ajaran Islam sudah tiada, hanya meninggalkan sunnah, berupa ucapan, perbuatan dan ketetapan yang tercatat di dalam beberapa kitab hadis. Begitu juga para sahabat, hanya meninggalkan atsar, bekas, maka untuk memenuhi tuntutan tersebut umat Islam hanya dapat melakukannya melalui proses identifikasi terhadap pemahaman dan pengamalan ajaran Islam yang dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya. Sudah barang tentu, yang namanya identifikasi tidak akan sama persis. Oleh karena itu, para ulama mencoba untuk mengidentifikasi beberapa kelompok pemahaman yang hampir sama dengan amalan Nabi dan para sahabat, yang disebut Ahlussunnah Waljama’ah.[4]
Terdapat delapan kelompok pemahaman yang telah teridentifikasi oleh para ulama sebagai pendukung Ahlussunnah Waljama’ah. Yaitu, Ulama kalam seperti al-Asy’ari dan al-Maturidi, Ulama fikih seperti Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad Ibn Hanbal, al-Auza’iy, al-Tsauriy, Ibn Abi Laila dan Daud al-Dhahiriy. Ulama Hadis, para ahli bahasa seperti Sibawaihi, Farra’ dan Asmu’iy, Ahli ilmu qira’at. Ulama tasawuf, pejuang militer seperti Shalahuddin al-Ayyubiy, dan pendukung syi’ar Ahlussunnah Waljama’ah.
Namun demikian, ada yang membatasi Ahlussunnah Waljama’ah hanya berkaitan dengan fikih saja. Ahlussunnah Waljama’ah berarti beberapa orang yang melestarikan sunnah Rasul dan para sahabatnya. Mereka memakai kitab Allah, Sunnah Rasul, Ijma’ al-Ummat dan Qiyas, analogi, sebagai dalil syara’ dan memandangnya sebagai sumber istinbath hukum.[5] Bahkan berdasarkan sejarah, ada yang membatasi Ahlussunnah Waljama’ah hanya dalam bidang akidah, ushuluddin atau teologi saja, sehingga yang termasuk Ahlussunnah Walajama’ah hanya terdiri dari tiga kelompok.
Pertama, Ahl al-Atsar, pengikut Imam Ahmad Ibn Hanbal, dengan ciri membatasi beberapa kajiannya berdasarkan dalil naqliyah, al-Qur’an dan Hadis, dan sedikit sekali menggunakan dalil aqliyah. Mereka tidak mau mentakwilkan, menjelaskan, menggunakan rasio, terhadap beberapa ayat mutasyabihat, ayat yang memiliki kemungkinan arti atau makna lebih dari satu, juga tidak suka memastikan maknanya, menyerahkan secara bulat pengertian ayat mutasyabihat kepada Allah.
Kedua, al-Asya’irah, pengikut Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari. Golongan ini memperluas kajian masalah Ilmu Kalam, memakai dalil aqliyah lebih banyak meskipun tetap mempertahankan keunggulan dalil Naqliyah. Mereka kurang tertarik membahas beberapa ayat Mutasyabbihat sampai mendalam. Golongan ini menjadi mayoritas ummat sampai sekarang, karena pengaruh kegiatan penyebaran wawasannya, terutama melalui beberapa kitab pendukungnya.
Ketiga, al-Maturidiyah, pengikut Imam Abu Manshur al-Maturidi, dengan metode yang menyerupai golongan al-Asy’ariyah, malah dalam beberapa hal, lebih bebas menggunakan dalil akal dan banyak menggunakan takwil terhadap semua ayat Mutasyabbihat.

C. Paham Ahlussunnah Waljama’ah Menurut NU

Nahdlatul Ulama mencoba untuk mengakomodir Ahlussunnah Waljama’ah sebagaimana tersebut di atas dengan batasan yang lebih sederhana. Ahlussunnah Walajama’ah menurut NU adalah mereka yang mengikuti metode berpikir, manhaj al-fikr, di dalam bidang akidah mengikuti madzhab al-Asy’ari dan Maturidi, di dalam bidang fikih mengikuti salah stu Imam empat, yaitu: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali serta di dalam bidang tasawuf mengikti madzhab Junaid al-Baghdadi dan diteruskan oleh al-Ghazali yang tereduksi di dalam kitab Ihya’ Ulum al-Din.[6] Batasan tersebut diambil oleh NU karena:
Pertama, Syari’at Islam secara global dapat dibagi menjadi tiga aspek, yaitu syari’at dalam arti hukum, baik ibadah maupun mu’amalah, akidah dan tasawuf atau akhlak, baik yang berhubungan antara manusia dengan sesama manusia maupun hubungan antara manusia dengan Tuhan.
Kedua, NU mengambil jalan tengah di antara dua kutub ekstrim, yaitu antara rasioalis dengan tekstualis, karena jalan tengah atau moderat itu dianggap yang paling selamat di antara yang selamat, sehingga NU mengakui bahwa madzhab yang diikutinya mengandung kemungkinan lebih besar berada di dalam jalur kebenaran dan keselamatan. Hal ini juga dapat berarti bahwa kebenaran yang diikuti dan diyakini oleh NU hanya bersifat kemungkinan dan bukan kemutlakan, dalam arti mungkin benar dan bukan mutlak benar. Oleh karena kebenaran yang diikuti dan diyakini hanya bersifat mungkin, maka dapat berarti juga mungkin salah. Hal ini dapat dilihat pada alasan ketiga.
Ketiga, kebenaran yang didasarkan atas hasil identifikasi akal pikiran tidak ada yang mutlak, sehingga memungkinkan adanya beberapa alternatif pilihan sesuai dengan situasi dan kondisi. Beberapa alternatif pilihan tersebut dimungkinkan dalam rangka menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi lingkungan masyarakat setempat. Karena ajaran Islam bersifat universal dan berlaku sepanjang zaman, kapan saja dan di mana saja.
Keempat, Islam adalah rahmat bagi seluruh alam. Alam ini tidak sama di setiap lokasi. Dengan prinsip ini, maka Islam mesti dapat beradaptasi dengan budaya local. Artinya Islam tidak harus seragam di seluruh dunia, Islam menerima keragaman sesuai dengan budaya setempat. Oleh karena itu, Islam di Indonesia adalah Islam yang sesuai dengan budaya bangsa Indonesia.
Pemikiran NU dalam merumuskan paham Ahlussunnah Waljama’ah seperti tersebut di atas, dilatar belakangi oleh sejarah Islam masuk ke Indonesia. Islam yang masuk ke Indonesia bercorak sufistik, bermadzhab fikih Syafi’i dan berpaham teologi Asy’ariyah. Islam yang bercorak sufistik, menyebabkan Islam mudah diterima oleh bangsa Indonesia tanpa gejolak, yang sebelumnya bangsa Indonesia telah memiliki kepercayaan Hindu-Budha.[7] Begitu juga dengan madzhab Syafi’i di bidang fikih dan paham Asy’ariyah di bidang teologi, yang berkembang di Indonesia, mempengaruhi umat Islam Indonesia bersikap moderat antara tekstualis dan rasionalis. Sehingga Islam di Indonsia penuh dengan toleransi, adaptasi dan asimilasi terhadap budaya setempat.
Dalam pandangan NU, paham Ahlussunnah Waljama’ah juga berkaitan erat dengan faktor sejarah perkembangan Islam secara keseluruhan, dan faktor metodologis mulai awal Islam sampai hari ini.
Faktor sejarah, mengacu kepada sekelompok sahabat dan generasi sesudahnya yang selalu bersikap tawasuth, mengambil jalan tengah, tawazun, seimbang, di dalam menyelesaikan setiap persoalan, dan bersikan tasamuh, toleran, adil, netral, di dalam menghadapi perselisihan.
Pada saat terjadi perselisihan politik antara sahabat Ali Ibn Abi Thalib dengan Muawiyah Ibn Abi Sufyan, telah terdapat beberapa sahabat yang netral dan menekuni bidang keilmuan. Sikap netral seperti itu juga dilanjutkan oleh beberapa tokoh tabi’in dan tabi’ al-tabi’in.
Sejak kematian Ali Ibn Abi Thalib pada tahun 40 H. atau 661 M. umat Islam telah terpecah menjadi tiga golongan. Yaitu:
1. Golongan Syi’ah yang mencintai Ali dan keluarganya serta membenci Muawiyah Ibn Abi Sufyan.
2. Golongan Khawarij yang tidak memihak kepada Ali Ibn Abi Thalib maupun Muawiyah, bahkan memusuhi keduanya.
3. Sebagian kaum muslimin yang mengakui kekhalifahan Muawiyah.
Dalam kondisi seperti ini terdapat sejumlah sahabat antara lain: Ibn Umar, Ibn Abbas, Ibn Mas’ud dan lain-lain, yang menghindarkan diri dari konflik dan menekuni bidang keilmuan dan keagamaan.
Dari kegiatan mereka inilah kemudian lahir sekelompok ilmuan sahabat, yang mewariskan tradisi keilmuan itu kepada generasi berikutnya. Selanjutnya melahirkan para muhadditsin, ahli Hdits, Fuqaha’, para ahli fikih, mufassirin, para ahli tafsir, dan mutakallimin, para ahli ilmu kalam. Kelompok ini selalu berusaha untuk mengakomodir semua kekuatan, model pemikiran yang sederhana, sehingga mudah diterima oleh mayoritas umat Islam.
Faktor metodologis, berkaitan erat dengan pemahaman ajaran Islam. Bahwa untuk memahami ajaran Islam secara benar, harus melalui mata rantai pewarisan pemahaman secara benar dan dapat dipertanggung jawabkan.
Kebenaran mata rantai pewarisan pemahaman ajaran Islam, dapat diukur dengan kesinambungan hubungan guru-murid secara langsung sampai kepada Nabi. Untuk memahami ajaran Islam yang berupa wahyu, secara benar tidak cukup hanya melalui beberapa catatan mushaf al-qur’an dan beberapa catatan hadits, tetapi harus juga melalui jalur penghayatan yang berupa sikap dan perilaku. Hal itu dapat dicapai hanya dengan melihat dan terlibat langsung dalam penghayatan dan pengamalan antara yang mewariskan dan yang mewarisi. Oleh karena itu, perlu madzhab, yaitu jaringan pemahaman ajaran Islam.
Kebenaran yang dapat dipertanggung jawabkan, diukur dari metode yang dipakai atau jalan pikiran yang ditempuh seseorang untuk sampai kepada kesimpulan pendapat mengenai penghayatan dan pengamalan tersebut, sehingga dapat diuji kebenarannya. Hal itu dapat dicapai melalui dokumen yang benar berupa beberapa buku atau beberapa kitab yang telah tertulis, sehingga dapat dicek kebenarannya oleh siapa saja dan kapan saja.

D. Penutup

Pemahaman NU terhadap ahlussunnah waljama’ah dapat diringkas dengan cukup sederhana, yaitu: syuhud ain al-syari’ah, moderasi antara akal dan nakl dan hakekat kebenaran.
Syuhud ain al-syari’ah, berarti bahwa yang tahu persis tentang bentuk dan rahasia syari’ah hanyalah Allah, yang selanjutnya diberitahukan kepada Rasul melalui wahyu secara rahasia. Selanjutnya Rasul melakukan syari’ah tersebut diikuti oleh para sahabat, diteruskan kepada tabi’in, tabi’ al-tabi’in dengan cara yang sama, sampai kepada para ulama dan umat secara keseluruhan, sambung sinambung sampai hari ini.
Moderasi antara akal dan nakl, berarti bahwa di dalam memahami dan mengamalkan syari’ah harus menggunakan segala sumber dan potensi, baik berupa wahyu maupun akal. Keduanya harus digunakan secara seimbang. Sebab wahyu tanpa akal tidak mungkin dapat dipahami dan diterima, begitu juga akal tanpa wahyu tidak mungkin mengetahui syari’ah sesuai yang dikehendaki oleh Allah. Oleh karena itu akal dan wahyu harus digunakan secara seimbang dalam rangka mengetahui dan memahami maksud syari’ah yang dikehendaki Allah.
Sedangkan hakekat kebenaran menurut NU adalah bahwa kebenaran yang hakiki adalah kebenaran yang bersumber pada wahyu. Kebenaran wahyu bersifat mutlak, sedangkan kebenaran yang dihasilkan oleh akal pikiran bersifat nisbi, relatif. Dengan demikian tidak ada klaim yang paling benar terhadap keputusan akal pikiran. Keputusan akal pikiran hanya mampu menciptakan beberapa alternatif yang bersifat sementara, sehingga memungkinkan adanya beberapa pilihan. Beberapa pilihan tersebut disesuaikan dengan tempat, situasi dan kondisi. Oleh karena itu NU sangat menghargai perbedaan dan penuh toleransi.
Demikian makalah singkat ini dibuat dengan segala keterbatasan, semoga ada guna dan manfaatnya. Amin.

[1] Martin Van Bruenessen, NU Tradisi, Relasi-relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru, (Jogyakarta : Lkis 1994), Cet. I, Hal. 150.
[2] Donald Eugene Smith, Politics and Sicial Change in the Thrith World, (Macmillan Publishing : The Free Press, Co., Inc. 1974), Hal. 57-66.
[3] M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia Pendekatan Fikih Dalam Politik, (Jakarta: PT.Gramdia Pustaka Utama 1994) Hal. 41-3.
[4] Einar Martahan Sitompul, Nahdlatul Ulama Dan Pancasila, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan 1996) Hal.70.
[5] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta : LP3ES 1982) Hal.148-160.
[6] Ibid., Hal.149.
[7] Einar Martahan Sitompul, Op. Cit., Hal.36-7.

AGAMA DAN MASYARAKAT MADANI (Rujukan Khusus Tentang Sikap Budaya, Agama dan Politik)

Oleh :
Achmad Jainuri
(Dosen Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya)
Abstrak: Pokok pembahasan dalam tulisan ini adalah diskursus mengenai masyarakat madani, dengan merujuk pada dasar-dasar teologis dan pengalaman kesejarahan umat Islam, terutama pada masa Nabi Muhammad Saw. Masyarakat madani, bagi sebagian kalangan dapat disepadankan dengan konsep civil society, seperti yang banyak dibicarakan di Barat. Wacana masyarakat madani menjadi sedemikian ramai dibicarakan justru bermula dari tiadanya padanan kata yang tepat bagi istilah masyarakat madani. Menyepadankan masyarakat madani dengan civil society, juga bukan solusi yang memuaskan. Sebab, masyarakat madani dan civil society memang lahir dari dua peradaban yang berbeda. Masyarakat madani lahir dan berkembang dalam lingkungan Arab-Islam, sementara civil society di Barat. Namun demikian, menurut penulis, berdasarkan nas al-Qur’a>n dan Hadi>th serta pengalaman kesejarahan umat Islam jelas menunjukkan bahwa masyarakat muslim telah memiliki dasar-dasar dan pengalaman dalam menegakkan masyarakat madani yang dijiwai oleh semangat pluralisme, demokrasi, egalitarianisme, dan toleransi. .

Kata kunci; masyarakat madani, civil society, piagam madinah
Pendahuluan
Tiadanya tatanan sosial politik yang mapan bisa menghancurkan kehidupan berbangsa, menghancurkan demokrasi dan hilangnya keadilan, kemerdekaan, persamaan serta hak asasi manusia lainnya. Pengalaman perjalanan sejarah bangsa Indonesia selama lebih setengah abad menunjukkan ketiadaan seperti yang dimaksudkan. Oleh karena itu, upaya penataan kembali sistem kehidupan berbangsa secara mendasar dilakukan dengan mencari rumusan baru yang diharapkan bisa menjamin tegaknya demokrasi, keadilan, HAM, toleransi, serta plularisme.
Di antara sumber utama rumusan itu, agama (Islam) menjadi rujukan sangat penting, setelah sekian lama ada keengganan menjadikan agama sebagai rujukan validasi pandangan hidup sosial politik. Tulisan ini tidak membicarakan penyikapan agama terhadap konsep “masyarakat madani”, tetapi mencoba memaparkan dasar-dasar teologis filosofis tentang elemen utama “masyarakat madani” yang ada dalam wawasan Islam, di samping pengalaman praktis dalam sejarah masyarakat Muslim. Karena itu sikap budaya (cultural attitude) dan sikap keagamaan (religious attitude) serta pengakuan atas hak-hak asasi manusia (human rights) merupakan unsur yang sangat penting untuk dibicarakan. Selain itu, coba didiskusikan pula wawasan Islam tentang politik yang memberikan nilai-nilai dasar kehidupan berdemokrasi. Semua elemen ini menjadi pilar penting tegaknya institusi sosial yang menjamin munculnya “masyarakat madani”.


Masyarakat Madani : Masalah Pluralisme dan Toleransi
Mencari padanan kata “masyarakat madani” dalam literatur bahasa kita memang agak sulit. Kesulitan ini tidak hanya disebabkan adanya hambatan psikologis untuk menggunakan istilah-istilah tertentu yang berbau Arab-Islam, tetapi juga karena tiadanya pengalaman empiris diterapkannya nilai-nilai “madaniyah” dalam tradisi kehidupan sosial dan politik bangsa. Namun banyak orang menyepadankan istilah ini dengan civil society, societas civilis (Romawi) atau koinonia politike ( Yunani). Padahal istilah “masyarakat madani” dan civil society berasal dari dua sistem budaya berbeda. Masyarakat madani merujuk tradisi Arab-Islam, sedang civil society pada tradisi Barat non-Islam. Perbedaan ini bisa memberikan makna berbeda apabila dikaitkan dengan konteks asal istilah itu muncul.
Oleh karena itu, pemaknaan lain di luar derivasi konteks asalnya akan merusak makna aslinya. Ketidaksesuaian pemaknaan ini tidak hanya menimpa kelompok masyarakat yang menjadi sasaran aplikasi konsep tersebut, tetapi juga para interpreter yang akan mengaplikasikannya. Hal lain yang berkaitan dengan perbedaan aplikasi kedua konsep masyarakat ini adalah bahwa civil society telah teruji secara terus-menerus dalam tatanan kehidupan sosial-politik Barat hingga mencapai maknanya yang terakhir, yang turut membidani lahirnya peradaban Barat modern. Sedangkan masyarakat madani seakan merupakan keterputusan konsep ummah yang merujuk pada masyarakat Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad. Idealisasi tatanan masyarakat Madinah ini didasarkan atas keberhasilan Nabi mempraktekkan nilai-nilai keadilan, ekualitas, kebebasan, penegakan hukum, dan jaminan kesejahteraan bagi semua warga serta perlindungan terhadap kaum lemah dan kelompok minoritas. Meskipun secara ideal eksistensi masyarakat Madinah ini hanya sebentar tetapi secara historis memberikan makna yang sangat penting sebagai rujukan masyarakat di kemudian hari untuk membangun kembali tatanan kehidupan yang sama. Dari pengalaman sejarah Islam masa lalu ini, masyarakat Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad secara kualitatif dipandang oleh sebagian kalangan intelektual muslim[1] sejajar dengan konsep civil society.
Dasar tatanan masyarakat madani memperoleh legitimasi kuat pada landasan tekstual (nas) al-Qur’an maupun Hadith dan praktik generasi awal Islam. Landasan ini tercermin dalam sikap budaya dan agama (cultural and religious attitude) seperti toleran dan pluralis, serta pengakuan atas hak-hak asasi manusia. Fazlur Rahman (1980), misalnya mengidentifikasi sikap ini dari simpulan makna beberapa ayat al-Qur’an yang menegaskan; “Karena semua ajaran Nabi berasal dari sumber yang sama, maka Nabi Muhammad memerintahkan ummatnya untuk meyakini semua wahyu Allah SWT. yang diturunkan kepada para Nabi”. Al-Qur’an mengatakan bahwa Muhammad meyakini, tidak hanya Kitab Taurat dan Injil tetapi juga kepada semua yang diturunkan Allah SWT.[2]
Dalam pandangan al-Qur’an, kebenaran serta petunjuk Tuhan tidak terbatas pada kaum tertentu tetapi secara universal berlaku untuk semua ummat manusia; “Tidak ada suatu ummat pun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan;”[3] karena bagi tiap-tiap kaum ada orang yang memberi petunjuk.[4] Fazlur Rahman mengatakan bahwa kata “kitab” yang sering digunakan dalam al-Qur’an tidak untuk menunjuk kitab wahyu tertentu tetapi merupakan istilah generik yang menjelaskan totalitas wahyu Allah SWT.[5]
Prinsip lain dalam al-Qur’an yang bisa dijadikan dasar pluralitas beragama ini seperti dikatakan: “Sekiranya Allah SWT. menghendaki, niscaya kamu dijadikannnya satu ummat (saja), tetapi Allah SWT. hendak menguji kamu terhadap pemberianNya kepadamu, maka berlomba-lombalah dalam kebajikan,[6] al-Qur’an juga menantang semua ummat beragama untuk berkompetisi dalam kebajikan:[7] “Katakanlah! Hai Ahli Kitab! Marilah kepada suatu kalimat (keterangan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah SWT. dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain dari pada Allah SWT.[8]
Tantangan dan ajakan ini memang ditujukan kepada orang-orang Yahudi dan Kristen sebagai ahl al-kitab, namun sebagian kaum muslim sekarang ini memahami bahwa ajakan ini juga termasuk kaum Hindu dan Budha. Konklusi logis yang bisa ditarik dari beberapa ayat yang disebutkan di muka adalah bahwa karena penganut agama-agama lain juga menyembah Tuhan (Islam), karena ampunan dan pahala di Hari Akhir nanti pasti akan diberikan Tuhan kepada mereka yang umumnya secara moral benar, dan karena kaum muslimin menghormati para pengikut agama lain dan memperlakukan mereka dengan kasih sayang atau toleran terhadapnya. Nabi bahkan diperintahkan untuk bersikap bijaksana terhadap orang-orang kafir meskipun mereka ini menolak kenabiannya.
Sikap toleran dan pluralis seorang muslim terhadap agama dan pendapat pemeluk agama lain jelas mendapat legitimasi dari ayat-ayat al-Qur’an dan preseden yang dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya. Salah satu tindakan pertama Nabi untuk mewujudkan masyarakat Madinah ialah menetapkan dokumen perjanjian yang disebut Piagam Madinah (Mithaq al-Madinah), atau terkenal dengan “Konstitusi Madinah”. Hamidullah menyebutkan bahwa Piagam Madinah merupakan konstitusi tertulis pertama yang ada di dunia, yang meletakkan dasar-dasar pluralisme dan toleransi. Dalam Piagam tersebut ditetapkan adanya pengakuan kepada semua warga Madinah, tenpa memandang perbedaan agama dan suku, sebagai anggota ummat yang tunggal (ummah wahidah), dengan hak dan kewajiban yang sama.[9]
Meskipun prinsip Piagam Madinah ini tidak dapat sepenuhnya terwujud, karena pengkhiatanan beberapa komunitas Yahudi di Madinah saat itu, namun semangat dan maknanya dipertahankan dalam berbagai perjanjian yang dibuat kaum Muslim di berbagai daerah yang telah dibebaskan tentara Islam.[10] Semangat ini terus menjiwai pandangan sosial, politik, dan keagamaan masyarakat Muslim. Dalam perjalanan sejarah ummat Islam juga ditemukan prinsip dasar sikap budaya dan agama serta hak-hak asasi manusia yang pernah dipraktekkan secara berbeda, sehingga berdampak buruk terhadap mereka yang oposan terhadap dan berlainan keyakinan dengan penguasa.
Penyimpangan atas norma dasar toleransi dan pluralitas serta hak-hak asasi manusia ini ditengarai karena kuatnya kepentingan kelompok elite penguasa Muslim tertentu yang pada akhirnya juga mengakibatkan tidak terformulasikannya wawasan politik Islam secara benar sesuai dengan perjalanan periode sejarah pemerintahan Islam. Setelah masa Khulafa’ al-Rashidin (40 H/661 M) adalah ‘Umar ibn ‘Abd al-Aziz, seorang khalifah Dinasti Umaiyah yang memerintah antara tahun 717-720, yang telah mencoba mengembalikan tatanan kehidupan sosial-politik dengan merujuk pada contoh masa Nabi dan Khulafa’ al-Rashidin sebagai the Islamic era par-excellence. Hal penting yang dilakukan di antaranya adalah pengembalian hak sipil dari beban pajak yang memberatkan, dan menata kembali infrastruktur politik yang dinilai tidak sesuai lagi dengan perkembangan kehidupan sosial-politik saat itu. Konsolidasi politik ini mencapai momentumnya dengan dikembalikannya hak demokrasi kepada rakyat. Meskipun telah ditunjuk untuk mewarisi jabatan khalifah dari pamannya, Sulaiman, namun jabatan tersebut diserahkan kembali kepada rakyat untuk memilihnya. Ini adalah sebuah keputusan politik yang berlawanan dengan tradisi yang telah berlangsung selama 56 tahun, yang melestarikan sistem suksesi kepemimpinan melalui warisan turun-temurun. Reformasi politik yang dilakukan ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz merambah pada pemangkasan dominasi kekuasaan keluarga Bani Umaiyah pada jajaran elite birokrasi, dan memberikan kesempatan umum untuk mendudukinya. Kebijakan baru yang dilakukan Umar ini mendapat perlawanan keras dari kalangan keluarganya sendiri, Bani Umaiyah, yang selama setengah abad lebih menikmati kekuasaan dan kekayaan negara. Mengakarnya KKN dalam tradisi kekuasaan pemerintahan Bani Umaiyah menjadikan upaya reformasi Umar ini tidak berlangsung lama, seiring dengan meninggalnya khalifah yang arif ini pada 720. Ia hanya memerintah kurang lebih selama dua tahun tiga bulan, dan oleh beberapa sumber disebutkan bahwa ia meninggal karena diracun keluarga sendiri. Sejak saat itu dunia politik Islam kembali diwarnai praktik oligarchy yang cenderung menggunakan kekuasaannya dengan cara-cara menyakitkan (despotic rule).


Wawasan Politik Islam
Masyarakat madani yang dicontohkan oleh Nabi pada hakikatnya adalah reformasi total terhadap masyarakat yang hanya mengenai supremasi kekuasaan pribadi seorang raja seperti yang selama itu menjadi pengertian umum tentang negara.[11] Meskipun secara eksplisit Islam tidak berbicara tentang konsep politik, namun wawasan tentang demokrasi yang menjadi elemen dasar kehidupan politik masyarakat madani bisa ditemukan di dalamnya. Wawasan yang dimaksud tercermin dalam prinsip persamaan (equality), kebebasan, hak-hak asasi manusia, serta prinsip musyawarah.
Prinsip persamaan bisa ditemukan dalam suatu ide bahwa setiap orang, tanpa memandang jenis kelamin, nasionalitas, atau status semuanya adalah makhluk Tuhan. Dalam Islam Tuhan menegaskan; “Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa.”[12] Nilai dasar ini dipandang memberikan landasan pemahaman, di mata Tuhan manusia memiliki derajat sama. Pemahaman inilah yang kemudian muncul dalam Hadith Nabi yang menegaskan bahwa tidak ada kelebihan antara orang Arab dan orang yang bukan Arab.
Dari sini kemudian dipahami bahwa Islam memberikan dasar konsep tentang ekualitas. Berbeda dengan konsep ekualitas yang ada pada masyarakat Yunani, ekualitas yang ada dalam Islam, misalnya bukan menjadi subordinasi dari keadaan apa pun yang datang sebelumnya. Ekualitas menurut orang-orang Yunani hanya berarti dalam tatanan hukum. Dalam hal ini Hannah Arendt mengatakan, bukan karena semua manusia lahir dalam keadaan sama, tetapi sebaliknya karena manusia pada dasarnya memang tidak sama. Karena itu ia memerlukan sebuah institusi artifisial, polis, untuk membuatnya sama. Persamaan ini hanya ada di bidang politik, yang memungkinkan orang bertemu satu sama lain sebagai warga negara dan bukan sebagai pribadi orang secara individual. Perbedaan antara konsep ekualitas Yunani kuno dengan Islam terletak pada ide bahwa manusia lahir dan diciptakan sama dan menjadi tidak sama karena nilai sosial dan politik, yang merupakan institusi buatan manusia. Ekualitas yang terdapat dalam masyarakat Yunani merupakan sebuah atribut kemasyarakatan dan bukan perorangan, yang memperoleh ekualitasnya berbadasarkan nilai kewarganegaraan dan bukan diperolehnya sejak lahir.[13] Meskipun dalam Islam ditemukan bahwa equalitas juga terkait dengan pra-kondisi politik, yaitu keanggotaan di dalam ummah, tetapi pra-kondisi ini bisa dicapai oleh setiap orang hanya dengan jalan menyatakan masuk Islam. Sementara dalam tradisi Yunani, jalan untuk mencapai dunia politik, yang merupakan pra-kondisi nilai ekualitas, hanya mungkin dilakukan oleh mereka yang memiliki kekayaan dan budak belian sebuah kelebihan yang tidak dimiliki oleh orang kebanyakan.
Perbedaan antara Islam dan Barat klasik mengenai konsep ekualitas sebagian tergambar dalam terminologi politik dari dua macam budaya ini. Al-Qur’an hanya menyebutkan manusia (insan), tidak membedakan keyakinan dan politik yang dianutnya, tetapi tidak menyebut kata warga negara. Oleh karena itu kaum Muslimin di zaman modern ini mencoba menemukan konsep warga nagara ini dengan kata muwatin (Arab), yang jelas merupakan istilah baru. Meskipun demikian, hak politik individu tidak banyak didefinisikan dalam sumber-sumber tradisional pemikiran politik Islam. Posisi manusia sendiri, dalam masa pra-sosialnya, memperoleh tempat yang tinggi dalam al-Qur’an sebagai “Wakil Tuhan di bumi.”[14] Sebaliknya bagi rakyat Romawi, kata Latin homo, yang berarti manusia, tidak menunjuk pada sesuatu kecuali manusia, seorang yang tidak memiliki hak, dan karenanya disamakan statusnya dengan budak.
Jika demokrasi dimaksudkan sebagai sebuah sistem pemerintahan yang menentang keditaktoran, Islam bisa bertemu dengan demokrasi karena di dalam Islam tidak ada ruang bagi putusan hukum sepihak yang dilakukan oleh seorang atau kelompok tertentu. Dasar semua keputusan dan tindakan dari sebuah negara Islam bukan ide mendadak dari seorang tetapi adalah shari’ah, yang merupakan sebuah perangkat aturan yang tertuang dalam al-Qur’an dan tradisi Nabi. Shari‘ah adalah salah satu manifestasi dari kebijakan Ilahi, yang mengatur semua fenomena yang ada di alam, materi maupun spiritual, natur maupun sosial. Beberapa istilah di dalam al-Qur’an menjelaskan karakter normatif tentang kebijaksanaan Tuhan ini seperti sunnatullah (hukum Allah SWT atau orang sering menyebutnya dengan “hukum alam”), mizan (timbangan), qist dan ’adl (keduanya berarti adil). Pada tingkat yang abstrak, semua ekspresi tersebut bisa memenuhi persyaratan awal demokrasi, yaitu tegaknya hukum. Beberapa penulis menyatakan, karena alasan ini sebuah negara Islam mestinya disebut bukan teokrasi, tetapi adalah sebuah nomocracy.
Perbedaannya memang tidak terlalu mencolok karena apa yang dipandang suci dan mengikat dalam Islam bukan hukum pada umumnya, tetapi hanya hukum yang datang dari Tuhan. Islam sesungguhnya menegaskan perlunya pemerintahan berdasarkan norma dan petunjuk jelas, bukan berdasar pada preferensi perorangan. Bagi kalangan Barat dan kelompok Muslim tertentu, penggalian konsep hukum buatan manusia dari wawasan syari’ah dipandang sebagai sebuah cara yang kurang memuaskan untuk merumuskan sebuah elemen rekayasa sosial. Namun demikian, harus diakui bahwa seseorang sesungguhnya tidak menemukan banyak kelemahan dengan cara ini, kecuali apa yang mungkin dianggap kuno. Karena dalam sejarah pemikiran politik Barat konsep hukum modern juga merupakan sebuah produk perkembangan perdebatan abad pertengahan mengenai sifat kebijaksanaan Tuhan. Gagasan hukum sebagai “sebuah tatanan rasional yang menyangkut kebaikan umum dan ketenteraman masyarakat” telah dibicarakan oleh St. Thomas Aquinas[15] dari persepsi akal Tuhan sebagai satu-satunya sumber yang memancarkan semua tingkat kosmis dan tatanan.


Kebebasan dan Hak Asasi Manusia
Disamping elemen seperti yang disebutkan di atas, Islam juga menekankan kebebasan dan hak-hak asasi manusia, dua komponen yang menjadi ciri penting masyarakat madani. Menjadi seorang mukmin yang baik, orang harus bebas merdeka. Apabila keyakinan seseorang karena paksaan, maka keyakinan yang dimiliki itu bukan merupakan keyakinan sesungguhnya. Dan jika seorang Muslim secara bebas menyerahkan diri kepada Tuhan, ini tidak berarti bahwa ia telah mengorbankan kebebasannya. Karena pilihan untuk menyerahkan diri itu semata didasarkan atas kebebasan yang dimilikinya. Hal ini karena, di sisi lain Tuhan juga menegaskan kepada manusia untuk bebas memilih taat atau tidak kepada perintahNya.
Dasar ajaran mengenai kebebasan ini memperoleh momentum penting dalam sejarah umat manusia, yang selalu diwarnai oleh tindakan pembelengguan hak serta kebebasan manusia. Sejarah mencatat bahwa mereka yang menjadi sasaran ketidakadilan selalu berada pada pihak kaum yang lemah. Budak oleh tuannya, kaum miskin oleh mereka yang kaya, rakyat oleh penguasa, yang bodoh oleh pandai, yang miskin spiritual dan agama oleh kaum pendeta dan ulama. Dunia seakan-akan tidak pernah kosong dari tindakan semena-mena manusia terhadap sesamanya. Dalam kekaisaran Romawi Kuno sejarah menyaksikan bagaimana bayi yang lahir dalam keadaan cacat sering menghadapi resiko mati karena kebijakan kaisar yang menghendaki keperkasaan karena tuntutan perang. Di Mesir Kuno pernah diberlakukan perintah untuk membunuh bayi laki-laki hanya karena Fir’aun takut tergeser dari singgasananya. Sebaliknya di Arab Jahiliyah, wanita dianggap tidak ada nilainya untuk sebuah harga diri bagi kehidupan bersuku, akibatnya setiap bayi perempuan lahir harus dikubur hidup-hidup.
Pengalaman hidup manusia seperti disebut di atas dan kondisi masyarakat Arab sewaktu Islam muncul, yang sarat dengan perbudakan, memberikan suatu pemahaman bahwa secara sistematis makna bebas (h}urr) yang dimaksudkan oleh Islam itu berlawanan dengan budak (‘abd). Bukankah salah satu misi penting sosial Islam adalah membebaskan perbudakan. Selain wawasan kebebasan yang dimaksud ini, sejak periode awal Islam beberapa pemikir Muslim juga mengembangkan doktrin ikhtiyar (pilihan atau kebebasan kehendak), yang merupakan sebuah pra kondisi substantif diterimanya konsep kebebasan seperti yang dipahami filsafat politik Barat.


Prinsip Musyawarah
Al-Qur’an tidak mentolerir adanya perbedaan antara satu dengan yang lain, laki-laki atau wanita atas dasar partisipasi yang sama dalam kehidupan bermasyarakat. Sejalan dengan ini al-Qur’an menegaskan tentang prinsip syura (musyawarah) untuk mengatur pembuatan keputusan yang dilakukan masyarakat madani. Sayangnya, selama berabad-abad di kalangan kaum Muslimin telah tumbuh kekeliruan fatal dalam menafsirkan karakteristik syura ini. Mereka memahami bahwa syura sama dengan seorang penguasa berkonsultasi dengan orang-orang yang menurut pandangan mereka, yang sangat bijaksana dengan tidak ada keharusan untuk mengimplementasikan nasehat mereka. Pandangan ini menurut Fazlur Rahman, jelas merusak makna syura itu sendiri. Al-Qur’an dengan jelas menyebutkan; “…sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka…. .”[16] Yang dimaksud dengan “urusan mereka” adalah bukan individu, kelompok, atau elit tertentu, tapi “urusan masyarakat pada umumnya” dan milik masyarakat secara keseluruhan. Dan “musyawarah antara mereka” yaitu urusan mereka itu dibicarakan dan diputuskan melalui saling konsultasi dan diskusi, bukan diputuskan oleh seorang individu atau elit yang tidak dipilih oleh masyarakat, dari sini dipahami bahwa syura tidak sama maknanya dengan “seorang minta nasehat dengan orang lain”, tetapi saling menasehati melalui diskusi dalam posisi yang sama. Secara langsung ini berarti, kepala negara tidak boleh menolak begitu saja keputusan yang diambil melalui musyawarah.[17]
Kondisi yang mempengaruhi perkembangan doktrin musyawarah dan kekhalifahan yang telah menimbulkan konsepsi keliru seperti yang baru disebut di atas, pada dasarnya adalah persoalan sejarah dan karenanya tidak bisa dihubungkan dengan al-Qur’an. Pada masa Nabi Muhammad, kekuasaan utama memang ada pada Nabi, dan putusan yang dibuatnya mengikat bagi semua Muslim. Kecuali dalam urusan agama, hal-hal yang menyangkut dengan kehidupan sosial dan politik, Nabi sering melakukan musyawarah dengan para sahabat. Setelah dia, dan terutama selama perluasan daerah Islam berlangsung, musyawarah menjadi persoalan informal yang dipakai Khalifah sebagai media konsultasi dengan para sahabat Nabi. Formalisasi dan pelembagaan musyawarah ke dalam badan perwakilan tidak mungkin terwujud karena tuntutan untuk berperang masih terus berlanjut, baik karena cepatnya kemenangan yang mereka peroleh maupun karena persoalan internal di kalangan militer sendiri.
Selama masa pemerintahan Bani Umayah (41-132/661-770), tuntutan semacam ini tidak hanya terbatas pada perluasan penaklukan tetapi juga termasuk konsolidasi politik-militer ke dalam, sepanjang sejarah pemerintahan Umayah terjadi pemberontakan yang terus-menerus. Pemerintahan Umaiyah merubah sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pemerintahan terdahulu dengan memaksakan logika politiknya sendiri, yang dalam beberapa hal, tidak memberikan kesempatan adanya partisipasi masyarakat. Kalau ada musyawarah, maka institusi ini hanya dilakukan dengan mereka yang mendukung rezim penguasa. Kenyataannya musyawarah kemudian menjadi komoditas clique yang al-Qur’a>n sendiri melarangnya. Perkembangan inilah yang kemudian mewarnai hubungan antara penguasa dan rakyat, yakni hubungan yang pada dasarnya berasal dari atas ke bawah, yang sesungguhnya bertentangan dengan makna syura itu sendiri.
Meskipun demikian tuntutan bai’ah, pernyataan menganggap sahnya pemerintahan khalifah, terus berlanjut selama pemerintahan Umaiyah. Periode ini juga ditandai berkembangnya hukum Islam dan teori hukum yang dilakukan para individu ulama. Hasil-hasil hukum ini kemudian diimplementasikan melalui sistem hukum negara selama pemerintahan Bani Abbasyiyah. Sementara Syi’ah mengembangkan doktrin kepemimpinan imam sebagai sumber petunjuk dan pemimpin tertinggi pada teoritisi, Sunni menekankan perlunya pemilihan khalifah dan pembatas fungsinya pada jabatan kepala negara, bukan agama. Meskipun mereka ini berbeda mengenai jumlah orang yang mewakili untuk mengangkat seorang Khalifah, namun mereka setuju prinsip-prinsip pemilihan itu harus ditegakkan. Masyarakat bisa menuntut hak mereka dari seorang Khalifah jika ia memaksakan diri atau mengambil kekuasaan itu secara tidak sah. Masyarakat juga berhak untuk tidak mematuhi dan bahkan memaksa pemimpin yang tidak sah ini untuk turun tahta.
Orang yang dipercaya dalam hal penyelenggaraan pemilihan dan memberikan nasehat pada Khalifah umumnya adalah kelompok yang memiliki pengaruh serta dihormati masyarakat, yang disebut ahl al-hall wa al-‘aqd. Karena prinsip syura telah hilang sebelum berkembang menjadi istitusi, maka tumpuan harapan pada institusi ahl al-h}all wa al-‘aqd merupakan satu-satunya alternatif yang memungkinkan. Apa yang sesungguhnya mengurangi pemikiran institusi politik sunni ini adalah karena penekanan oleh para teoritisi tentang pendapat yang mengatakan bahwa “pemberontakan sekalipun pada pemerintahan tirani adalah dilarang oleh Islam”. Memang jalan satu-satunya untuk menghentikan pemberontakan dan pelanggar hukum serta tatanan – ini alasan sebenarnya yang ada di balik posisi Sunni – adalah berlangsungnya musyawarah dalam bentuk praktis. Dan ini yang tidak terjadi dalam pengalaman sejarah. Pengalaman ini kemudian mewarnai perkembangan politik Islam di kemudian hari, seperti yang terjadi pada masa kesultanan, dan kemudian munculnya kekaisaran Islam pada akhir abad pertengahan. Semua ini menggambarkan adanya perbedaan mencolok antara cita-cita yang digambarkan dalam al-Qur’a>n dengan kenyataan sejarah, yang telah meniadakan partisipasi langsung dari masyarakat dalam urusan pemerintahan.


Demokrasi di Era Modern Islam
Dampak praktik kehidupan politik Islam pada abad pertengahan nampaknya masih membekas dalam kehidupan bernegara di dunia Islam sekarang ini. Meskipun dunia Muslim sekarang sudah terbebas dari dominasi asing (secara fisik) dan memiliki pemerintahan sendiri, tetapi hampir semuanya dihadapkan pada problem internal, yaitu “kurang demokratis”. Kecuali Turki, kata Bernard Lewis, semua negara yang mayoritas penduduknya Muslim dimpin oleh variasi dari rezim otoriter, otokrasi, despotis, dan sebangsanya.[18] Dari kalangan sosiolog dunia Islam digambarkan telah mengalami masa transisi dari masyarakat yang berorientasi pada ekonomi moneter dan masyarakat demokratis, kepada sebuah masyarakat agraris dan rejim militer.[19] Dua kecenderungan itu mencerminkan watak yang berbeda, yang pertama lebih bersifat dinamis dan rasional sedang yang kedua menggambarkan sifat tertutup. Gambaran seperti yang disebutkan di atas itu seakan-akan mengasumsikan bahwa Islam tidak mengenal pemerintahan demokrasi. Meskipun benar diakui bahwa konsep demokrasi masih juga menjadi salah satu isu perdebatan antara yang setuju dan yang menentang.
Sejak kira-kira abad ke-19, beberapa pemimpin reformis Muslim menyatakan bahwa untuk mengimplementasikan Islam dalam sektor kehidupan umum, pemerintahan harus ditegakkan berdasarkan kehendak rakyat banyak. Salah satu alasan menjadi pertimbangan kaum reformis seperti Jamal al-Din al-Afghani adalah karena tanpa partisipasi rakyat di dalam pemerintahan, negara Islam tidak akan kuat menghadapi tekanan Barat. Alasan yang lain, agar kemajuan internal bisa dicapai, karena tanpa kemajuan negara Islam akan tetap lemah, maka partisipasi masyarakat diperlukan. Namik Kemal (1840-1888), seorang tokoh gerakan Usmani Muda pada akhir abad ke-19, dalam membicarakan masalah shura, mengemukakan pertanyaan mengenai legitimasi pemerintahan tanpa dukungan rakyat. Jika seseorang, kata Kemal, mengangkat dirinya sendiri sebagai seorang hakim hanya berdasarkan deklarasinya sendiri dan bukan ddiangkat pejabat yang berwenang, maka klaimnya tidak sah. Lalu bagaimana dengan orang yang mendeklarasikan dirinya sendiri sebagai seorang penguasa, memerintahkan perang dan damai atas nama rakyat, dan membebankan pajak atas diri rakyat tanpa persetujuan rakyat?
Dalam kasus jaman kekaisaran Usmani, keberatan yang diajukan oleh mereka yang menentang bentuk pemerintahan demokrasi adalah disebabkan oleh suatu alasan bahwa rakyat secara umum, karena ketidaktahuannya tidak bisa memilih para wakil mereka yang tepat dan bahwa para wakil itu sendiri, karena mereka juga tidak tahu, tidak bisa diharapkan untuk membedakan mana yang benar dan salah dan memutuskan undang-undang secara tepat. Keberatan ini terutama diajukan oleh orang-orang Turki yang ingin mempertahankan kekuasaan Sultan dalam kekaisaran Usmani melawan para pemimpin gerakan konstitusi. Terhadap keberatan ini, Namik Kemal menjawab bahwa diberbagai daerah kekuasaan Usmani Muda orang bisa menemukan rakyat yang cukup bijaksana dalam menjalankan urusan kenegaraan dengan sukses. Kegagalan gerakan konstitusi yang dilakukan Usmani Muda karena; pertama, masih kuatnya pengaruh absolutisme kekuasaan sultan; kedua, ide konstitusi dinilai masih terlalu tinggi bagi rakyat kekaisaran Turki, dan ketiga, tidak ada golongan menengah berpendidikan dan ekonomi kuat yang mendukung gerakan Usmani Muda.


Penutup
Sebagai penutup ada beberapa catatan penting yang seperti dikatakan oleh Fazlur Rahman bahwa Islam sebenarnya, pertama, telah menegaskan peran masyarakat Muslim untuk menegakkan semacam tatanan sosial politik dan untuk mengimbangi ekstrimitas; kedua, kehidupan dan konstitusi internal masyarakat muslim harus selalu bersifat terbuka dan egaliter, tidak larut dengan kepentingan elistime serta tidak tertutup dan; ketiga, kehidupan dan tingkah laku internal masyarakat harus berpusat pada saling aktif berbuat baik dan bekerjasama.[20]
Penciptaan tatanan kehidupan masyarakat madani salah satunya adalah melalui penegakan kehidupan demokrasi. Wawasan dasar Islam tentang prinsip-prinsip demokrasi seperti keadilan, persamaan, kebebasan dan musyawarah, demikian juga dengan sikap pluralisme, toleransi dan pengakuan hak-hak asasi manusia telah berfungsi dengan baik selama masa Nabi dan Khulafa’ al-Rasyidin dalam kehidupan sosial politik, yang oleh kalangan intelektual Muslim direfleksikan sebagai tatanan masyarakat madani. Kondisi internal ummat setelah periode Khulafa’ al-Rasyidin yang tidak lagi kondusif bagi munculnya tatanan kehidupan politik yang demokratis, menyebabkan prinsip-prinsip dasar Islam mengenai demokrasi tidak bisa diformulasikan ke dalam lembaga politik yang mapan. Akibatnya, perbedaan antara teori (wawasan islam tentang demokrasi) dan praktik kehidupan politik terlihat sangat jauh; menjadikan ummat Islam terkesan asing dengan simbol-simbol demokrasi yang berkembang. Keterasingan simbol itulah yang barang kali menjadikan orang berusaha untuk mengimbanginya dengan merumuskan kembali tatanan kehidupan yang ada pada “masyarakat madani”.

[1] Lihat Anwar Ibrahim, “Islam dan Masyarakat Madani” dalam Aswab Mahasin (ed.) Ruh Islam dan Budaya Bangsa (Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal, 1996); Juga Nurcholish Madjid , “Meneruskan Agenda Reformasi untuk Demokrasi dengan Landasan Jiwa Masyarakat Madani; Masalah Pluralisme dan Toleransi,” Makalah Pidato Halal Bihalal KAHMI (Jakarta, 11 Syawwal 1419 / 28 Januari 1999).
[2] QS. Al-Shu>ra> (42): 15.
[3] QS. Fa>t}ir (35): 24.
[4] QS. Al-Ra‘d (13): 7.
[5] QS. Al-Baqarah (2): 213.
[6] QS. Al-Ma>idah (4): 48.
[7] QS. ‘A>li Imra>n (3): 64.
[8] Sumber normatif tentang landasan sikap budaya, agama, dan hak-hak asasi manusia ini juga bisa dilihat dalam makalah Nurcholish Madjid, Meneruskan Agenda Reformasi, 5-6.
[9] Alfred Guillaume, The Life of Muhammad (Lahore: Oxford University Press, 1970), 231-233.
[10] Nurcholish Madjid, Meneruskan Agenda Reformasi, 2.
[11] Ibid., 1-2.

[12] QS. Al-H}ujura>t (49): 13.
[13] Hannah Arendt, On Revolution (New York: Tp., 1963), 23.
[14] QS. Al-Baqarah (2): 30.
[15] St. Thomas Aquinas, Selected Political Writings, diedit oleh A.P.D. Entreves (Oxford: Oxford University Press, 1948), 113.

[16] QS. Al-Shu>ra> (42): 38.
[17] Fazlur Rahman, “The Principle of Shura and the Role of Ummah in Islam,” dalam Mumtaz Ahmad (ed.), Politics and Islam (Indianapolis, IN: American Trust Publication, 1986), 91, 95-96.

[18] Bernard Lewis, “Islam and Liberal Democracy: A Historical Overview,” Journal of Democracy 7,2 (1996), 58.
[19] Bryan S. Turner, Capitalism and Class in Middle East; Theories of Social Change and Economic Development (London: Heinemann Educational Books, 1984), 30.
[20] Ibid., 90-91.

PROBLEMATIKA SEPUTAR KITAB PERJANJIAN LAMA

Oleh :
Zainal Arifin
(Dosen Jurusan Perbandingan Agama Fak. Ushuluddin Surabaya IAIN Sunan Ampel)
Abstrak
Agama Yahudi termasuk tiga agama besar yang memiliki beberapa kesamaan dengan Islam dan Kristen, khususnya yang berhubungan dengan sejarah kelahiran yang berasal dari Ibrahim sehingga disebut Abrahamic religions (agama keturunan Ibrahim). Perbedaan secara prinsip terletak pada ajaran-ajaran yang tertuang dalam kitab suci, yaitu Perjanjian Lama (Taurat) baik content maupun proses penulisan hingga pembakuan sebagai kitab suci yang sampai kepada umatnya sekarang. Artikel ini menjelaskan tentang beberapa kelemahan kitab Perjanjian Lama sebagai kitab yang menjadi pedoman dan tuntunan penganut Yahudi. Ada tiga wilayah problem dalam kitab tersebut;yaitu corak kebahasaan, sejarah penulisan hingga pembakuan dan pola teologi yang dikembangkan. Dalam kitab Perjanjian Lama asli yang menggunakan bahasa Ibrani setiap kalimat huruf hidup ditandai dengan huruf mati (atau matres lictionis) sehingga sulit untuk dipahami secara benar, begitu pula bahasa Ibrani banyak kemiripan dengan bahasa Armenia sehingga mengesankan kitab tersebut diturunkan menggunakan dua bahasa. Problem berikutnya adalah sejak turunnya hingga penulisan sebagai pedoman standar dibatasi waktu ribuan tahun sehingga dimungkinkan kitab ini mengalami pergeseran atau disorientasi. Dan kenyataannya memang benar, sebelum Perjanjian Lama ditulis sudah muncul sekian kitab yang mengatasnamakan kitab Perjanjian Lama (Taurat) sehingga kecurigaan terjadinya distorsi semakin kuat. Penulis berpandangan bahwa membaca dan memahami kitab ini harus lebih kritis agar ditempatkan secara proporsional.
Yahudi is one of three great religions, beside Islam and Nasara which has equality in belief, historical background and geneology of belief, that called Abrahamic Religion.
Kata kunci : Yahudi, Perjanjian Lama, Ibrani, sejarah penulisan, teologi



Pendahuluan
Yahudi dan Kristen biasa disebut umat yang mempunyai banyak kitab (The People of Books)[1] yaitu Bibel. Bibel merupakan kitab atau kumpulan kitab suci umat Yahudi dan Kristen[2], terbagi menjadi dua bagian yakni Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Teks asli Perjanjian Lama ditulis dalam bahasa Ibrani, dengan beberapa bagian pendek yang ditulis dalam bahasa Armenia. Oleh orang Yahudi kitab ini diyakini sebagai kitab kuno Yahudi, dijaga dan dihormati sejak berabad-abad lamanya. Kitab Perjanjian Lama terdiri atas 3 (tiga) macam : Taurat, Nebim dan Ketubin. Taurat artinya hukum tertulis (Labeled Law)[3], atau pengajaran (Instruction).[4] Ia juga merupakan kitab Yahudi yang terpenting dan terkenal dengan sebutan Pentateuch (Five), yaitu kitab Kejadian (Genesis), Keluaran (Exodus), Levy (levyticus), Bilangan (Numbers) dan Ulangan (Deuteronomy).[5] Nebim (Prophets), berisi keterangan tentang para Nabi Bani Israil. Dan Ketubin (Writings), berjumlah sebelas buku mengenai aneka ragam karakter, seperti Psalms, Proverbs dan Chronicles.[6]
Hampir seluruh kitab Bibel sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa asing. Penerjemahan awal kitab ini dilakukan dalam bahasa Armenia, bahasa pergaulan orang Yahudi, Palestina dan seluruh kalangan Timur Tengah, sekitar tahun 600 SM. Taurat diterjemahkan ke bahasa Sumeria sekitar tahun 400 SM. Setelah kemenangan Alexander Agung, dan Yunani menjadi bahasa pergaulan seluruh kawasan Laut Tengah di Alexandria, kitab ini diterjemahkan ke bahasa Yunani, sekitar tahun 250 SM. Tahun 150 SM. kitab ini diterjemahkan ke bahasa Siria, Latin (The Vulgate), Ethiopia, Slavia, Persi, Arab dan Saxon. Menurut data, seluruh atau sebagian kitab-kitab Yahudi sudah diterjemahkan ke dalam 1.250 bahasa, dan jutaan kopi telah disebarluaskan ke berbagai penjuru dunia.[7]
Kegiatan penerjemahan secara besar-besaran, satu sisi memang bisa memudahkan sosialisasi kitab-kitab Yahudi, sekaligus ide dan etikanya. Tetapi sisi lain, kegiatan ini akan menimbulkan masalah kebahasaan yang kompleks, penulisan, pengucapan, penerjemahan atau lainnya, yang pada gilirannya akan mengundang kritik para ahli. Seperti kritik Frederick C. Grant terhadap watak bahasa Ibrani (Yahudi), sejarah teks Perjanjian Lama dan kritik lainnya.[8] Untuk itu di sini akan dicoba menjelaskan kritik di atas, dengan kritik menurut istilah Grant sendiri, “kritik ringan” (Lower Criticism), bukan kritik tajam (Higher Criticism). Logika kita ialah karena orang Yahudi itu tetap termasuk penganut kitab suci (ahlu al-Kitab). Maka mencari titik temu (Common Plat-form) antara sesama penganut kitab suci adalah suatu keharusan . Pesan Al-Qur’an :
Dan Kami (Allah) telah turunkan kepada (Muhammad) kitab suci dengan membawa kebenaran, untuk mendukung kebenaran sebelumnya, yang terdiri dari jenis kitab suci, dan sebagai saksi (muhaimin) atas kitab-kitab suci itu (QS 4:48).
“Katakanlah (Muhammad), wahai para penganut kitab suci, mari menuju kepada kalimatun sawa’ (ajaran yang sama) antara kami dan kami (QS 3:64).

Selain kritik, tentunya apresiasi dan respon positif juga harus diberikan kepada agama ini. Bagaimanapun, Yahudi dengan Taurat-nya, Kristen dengan Injil-nya dan Islam dengan al-Qur’an-nya termasuk penganut agama Nabi Ibrahim (Abrahamic religions)[9] yang hanif. Maka mencari pesan-pesan moral agama itu termasuk misi yang mulia juga.

Watak Bahasa Ibrani
Menurut Grant, kitab Perjanjian Lama ditulis dalam bahasa Ibrani, dengan pengecualian, ada beberapa bagian yang diidentifikasikan dalam bahasa Armenia seperti; Ezra 4:8 sampai 6:18; 7:12-26; Daniel 2:4 sampai 7:28, Jeremiah 10:11, dan beberapa kata yang terdapat pada kitab kejadian. Pada masa kuno bahasa Ibrani dan Armenia selalu ditulis dengan menggunakan huruf mati saja, huruf hidup ditandai dengan huruf mati tertentu, yaitu disebut Matres Lictionis. Akhirnya semua huruf hidup dijelaskan dengan huruf yang sama, huruf hidup.[10]
Sebagian huruf tertentu bahasa Ibrani dan Armenia ada kemiripan, baik bentuk dan bunyinya. Pada naskah segi empat (a square script) yang ditulis sekitar tahun 200 SM. misalnya, terdapat beberapa pasang huruf yang berbentuk sama, dan ini dimungkinkan bisa menimbulkan kerancuan bahasa, seperti huruf D dan R, B dan K, H dan Ch, T dan Ch. Beberapa huruf juga mengalami kerancuan bunyi; S yang mempunyai 3 (tiga) bunyi, K dan T juga berbunyi ganda. Transliterasi Inggris teks Masorek Isaiah 3:24 berikut ini menjelaskan penulisan dan pengucapan yang rancu tersebut.

- Instead of sweet spices there will be rottenness,
- And instead of girdle, a rope,
- Instead of well-set hair, baldness,
- And instead of arobe, a girdling of sack-cloth,
- Branding instead of beauty.[11]


Penulisan kata “instead” pada baris terakhir (baris lima) ayat di atas, yang berbeda dari empat ayat lainnya, menunjukkan kerancuan penulisan kitab Perjanjian Lama. Demikian juga kata “branding” pada baris yang sama, ia bisa diucapkan sama seperti huruf K. Kerancauan ini menurut Grant, disebabkan waktu itu banyak kata yang tidak ditulis secara jelas, dan banyak ayat yang tidak ditulis seperti yang ada sekarang.
Bila dicermati, kritik Grant ini hanya terfokus pada masalah teknis kebahasaan, seperti penulisan satu buku dalam dua bahasa yang berbeda, dan menyamakan huruf yang berbeda dalam kajian bahasa, daerah, nasional dan terlebih bahasa asing. Contoh bahasa Arab, huruf “ha” kadang ditranskripsikan dengan “Th” atau “Ts”.

Sejarah Teks Perjanjian Lama
Anggapan bahwa Yahudi termasuk kelompok agama dengan banyak kitab suci, ternyata bukan sekedar mitos, tapi suatu kenyataan sejarah. Ini terbukti dari banyaknya kitab Perjanjian Lama yang ditemukan dan ditulis antara tahun 100-100 SM. Atau tahun berikutnya, baik yang sudah berupa manuskrip lengkap, atau yang masih pragmentaris. Meski secara jujur diakui, tak satu pun kitab-kitab yang ada itu ditulis dalam bentuknya yang asli (not a single book has come down to the present in it origial). Kitab itu antara lain adalah “Gulungan Laut Mati” (Dead Sea Scrolls), manuskrip pertama yang ditemukan di gua Wadi Qumran, Wadi Murabbat dan daerah padang pasir Palestina. Sekitab abad I dan II SM, gulungan atau lembaran kecil kitab Perjanjian Lama selain Esther juga berhasil ditemukan.
Pada abad II SM., ditemukan teks Masorete, yang berarti orang yang memegang teguh tradisi (one who hands down the tradition). Teks ini menjadi obyek studi para sarjana Bibel yang hidup antara abad ke 6 sampai 10 M. Para Sarjana ini bukan golongan kritikus teks yang kritis, tapi pengawal tradisi Bibel yang baik, khususnya yang berkaitan dengan bacaan.[12]
Dari Masorete lahir dua keluarga utama, yaitu Bani Asher dan Bani Naptahuli. Dua dari lima generasi Bani Asher adalah orang-orang terkenal, seperti Musa bin Asher dan Aaron bin Musa bin Asher. Teks Bani Asher dipandang sebagai teks yang paling otentik setelah diperkenalkan oleh Maimonides (Musa bin Maimon).[13] Pada abad XII, dan diyakini sebagai teks paling tua waktu itu di kalangan sarjana modern. Teks yang juga digunakan bertahun-tahun di Sinagoge Aleppo (Siria), saat ini menjadi koleksi perpustakaan Universitas Yahudi Yerusalem. Ia juga menjadi referensi penulisan kritis kontemporer tentang masalah Yahudi.
Jelas, dari sejarah teks ini bisa dipahami bahwa antara penulisan kitab Perjanjian Lama mutakhir dan manuskrip-manuskrip yang menjadi acuan kajian kontemporer dibutuhkan waktu ribuan tahun atau lebih. Dalam rentang waktu yang panjang inilah menurut Grant, teks-teks itu disalin dan ditulis ulang dengan tangan. Teks yang ditulis dengan mesin ketik saja bisa salah, apalagi yang ditulis dengan tangan, kemungkinan terjadi kesalahan adalah sesuatu yang tak terelakkan. Kesalahan ini bisa dilihat pada bagian kitab Yahudi yang memuat materi yang sama dalam dua empat yang berbeda. Contoh, ayat Gulungan Laut mati Isaiah adalah : “For instead of beauty (there will be) shame”.
Ayat tersebut juga disebutkan pada teks Masorete Isaiah di atas, hanya ditambah kata “shame” saja. Contoh lain bisa dilihat pada Samuel II 22 pada Psalms 18, Isaiah 13-39 dan King II 18:13-12:19. Ternyata studi sejarah teks Perjanjian Lama sangat kompleks, dan kompleksitas ini tidak membantu banyak untuk menemukan dan menghasilkan studi tentang teks Perjanjian Lama yang asli.[14]

Problem Teologis
Ada kritik teologi yang dikedepankan Suhairi Ilyas, dengan mengutip isi kitab Levy dan Talmud Kutipannya : “…….diceritakan bahwa Tuhan itu sesungguhnya banyak, akan tetapi Bani Israil mempunyai seorang Tuhan khusus untuk mereka ….. agama Yahudi mengakui adanya satu Tuhan bagi mereka di samping umat lainnya pun mempunyai Tuhan masing-masing…..”.[15]
Bila dicermati, pemikiran di atas mengindikasikan pemikiran yang dikotomis, satu sisi agama Yahudi dianggap politeistik (musyrik), tapi sisi lain ia diakui secara jujur sebagai agama yang monoteistik. Pengakuan yang jujur ini memang sejalan dengan semangat agama Yahudi yang berciri monoteistik radikal, yang menurut Max Weber diakui sebagai agama “monoteisme murni” (a strict monotheism in principle).[16]
Hal ini bisa dikonfirmasikan pada ajaran Musa, yang menurut sebagian Yahudi Ortodok (Orthodox Jews) berasal langsung dari Tuhan (the direct word of God)[17], seperti percaya kepada eksistensi Tuhan, keesaan Tuhan, Tuhan tidak berbentuk dan keabadian Tuhan, yang semuanya mengisyaratkan prinsip-prinsip tauhid yang ekstrim dan radikal. Soal nama Tuhan Yahudi yang biasa disebut "Tuhan Yahweh" (Yahwistic God)[18], tentunya sebutan ini tidak mengurangi semangat ketuhanan Yahudi yang murni dan ekstrim. Hal ini hanya berkaitan dengan pemberian nama saja terhadap “Hakekat Tertinggi” yang menaungi hidup manusia, yang kepada-Nya ia merasa tergantung dan membina sikap batin khusus.[19] Apa diberi nama Gusti Allah, Gusti Pengeran, Wise Lord, Kenyataan Akhir, Sommum Bonum, Mysterium Tremendum at Fascinans, atau nama lainnya, semua itu, tidak menjadi masalah, hanya masalah nama saja.
Sebagai contoh, Allah orang Arab sebelum Islam (masa Jahiliyah) berbeda dari Allah orang Islam sekarang, karena Allah orang sebelum Islam, antara lain mempunyai anak dan serikat, yang semuanya minta dilayani dalam bentuk sajian dan kepatuhan manusia,[20] Al-Qur’an sendiri menyebutkan bahwa orang Arab jahiliyah juga percaya kepada Allah sebagai satu-satunya pencipta alam semesta dengan seluruh isinya. Tapi mereka mempunyai pengertian khusus tentang apa atau siapa hakekat Allah yang mereka percayai itu, dan masih menyembah yang lain juga, yaitu berhala yang mereka anggap bisa menjadi perantara kepaa Allah (Q.S. 39:3).
Pembedaan pemberian nama Tuhan ini bila diletakkan pada perspektif yang lebih jauh, mengisyaratkan adanya dua kelompok aliran teologi dalam merespon semangat keagamaan. Yaitu kelompok yang sering disebut dengan terma status qua, ekslusif, anti perubahan. Kelompok neo-Revivalis dan neo-Modernis meminjam istilah Masdar F. Masudi.[21] Ortodok atau ultra ortodok dan progressif atau liberal menurut Douglas Charing untuk orang Yahudi.[22] Atau kelompok skriptualis dan substansialis menurut terminologi Willian Liddle.[23] Di kalangan internal Islam Indonesia, kelompok pertama diwakili Daud Rasyid dengan madzhab media dakwahnya, sementara kelompok kedua diwakili Nurcholish Madjid dengan madzhab Paramadina. Dan polemik antar dua madzhab teologi ini sempat mewarnai banyak pemberitaan media cetak beberapa tahun lalu.
Seharusnya kita memberikan apresiasi dan respon positif terhadap agama Yahudi karena monoteismenya yang murni itu. Meski Islam juga menganut paham monotheisme murni, tapi kemurnian monotheisme Islam telah terkontaminasi ketika ia diterjemahkan pada konteks sosiologis. Yaitu adanya kultus terhadap orang-orang yang dipandang suci seperti wali (the pious).[24] Tentunya tengara Weber ini perlu diberi notasi khusus sebagai bahan mengacu diri umat Islam. Jadi benar kata Bakker bahwa formalisme agama hanya akan membuat seseorang terasing dari konsep agamanya yang paling dasar.[25]

Catatan Akhir : Agama Etis
Yahudi disifati sebagai agama yang etis (ethical religion), dan bukan agama mitos (mytical religion).[26] Artinya, prinsip-prinsip etika dijunjung tinggi oleh agama ini. Prinsip etika itu diformulasikan dengan bangunan kata yang terkenal, “Sepuluh perintah Tuhan” (Ten Commandements, al-Washaya al-Asyar). Diawali kata yang menarik “jangan”/negasi dan “harus”/imperasi. Di antaranya ialah jangan salah mengidentifikasikan Tuhan/jangan membunuh, berzina dan mabuk-mabukan. Jangan bernafsu untuk memiliki rumah saudara, istri, pembantu, rumah, kendaraan dan binatang piaraan. Berbuatlah baik
kepada perabot ribuan orang yang Tuhan kasihi.[27]
Formula etika ini sejalan dengan sistem pemikiran agama Yahudi yang bersifat universal. Bahwa prinsip etika Yahudi bisa diadopsi dan diartikulasi oleh setiap kelompok etnis apapun. Atau istilah yang lebih teknis ialah prinsip etika Yahudi bisa merangkul seluruh umat manusia ( Its ethical prinsiples embrace all mankinds ). Seperti pengobatan massal, pembuatan patung polisi, pemberian bingkisan lebaran atau kegiatan sosial lainnya, yang sering dilakukan oleh organisasi sosial elite seperti Lion Club, atau Rotary Club. Bila diindikasikan benar organisasi itu merupakan jaringan Yahudi, maka hal itu harus dipahami dalam konteks sistem etika Yahudi yang berdimensi global itu.
Sistem etika dalam wacana Yahudi ini seharusnya ditempatkan dalam kerangka pikir bahwa Yahudi merupakan kerajaan orang-orang mulia (a kingdom o priests) bangsa suci (a holy nation), dan pengawal monotheisme murni ( the custodian of pure monotheism ). Sebagai pengawal monotheisme, kompromi Yahudi hanya diberikan kepada yang bersemangat tauhid murni, tidak kepada sistem hukum, ritual, upacara keagamaan atau ikatan kesejarahan yang khusus. Sekalipun kepada para pendukungnya, yaitu orang-orang Graeco Roman dan agama anak perempuannya, Kristen dan Islam; yang telah membantu memenangkan keadilan Tuhan, kasih sayang dan kesucian dari paganisme. Esensi konsepsi Yahudi sebagai pengawal kemurnian tauhid ini tidak dimaksudkan bahwa merekalah yang paling berhak memonopoli kebenaran Tuhan, tapi lebih sebagai pengawal tauhid yang diangkat Tuhan demi kepentingan umat manusia.[28]
Mengikuti sejarah yang ada, memang sikap Yahudi terhadap agama-agama lain terkesan unik dan khas. Prinsip hukum agama yang keras, yang lahir dari sejarah Israel disebabkan adanya keharusan menjadi umat terhormat, tapi tidak untuk menyelamatkan manusia secara universal. Karena menurut pemikiran para Rabbi, Tuhan telah membuat perjanjian dengan seluruh ras manusia yang mendahului perjanjian denagan Israel. Dalam perjanjian itu telah diberikan dasar-dasar keyakinan manusia yang universal, yang digambarkan sebagai hukum-hukum anak-anak Nuh ( Laws of the children of Noah ). Hukum agama atau prinsip-prinsip etikanya secara mendasar berwatak sama, tidak berbeda dari prinsip etika agama yang datang kemudian, dimana Israel ditakdirkan untuk membangunnya di bawah panji-panji kenabian. Dan ini merupakan tahap awal dalam evolusi agama yang oleh Yahudi digambarkan sebagai puncak keyakinan manusia. Para rabbi secara mengesankan merekontruksi hukum-hukum anak Nuh dalam kacamata paganisme, dengan membuat peraturan yang bertujuan membimbing umat terhindar dari tingkah laku yang merusak dan unsur-unsur paganisme itu.
Untuk itu mereka diminta berhenti menyembah berhala, menghina Tuhan, berbuat tidak senonoh dengan saudara, membunuh, mencuri, berlaku kejam terhadap binatang yang masih hidup, yang semuanya mengisyaratkan persepsi moral yang negatif. Perjanjian yang memberikan rasa keadilan ini merupakan yang ketujuh dari perintah final Tuhan tentang sistem kepercayaan universal. Para rabbi mengajarkan bahwa tatanan dunia yang bermoral harus tetap ditegakkan, dan kemanusiaan yang beradab harus selalu dipertahankan dalam kondisi yang bagaimanapun. Menjadi kewajiban orang-orang yang terhormat untuk membimbing umat kepada ketinggian akhlak dan kesempurnaan agama.[29]
Semua ini bisa dicapai karena Yahudi tidak pernah mengembangkan agamanya dengan cara paksa dan kekerasan. Masalahnya, dorongan batin akan ajaran tertentu, yang menjadi kunci satu-satunya untuk keselamatan manusia, tidak mesti memadai, karena jalan menuju keselamatan selalu terbuka bagi siapa saja yang mempunyai standar keyakinan universal. Konversi formal umat dunia kepada Yahudi adalah bukan bagian dari rencana Tuhan, tapi lebih merupakan fungsi atau tugas orang-orang yang terhormat. Yang dengan hidup dan karyanya, mereka membangun standar moral dan agama yang mampu mengundang daya tarik umat menuju jalan kesempurnaan moral dan jalinan yang lebih dekat dengan Tuhan.[30]

[1] Douglas Charing, Comparative Religions, (New York: Blanford Press, 1982), 86
[2] Frederick C. Grant, Encyclopedia Americana, Vol. 3, (Canada: Gralier Limited, 1977), 647
[3] Ibid., 648
[4] Charing, Comparative, 89
[5] Maurice Bucaille, The Bible, Tehe Qur’an and Science, (Dakka: The Gorviment Press, 1985), 22
[6] Charing, Comparative, 89.
[7] Grant, Encyclopedia, 648.
[8] Ibid.
[9] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta:Paramadina, 1992), 48
[10] Grant, Encyclopedia, 658
[11] Ibid., 660
[12] Ibid.,
[13] Abraham A. Neuman, The Great Religions in The Modern World, (New Jersey: Prunceton Press, 1946), 237
[14] Grant, Encyclopedia, 600.
[15] Panji Masyarakat No. 328 Tahun (1985), hal….?
[16] Max Weber, The Sociology of Religion, (Boston: Beacin Press, 1964), 138
[17] Charing, Comparative,Loc. cit.
[18] Trevor Lingkungan, A History of Religion, East and West, (London: MacMillan Pres, 1968), 72
[19] JMW. Bakker, Agama Asli Indonesia, (Jakarta: Sinar Harapan Press, 1982), 12
[20] Ulumul Qur’an, No. 1 Tahun (1993), hal…..?
[21] Ibid.
[22] Charing, Comparative,….?
[23] Ulumul Qur’an, hal…..?
[24] Weber, Sociology, 139
[25] Bekker, Agama Asli, 14
[26] Ling, A History,
[27] Mahmud Abu al-Faidz, Ad-Dinu al-Muqoron, (Kairo: Dar an-Nahdhah, tt.), 659
[28] Neuman, The Great Religion, 228
[29] Ibid.
[30] Ibid.

Kamis, 28 Februari 2008

KEBAHAGIAAN (Studi Kritis Terhadap Aliran Filsafat Mengenai Konsep Kebahagiaan)

Oleh : Muktafi Sahal
Abstrak: Kebahagiaan dalam kajian filsafat telah mengkristal menjadi aliran seperti Hedonisme, Utilitarisme, Stoisisme dan Deontogi. Hedonisme adalah aliran filsafat yang memandang kesenangan (hedone) sebagai tujuan pokok bagi kehidupan ini, tetapi yang dimaksud adalah kesenangan sebagai perangsang intelek manusia. Orang yang bijakasana selalu mengusahakan kesenangan sebanyak-banyaknya dan menghindari penderitaan. Utilitarisme memandang baik dan buruk segala perbuatan manusia dipandang dari sudut besar kecilnya manfaat bagi manusia, dipandang dari sudut kuantita, besar kecilnya manfaat. Yang dimaksud manfaat ialah kebahagiaan untuk jumlah manusia yang sebesar-besarnya. Stoisisme mengatakan kalau manusia mencari kebebasan janganlah ia mencoba mencari dengan berusaha meloloskan diri dari kodratnya, tetapi dengan jalan bekerja dan bertahan diri. Manusia yang berpikir dan berbuat secara stoa dapat dikatakan benar-benar merdeka. Persesuaian kemauan manusia dengan kemauan Tuhan, sebagai pelaksanaan hukum kausal-alamiah bukan syarat bagi merdeka sebenar-benarnya, tetapi juga syarat untuk memperoleh kesenangan hidup. Deontologi menyatakan, yang bisa disebut baik dalam arti sesungguhnya hanyalah kehendak yang baik. Perbuatan dapat dianggap baik jika dikendalikan oleh kehendak yang baik. Menurut Kant: kehendak menjadi baik jika bertindak karena kewajiban.

Kata Kunci: Kebahagiaan, Hedonisme, Utilitarisme, Stoisisme dan Deontologi.
Kebahagiaan: Tujuan Aktifitas Manusia
Aristoteles menyatakan, bahwa setiap tindakan mempunyai tujuan-tujuannya. Tetapi ada dua macam tujuan; tujuan yang dicari demi sesuatu tujuan selanjutnya dan tujuan yang dicari demi dirinya sendiri. Misalnya tujuan kepandaian dalam ilmu kedokteran itu sendiri hanya demi tujuan selanjutnya, yaitu orang sakit supaya disembuhkan. Menurut Aristoteles tak mungkinlah semua tujuan kita cari demi tujuan lain lagi. Akhirnya mesti ada tujuan yang dicari demi dirinya sendiri. Tujuan itulah yang kita sebut baik pada dirinya sendiri. Maka untuk mengetahui bagaimana sebaiknya kita bertindak, perlu menemukan apa yang menjadi tujuan pada dirinya sendiri. Menurutnya, apa yang dicari demi dirinya sendiri hanyalah satu, yaitu kebahagiaan (eudaimonia).[1]
Dengan mengikuti pendapat Aristoteles di atas, berarti sama halnya dengan kita mengatakan bahwa kebahagiaan adalah motif terdasar dari segala sesuatu yang kita kerjakan. Bagaimanapun juga segala perbuatan manusia, baik yang aktif maupun yang pasif sebenarnya tujuannya hanyalah satu, yaitu kebahagiaan.
Setiap perbuatan kita digerakkan oleh keinginan. Pemuasan keinginan tersebut dituju dan dikehendaki paling sedikit sebagai suatu unsur dalam keseluruhan kebahagiaan kita. Oleh karena itu maka, apa sebenarnya yang dinamakan kebahagiaan ? apakah kebahagiaan itu dapat dicapai ? bagaimana cara memperolehnya ? bagaimana tanda-tanda orang yang memperoleh kebahagiaan ? apakah tujuan dari pengetahuan tentang baik dan buruk dalam relevansinya dengan kebahagiaan kita? Apakah kebahagiaan sempurna itu dapat dicapai di dunia ini? Apa yang disebut kebahagiaan pribadi dan apa pula kebahagiaan bersama?.
Beberapa pertanyaan berangkai di atas, maka persoalan kebahagiaan telah menjadi masalah yang unik dalam kehidupan manusia, utamanya untuk memberikan standar yang pasti tentang apa yang dinamakan kebahagiaan dan bahkan istilah kebahagiaan seringkali terpakai dalam beberapa kata yang kurang konkrit dan parsial sifatnya. Oleh karena itu timbul sengketa di wilayah sekitar makna dan pemakaiannya, sehingga menimbulkan beberapa aliran yang khusus membahas masalah kebahagiaan dari segala sudut dan bentuknya, sebagaimana akan diterangkan berikut ini.

A. Hedonisme
Di dalam filsafat Yunani kuno, tokoh pertama yang dikenal mengajarkan Hedonisme (hedone = kesenangan) ialah Demokritos (400-370 sM), yang memandang kesenangan sebagai tujuan pokok di dalam kehidupan ini. Yang dimaksudkan bukanlah kesenangan fisik, tetapi kesenangan sebagai perangsang bagi intelek manusia.
Pengikut Sokrates, Aristippus (w. _+395 sM) mengajarkan bahwa kesenanganlah yang merupakan satu-satunya nilai yang ingin dicari manusia. Yang dimaksudnya dengan kesenangan ialah rasa senang yang diperdapat langsung melalui panca indera. Orang yang bijaksana selalu mengusahakan kesenangan sebanyak-banyaknya. Kesenangan itu baginya merupakan pengalaman yang lunak, sebab kekerasan dipandangnya menimbulkan rasa sakit.[2]
Contoh yang terkenal dari aliran hedonis ini ialah etika kaum Epikurus (341-270sM). Menurut pengalaman, kata Epikurus, semua manusia ingin mencapai kelezatan dan juga hewan ingin mencapai kelezatan. Dan semuanya didorong oleh watak (tabiat) manusia dan bukan disebabkan pelajaran atau pemikiran akal. Karena itu teranglah, yang menentukan keinginan manusia itu bukanlah akal, akan tetapi natur (fitrah) manusia. Oleh karena sudah nature atau fitrah manusia ingin kepada kelezatan itu, maka diteruskan bahwa tujuan manusia adalah mencari kelezatan.
Kaum hedonis menganggap bahwa perbuatan yang baik adalah perbuatan yang menimbulkan hedone (kenikmatan). Karena kelezatan itu merupakan tujuan, maka semua jalan yang menyampaikan kepadanya adalah sesuatu yang utama (berharga). Akal, pengetahuan serta kebijaksanaan dianggap sebagai keutamaan karena mereka juga merupakan jalan menuju kelezatan itu.[3]
Pendapat kaum Epikurus tentang kelezatan atau kebahagiaan ini secara ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Epikurus berpendapat bahwa kebahagiaan atau kelezatan itu ialah tujuan manusia. Tidak ada kebaikan dalam hidup selain kelezatan dan tidak ada keburukan kecuali penderitaan. Dan etika itu tidak lain selain dari berbuat untuk menghasilkan kebahagiaan.
2. Epikurus berpendapat bahwa kelezatan akal dan rokhani itu lebih penting dari kelezatan badan, karena badan itu berasa dengan lezat dan derita selama adanya kelezatan dan penderitaan itu saja, dan badan itu tidak dapat mengenangkan kelezatan yang telah lalu, tidak dapat merencanakan kelezatan yang akan datang. Adapun akal itu dapat mengenangkan dan merencanakan dan karenanya kelezatan akal itu lebih lama dan lebih kekal. Akal itu mengikuti badan dalam kelezatannya, waktu merasakan kelezatan dan ditambah dengan kelezatan kenangan dan kelezatan rencana.
3. Golongan Epikurus menginginkan kelezatan negatif lebih banyak dari pada kelezatan positif. Mereka memaksudkan dengan kelezatan negatif ialah sunyi dari penderitaan. Mereka tidak memperhatikan benar-benar kepada sangatnya lezat dan rasanya yang menyala-nyala, akan tetapi perhatian mereka yang terbesar ditujukan ke arah kelezatan negatif, seperti ketentraman akal dan ketenangan, dan jauh dari apa yang menyebabkan kegoncangan.
4. Golongan Epikurus berpendapat bahwa kebahagiaan itu tidak tergantung kepada banyaknya kebutuhan dan kecenderungan, bahkan kebanyakan itu menjadikan sukar untuk menghasilkan kebahagiaan. Oleh karenanya wajib bagi kita untuk memperkecil kebutuhan dan keinginan kita sedapat mungkin.[4]
Kelezatan masih tetap menjadi norma perbuatan baik. Tetapi kesenangan di sini tidak meliputi kesenangan badaniah, sebab kesenangan jenis ini akhirnya akan menimbulkan rasa sakit. Senang bagi Epikurus berarti tidak adanya rasa sakit di dalam badan dan tidak ada kesulitan-kesulitan jiwa. Puncak kesenangan baginya ialah ketenagan jiwa. Jiwa dapat meninjau kembali peristiwa yang menyenangkan masa lampau dan juga mungkin yang akan datang. Jiwapun dapat mengatasi keterbatasan tubuh manusia. Biarpun badan sakit, namun jiwa mungkin dapat mengatasinya dengan memusatkan pikiran kepada hal-hal yang lain. Jiwa dapat mengalami rasa sakit yang lebih berat dari pada badan seperti yang kelihatan pada orang yang sakit jiwa. Oleh sebab itulah harus diusahakan supaya jiwa jangan sampai terganggu dan sakit.[5]
Dari jurusan ini Epikurus melihat bahwa kelezatan itu adalah ketentraman jiwa. Ketentraman jiwa ini tidak akan tercapai tanpa keseimbangan badan. Tidak ada keseimbangan badan itulah yang menyebabkan timbulnya keinginan-keinginan manusia kepada kelezatan. Tetapi dari pengalaman ternyata bahwa badan manusia itu keadaannya selalu berubah-ubah dan tidak pernah sungguh-sungguh berada dalam keseimbangan. Dengan begitu Epikurus lalu membuat keseimbangan lain, yaitu keseimbangan rokhani yang menimbulkan kelezatan rasional atau kelezatan rokhani yang bersandar pada keseimbangan jiwa dan akal manusia.
Kaum hedonis modern memilih kata kebahagiaan untuk kesenangan. Menurut Aristippus, kesenangan itu berkat gerakan yang lemah gemulai. Sedangkan rasa sakit berkat gerakan kasar. Kesenangan intelektual mungkin lebih tinggi, tetapi kesenangan panca indera lebih dalam (lebih intensif). Sesuatu perbuatan disebut baik sejauh menyebabkan kesenangan, memberi kenikmatan. Kebajikan berguna untuk menahan kita jangan jatuh ke dalam nafsu yang keterlaluan, yakni gerakan kasar, jadi tidak menyenangkan. Sesuatu adalah baik bila akan menambah kesenangan kita dan buruklah hal yang mengurangi kesenangan. Kesenangan intelektual lebih baik karena lebih tahan lama, tetapi kita tidak merasa cukup tanpa kesenangan-kesenangan indrawi. Orang yang bijaksana mengatur hidupnya sedemikian rupa sehingga dapat mencapai kesenangan sebanyak-banyaknya dan kesedihan sedikit-sedikitnya.[6]
Demikianlah pandangan Hedonisme tentang kelezatan, kenikmatan atau kebahagiaan. Aliran ini lebih dekat mengartikan kebahagiaan pada bentuk-bentuk lahiriyah, yakni kelezatan, kenikmatan dan sebagainya. Akal dijadikan alat supaya dapat mengantarkan kepada kelezatan itu, mengenang dan merencanakannya di masa yang akan datang. Inilah fakta moral yang dirancang hedonisme agar manusia dapat merasakan kelezatan itu dalam waktu yang relatif lama, yang melampaui perasaan lezat pada badan ketika ia merasakan kebahagiaan.

B. Utilitarisme.
Secara historis aliran ini terbit dari hedonisme. Hume dalam suatu tulisannya yang terkenal, menolak gagasan kontrak sosial sebagai suatu takhayyul dan menganjurkan supaya tidak ada ukuran legitimasi dalam masyarakat untuk selain dari pada kegunaan. Bacaan tentang inilah yang memberikan inspirasi pada Jeremy Bentham (1748-1832) untuk menulis karyanya “Fragment on Government” (1776), suatu karya yang berusaha memperkenalkan akal sehat dan metode ilmiah dalam pembahasan masalah negara.
Bentham menterjemahkan optimisme ini ke dalam bahasa filsafat moral. Premis Bentham cukup sederhana, yaitu Hedonisme Psikologis. Manusia mencari kesenangan dan menghindarkan rasa sakit, dan itulah satu-satunya fakta moral yang tunggal.
“Alam telah menempatkan manusia di bawah kekuasaan dua majikan, yaitu sakit dan senang. Mereka menguasai kita dalam segala tindakan, ucapan dan dalam segalanya yang kita pikirkan. Setiap usaha kita untuk melepaskan diri dari kekuasaan tersebut, hanya akan membuktikan dan membenarkan kenyataan itu. Dalam perkataan, manusia mungkin berpura-pura mengutuk kekuasaan tersebut, tetapi dalam kenyataan dia tetap tunduk selamanya”.
Bentham mengubah dengan segera pengamatan ini menjadi suatu prinsip yang mengatakan bahwa hanya demi kesenangan dan rasa sakit “kita menyatakan apa yang harus kita lakukan dan menentukan apa yang kita lakukan”. Dari pernyataan ini selangkah pendek saja lagi kita sampai pada azas kegunaan (utility) yang terkenal itu. Azas ini menyatakan bahwa “kebahagiaan yang paling besar dari semua mereka yang kepentingannya dipersoalkan” adalah tujuan tindakan manusia sebagai satu-satunya tujuan yang benar dan pantas serta didambakan secara universal.[7]
Utilitarisme adalah aliran yang memandang baik dan buruknya segala perbuatan manusia itu ditinjau dari sudut pandang kwantita, kecil besarnya manfaat bagi manusia. Adapun yang dimaksudkan dengan manfaat di sini adalah suatu kebahagiaan untuk jumlah manusia yang sebesar-besarnya (utility is happiness for the greatest number of sentient being).[8]
Jadi tujuan aktifitas hidup manusia menurut aliran ini adalah kebahagiaan yang paling besar bagi jumlah terbesar orang (the greates happiness of the greatest number).
Keuntungan besar yang nampak dari azas ini ialah bahwa prinsip tersebut memungkinkan etika untuk dapat dipahami secara kuantitatif. Kita dapat membayangkan satuan dari kesenangan dan penderitaan—untuk dinilai dalam konteks intensitas, lamanya, kepastiannya, persamaannya dan sebagainya—untuk mengukur satu tindakan terhadap tindakan yang lain.[9]
Bentham mengatakan bahwa kesenangan dan kesedihan perorangan adalah bergantung kepada kebahagiaan dan kemakmuran pada umumnya dari seluruh masyarakat.[10] Perbuatan-perbuatan yang menimbulkan rasa senang adalah baik dan yang menyebabkan rasa sakit adalah buruk. Kedua jenis perasaan inilah yang menentukan apakah yang dipikirkan, dikatakan dan diperbuat manusia. Manusia itu adalah makhluk yang mencari kesenangan dan mengelakkan rasa sakit. Perbuatan yang sesuai dengan prinsip utility akan meningkatkan kebahagiaan seseorang dan juga kebahagiaan masyarakat.[11]
Aliran Utilitarisme mencapai perkembangan sepenuhnya dalam diri John Stuart Mill (1806-1873). Mill mengatakan bahwa kesenangan itu berbeda dalam kualitas dan juga berbeda dalam kuantitas. Tujuan perbuatan manusia dan ukuran moralitas adalah hidup bebas dari kesedihan dan sekaya-kayanya dalam kesenangan, baik dalam kualitas maupun kuantitasnya. Seterusnya Mill berkata bahwa kebajikan tidaklah berlawanan dengan kebahagiaan. Kebajikan adalah salah satu unsur yang membuat bahagia.[12] Kebahagiaan terdiri dari kebiasaan-kebiasaan yang moral baik.
Sikap etis yang wajar ialah menghitung-hitung dengan cermat rasa senang dan jumlah rasa sakit sebagai hasil perbuatan untuk kemudian mengurangi jumlah rasa sakit dari pada jumlah rasa senang. Kalau rasa senang lebih banyak dari pada rasa sakit, maka perbuatan itupun dapat dinilai baik. Perhitungan jumlah rasa senang dan jumlah rasa sakit ini dikenal dengan nama “hedonistic calculus” dapat dilakukan, sebab Bentham melihat tujuh unsur atau dimensi dari nilai-nilai rasa sakit dan rasa senang sebagai berikut.
1. Intensity (kuat lemahnya perasaan sakit atau senang)
2. Duration (lama atau pendeknya waktu berlakunya rasa senang itu)
3. Certainty (kepastian akan timbulnya perasaan itu)
4. Propinguity (dekat-jauhnya dalam waktu terjadinya perasaan itu)
5. Facundity (kemungkinan perasaan itu diikuti oleh perasaan yang sama)
6. Purity (kemurnian, tidak bercampurnya dengan perasaan yang berlawanan)
7. Extent (jumlah orang yang akan terkena oleh perasaan itu).[13]
Enam unsur pertama mengenai perbuatan yang menimbulkan rasa senang atau rasa sakit dari orang per orang, tetapi unsure ke tujuh khusus mengenai orang lain yang terkena oleh rasa senang sebagai akibat dari perbuatan seseorang. Dengan unsur ke tujuh ini etika yang individualistik berubah menjadi etika sosial sifatnya.
Dengan hedonistic calculus ini Bentham memberikan dasar matematik kepada bidang etika, sebab ke tujuh unsur-dimensi dari rasa senang itu dapat diukur. Etika oleh karena itu akan memberi arah bagi perbuatan-perbuatan manusia. Tiap orang dapat menjumlah rasa senang dan mengurangi rasa sakit untuk mencapai hasil yang akan menentukan, apakah perbuatan itu akan dilakukan atau tidak.[14] Akhirnya Utilitarisme ini adalah sebagai teori teleologis universalis. Teleologis karena mengukur betul-salahnya tindakan manusia dari manfaat akibatnya. Utilitarisme bersifat universalis karena yang menjadi norma moral bukanlah akibat-akibat baik bagi si pelaku sendiri saja, melainkan akibat-akibat baik di seluruh dunia. Kita harus memperhatikan kepentingan dari semua orang yang akan terpengaruh oleh tindakan kita, termasuk kita sendiri. Maka dengan demikian Utilitarisme mengatasi egoisme dan membenarkan bahwa pengorbanan dari kepentingan atau nikmatnya sendiri demi orang lain dapat merupakan tindakan yang paling tinggi nilai moralnya.[15]
Utilitarisme hanya menuntut maksimalisasi dari akibat-akibat baik, sedangkan apa yang dianggap baik dapat berbeda-beda. Maka ada utilitarisme egois dan ada juga yang eudomonis atau pluralis, artinya mengenai pelbagai hal yang bernilai pada dirinya sendiri, bukan hanya satu saja.[16] Namun demikian sejak lebih dari tiga puluh tahun dibedakan
dua macam utilitarisme yang memang berlainan, yakni utilitarisme
tindakan dan utilitarisme peraturan.
a. Utilitarisme tindakan. Kaidahnya dapat dirumuskan bertindaklah sedemikian rupa, sehingga tindakanmu itu menghasilkan suatu kelebihan akibat-akibat baik di dunia yang sebesar mungkin dibandingkan dengan akibat-akibat yang buruk
b. Utilitarisme peraturan. Berbeda dengan utilitarisme tindakan, maka utilitarisme peraturan kaidahnya dapat dirumuskan: bertindaklah selalu sesuai dengan kaidah-kaidah yang penetapannya menghasilkan kelebihan akibat-akibat baik di dunia yang sebesar mungkin dibandingkan dengan akibat-akibat buruk.[17]
Pada kaidah pertama (utilitarisme tindakan), kaidah macam itu ternyata makin lama makin diserang, sehingga hampir tidak ada lagi yang membelanya. Alasannya bukan hanya bahwa kiranya orang tidak dapat hidup sama sekali tanpa peraturan, tetapi bahwa setiap pernyataan moral mengandung unsur bahwa harus diulangi dalam situasi yang sama, walaupun barangkali akibat-akibatnya berlainan. Hal ini dapat dihayati dari contoh berikut ini : “seorang ibu mau mencuri beberapa blek/kaleng daging dari toko makanan besar untuk memberikannya kepada seorang gelandangan”. Apakah ibu itu boleh berbuat begitu? Mengingat rugi toko itu kecil sekali. Di lain pihak blek-blek itu amat bermanfaat bagi seorang gelandangan. Utilitarisme tindakan dapat membenarkan pencurian itu, tetapi apakah itu dapat diterima? Bukankah ada bahaya bahwa dengan demikian seluruh keteraturan masyarakat akan goyang?. Bukankah pencurian semacam itu paling-paling boleh menjadi usaha terakhir kalau ibu itu tidak melihat lagi jalan lain untuk mempertahankan nyawa si gelandangan itu (sedangkan utilitarisme tindakan tidak menuntut terpenuhinya syarat itu).
Oleh sebab itu menurut kaidah kedua, yang mencoba memperbaikinya supaya luput dari serangan-serangan itu. Sekarang yang diperhitungkan bukan lagi akibat baik dan buruk dari tindakan itu sendiri masing-masing, melainkan dari peraturan umum yang mendasari tindakan itu. Jadi yang dipersoalkan sekarang adalah akibat-akibat baik dari suatu peraturan andaikata dianggap berlaku umum.
Hal ini menurut Mill terdapat suatu hambatan setelah dipadukan dengan membahas persoalan kebebasan politik (on liberty). Bahwa persoalan politik dapat dipecahkan kalau soal itu dipandang secara negatif. Dalam arti segala pembatasan yang sah dapat dikenakan pada individu. Dan karena kebahagiaan terletak pada pemuasan keinginan, maka kebebasan politik kalau harus merupakan suatu nilai yang sesuai dengan azas utilitas, maka harus ada dalam kebebasan untuk memberi kepuasan pada keinginan. Namun orang mungkin menginginkan melakukan sesuatu yang merintangi pemuasan keinginan orang lain. Azas mana yang harus digunakan dalam memberikan pengesahan antara keduanya? Atau tidak perlu ada azas itu? Hanya perjuangan kodrat untuk berkuasa.
Tampaknya bagi Mill pasti harus ada hambatan, tetapi tidak dapat didasarkan hanya atas dasar utilitas, karena itu, tidak akan menuju pada hukum yang tercipta dan tidak ada kepatuhan rakyat pada tatanan yang sudah nyata. Orang dapat saja berbeda pendapat mengenai kepuasan mana yang akan lebih besar atau yang paling menguntungkan untuk jangka panjang.[18]
Demikianlah pandangan Utilitarisme tentang kebahagiaan dalam bentuknya yang lebih mengarah dan hanya diarahkan pada azas manfaat yang dirasakan oleh sebagian besar orang akibat tindakan kita dan kemaslahatan di dunia pada umumnya.

C. Stoisisme.
Pada mulanya stoisis berasal dari nama sekolah yang didirikanDalam filsafat kuno, aliran stoisis langsung berlawanan dengan hedonisme Epikurus. Anthisthenes, sebagaimana juga Aristippus adalah murid Sokrates.
oleh Zeno (336-264). Perkataan stoa diambil dari bahasa Greek, yang berarti ruang (ukiran yang terdapat dalam ruang). Seperti dengan kaum Epikurus, kaum stoa berbicara tentang persoalan-persoalan yang mengarah pada satu titik tujuan dari pada aktifitas manusia sebagai motif terdasarnya, yaitu kebahagiaan. Mereka mengatakan; kalau manusia mencari kebebasan, janganlah ia mencoba mencari dengan berusaha meloloskan diri dari kodratnya, tetapi dengan jalan bekerja dan bertahan diri.[19]
Menurut Zeno kebajikan itu mendorong untuk hidup dalam persesuaian, artinya hidup menurut suatu pedoman yang berdasarkan akal yang sehat. Kalau Clenthes mengatakan “sesuai dengan alam”. Artinya demikian, manusia sebagai bagian dari pada alam raya memiliki nafsu-nafsu asli, yaitu nafsu untuk mempertahankan hidupnya. Nafsu ini pada manusia sudah mempunyai sifat kerokhanian, dan berupa nafsu mempertahankan akalnya, sebab akal manusia adalah “aku”nya. Jadi sesuai dengan alam di sini berarti sesuai dengan dirinya sebagai makhluk yang mempunyai akal sehat, tetapi disamping itu juga sesuai dengan tata pada alam semesta. Jadi sesuai dengan akal ketuhanan.[20]
Alam semesta ini terdiri dari pada benda yang kecil sekali dan yang besar. Semuanya itu dikuasai oleh suatu tenaga, suatu kemauan saja. Dengan pendapat semacam itu kaum stoalah yang pertama kali mengatakan bahwa segala sesuatu yang terjadi di dalam alam ini dikuasai oleh hukum kausalitas.
Apa yang terjadi, berlaku sebagai gerak. Tiap-tiap gerak ada yang menyebabkan ia bergerak. Suatu kebetulan tidak ada. Segala yang terjadi, bergerak sebagai suatu kemestian yang tidak dapat diubah. Dasar kemestian yang tidak dapat diubah itu dikemukakan oleh kaum stoa dalam segala bidang penghidupan. Dalam paham kaum stoa, merdeka dan mesti adalah dua serangkai. Budi hidup yang setinggi-tingginya ialah hidup menurut hukum alam.[21] Yang dinamakan orang yang sempurna ialah seorang yang benar-benar bijaksana, tidak ada orang lain sebebas, sekaya dan sebahagia dia.[22] Kesadaran yang tepat pada seseorang, terutama pada seorang yang bijaksana adalah sebab tindakannya. Manusia yang hidup menurut kesadaran yang tepat –menurut alamnya—akan sehat hidupnya. Manusia yang khilaf --yang hidup menyimpang dari alam yang semestinya itu –akan sakit. Berbuat jahat dan berbuat salah dapatlah diapandang sebagai penyakit, sebagai penyelewenangan dari pada norma alam.[23] Oleh sebab itu seseorang baru dikatakan bijaksana, kalau ia tidak berbuat satu dosapun. Dosa yang bagaimanapun kecilnya akan membuat seseorang bijaksana menjadi seorang “tolol”.[24] Kesadaran yang tepat itu –yaitu kemestian—menjadi dasar yang tertinggi dari pada alam, kosmos seluruhnya. Kesadaran Tuhan menyusun semuanya dalam keadaan sempurna, tepat menurut tujuannya dan dalam keadaan indah. Sebab itu manusia yang hidup menurut alamnya adalah merdeka sepenuh-penuhnya. Yang dimaksud merdeka di sini ialah menurut apa kehendak alam, sebab alam berkembang sesuai dengan hukum yang tidak dapat dibelokkan. Mereka mengatakan bahwa tidak ada hal lain yang terjadi kecuali apa yang sungguh-sungguh terjadi. Pemberontakan hanyalah reaksi emosional terhadap alam dan hanya membuat dirinya menderita. Alam tetap tinggal tenang meski aku memakinya sekuat tenaga. Bertindak sesuai dengan akal budi yang menunjukkan kepaku hukum alam yang tidak terbelokkan, hanya itulah yang baik. Ini kebajikan. Orang yang berkebajikan tetap tegak berdiri meskipun dunia berantakan di kanan kirinya. Yang hidup dengan alam adalah seorang yang bijaksana atau seorang filosof. Yang tidak sesuai dengan alam adalah orang sinting (a fool).[25]
Oleh sebab itulah filosofi yang sebenarnya dapat disamakan dengan obat mujarab, yang menjernihkan pikiran, menyehatkan pertimbangan dan yang membedakan apa yang layak dituju dan apa yang harus disingkirkan, sehingga manusia dapat mendidik dirinya dengan merdeka sesuai dengan semestinya (alamnya). Demikianlah filosofi membimbing manusia ke jalan kemerdekaan yang benar dan tepat. Sebab itu manusia yang berpikir dan berbuat secara stoa dapat dikatakan benar-benar merdeka. Persesuaian kemauan manusia dengan kemauan Tuhan, sebagai pelaksanaan hukum kausal alamiah, bukan syarat bagi merdeka sebenar-benarnya tetapi juga syarat untuk memperoleh kesenangan hidup.[26]
Jika John Stuart Mill (utilitarisme), mengatakan bahwa kebajikan adalah unsur yang membuat bahagia, maka Anthisthenes, mengajarkan bahwa kebajikan tidak hanya jalan ke arah kebahagiaan, tetapi kebajikan adalah kebaikan, dan tabiat buruk adalah satu-satunya kejahatan, dan hal-hal lainnya adalah indeferen. Kesesatan paling besar adalah bahwa kesenangan itu adalah sesuatu yang baik, sehingga Anthisthenes konon pernah berkata “ aku lebih baik gila dari pada senang “. Hakekat kebajikan adalah self-sufficiency, merdeka, tidak bergantung pada apa dan siapa saja.[27]
Begitulah pandangan stoisisme. Aliran ini menggantungkan diri pada panggilan natur (alam/fitrah) dengan segala keteraturan dan kesempurnaannya. Akal, karena bagian dari pada alam, maka akal merupakan alat yang utama untuk mencari persesuaian dengan alam kosmos seluruhnya. Tuhan sebagai pencipta alam yang telah merancangnya dengan sempurna, maka mencari persesuaian dengan kehendak Tuhan adalah sebagai hukum kausal ilmiah sekaligus sebagai syarat untuk merdeka dan memperoleh bahagia.

D. Deontologi
Yang menciptakan sistem moral ini adalah Immauel Kant (1724-1808). Menurut Kant, yang bisa disebut baik dalam arti sesungguhnya hanyalah kehendak yang baik. Semua hal lain disebut baik secara terbatas atau dengan syarat. Misalnya kesehatan, kekayaan, atau intelengensia adalah baik jika digunakan dengan baik oleh kehendak manusia. Tetapi jika dipakai oleh kehendak yang jahat, semua hal itu bisa menjadi jelek sekali. Bahkan keutamaan-keutamaan bisa disalahgunakan oleh kehendak yang jahat. Sedang, apakah yang membuat kehendak menjadi baik?. Menurut Kant, kehendak menjadi baik, jika bertindak karena kewajiban. Kalau perbuatan dilakukan dengan suatu maksud atau motif lain, perbuatan itu tidak bisa disebut baik, betatapun luhur atau terpuji motif itu. Misalnya kalau perbuatan dilakukan karena kecenderungan atau watak, perbuatan itu secara moral tidak baik. Bagi Kant, perbuatan-perbuatan yang berasal dari kecenderungan macam itu tidak bisa disebut baik, tetapi dari sudut moral netral saja. Perbuatan adalah baik jika hanya dilakukan karena wajib dilakukan. Jadi, belum cukup jika sesuatu perbuatan sesuai dengan kewajiban. Seharusnya perbuatan itu dilakukan berdasarkan kewajiban. Bertindak sesuai dengan kewajiban oleh Kant disebut legalitas. Dengan legalitas kita memenuhi norma hukum. Misalnya, tidak penting dengan motif apa saja saya membayar pajak, asal saja saya bayar jumlah uang yang sesuai dengan kewajiban saya. Tetapi dengan itu saya belum memenuhi norma moral. Saya baru memasuki taraf moralitas jika saya melakukan perbuatan semata-mata karena kewajiban. Kata Kant, suatu perbuatan bersifat moral jika dilakukan semata-mata karena hormat untuk hukum moral. Dengan hukum moral dimaksudkannya kewajiban.[28]
Ada dua kewajiban moral menurut Kant, yaitu imperatif hipotetis dan imperatif kategoris. Yang pertama dapat dikenal dengan adanya anteseden kondisional, yakni kata “jikalau”, yang mengacu pada persyaratan mengenai kebutuhan atau keinginan. Jika anda ingin minum, pergilah ke ruang tamu. Akibat dari suatu imperatif seperti menyatakan (jika seluruhnya sah) suatu sarana yang memadai bagi kepuasan kebutuhan atau keinginan yang disebutkan dalam anteseden. Imperatif seperti ini dapat dibenarkan secara obyektif, tanpa mengandaikan suatu tugas khusus rasio praktis. Cukuplah menunjukkan bahwa sarana yang dimaksud itu memadai untuk tujuan yang diandaikan. Tetapi dalam suatu makna yang penting, dia tidak memiliki dan tidak pula menuntut obyektifitas; karena dia memberi bermacam alasan untuk bertindak hanya kepada orang yang punya keinginan seperti yang disebutkan dalam anteseden. Pengaruh atau daya motivitasnya bergantung kepada keinginan aktual subyek yang dituju, dan tunduk pada daya motivasi dari berbagai keinginan tersebut.
Adapun imperatif kategoris, tidak berkaitan dengan keinginan dan kebutuhan tertentu, dan oleh karena itu kesahannya tidak bergantung (seandainya mampu menerima kesahan) pada syarat-syarat empiris seperti yang dikemukakan Kant. Imperatif semacam ini tidak mengandung “jikalau” dan tidak ada konsesi bagi kepentingan-kepentingan subyek anteseden. Imperatif ini berbentuk “lakukan ini”! Anda harus laksanakan ini!. Hadirnya istilah “harus” itu menunjukkan bahwa, sementara dia mungkin tidak mempunyai keabsahan, dia jelas menuntutnya. Dan tuntutan di sini ialah bagi suatu obyektifitas yang sejati, dan tidak bergantung pada rasio teoritis. Pernyataan ini adalah tuntutan untuk mengikat subyek tanpa memperdulikan keinginan sebenarnya untuk menyatakan, sebagai suatu perintah rasio, suatu perintah yang harus dilakukan.[29] Inti deontologi ini cocok dengan pengalaman moral kita, terutama sebagaimana tampak dalam hati nurani. Kita memang sering merasa terikat dengan kewajiban dalam perilaku moral kita, sehingga tidak bisa disangkal bahwa kewajiban merupakan aspek penting dalam hidup moral kita. Tapi ada juga kritik serius terhadap teori ini. Kritik itu tidak ditujukan kepada peranan kewajiban itu sendiri, melainkan pada peranan ekklusif kewajiban di bidang moral.
Akhisrnya sampai pandangan William David Ross (1877-1971). Ross menerima teori Deontolgi, tapi dia menambah sebuah nuansa penting. Kewajiban itu selalu merupakan kewajiban prima facie (pada pandangan pertama). Artinya suatu kewajiban untuk sementara, dan hanya berlaku sampai timbul kewajiban lebih penting lagi yang mengalahkan kewajiban pertama tadi. Ross menyusun sebuah daftar kewajiban yang kesemuanya merupakan kewajiban prima facie, yakni:
1. Kewajiban kesetiaan; kita harus menepati janji yang diadakan dengan bebas
2. Kewajiban ganti rugi; kita harus melunasi hutang moril dan materiil
3. Kewajiban terimakasih; kita harus berterimakasih kepada orang yang berbuat baik kepada kita
4. Kewajiban keadilan; kita harus membagikan hal-hal yang menyenangkan sesuai dengan jasa orang yang bersangkutan
5. Kewajiban berbuat baik; kita harus membantu orang lain yang membutuhkan bantuan kita
6. Kewajiban mengembangkan dirinya; kita harus mengembangkan dan meningkatkan bakat kita di bidang keutamaan, intelegensia dan sebagainya
7. Kewajiban untuk tidak merugikan; kita tidak boleh melakukan sesuatu yang merugikan orang lain (satu-satunya kewajiban yang dirumuskan Ross dalam bentuk negatif).
Menurut Ross, setiap manusia mempunyai intuisi tentang kewajiban-kewajiban itu. Artinya, semua kewajiban itu berlaku langsung bagi kita. Tapi kita tidak mempunyai intuisi tentang apa yang terbaik dalam suatu situasi konkrit. Untuk itu perlu kita pergunakan akal budi. Kita harus mempertimbangkan dalam setiap kasus mana kewajiban yang paling penting, jika tidak mungkin memenuhi semua kewajiban sekaligus. Kewajiban-kewajiban lain kalah terhadap kewajiban yang dinilai paling penting.[30]
Kebahagiaan: Suatu Analisis Filosofis
Kebahagiaan adalah sekadar nama untuk menyatakan keadaan sadar kita bahwa keinginan kita telah atau sedang dipuaskan. Ini artinya, kebahagiaan tidak lain selain dari pada wujud kesadaran jiwa dan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mengembalikan segala keadaan yang terjadi di saat mana manusia mengalami peristiwa kehidupannya pada porsi budi sempurna dalam bentuk pengertian-pengertian, dari penderitaan, kesengsaraan dan kesenangan, kegembiraan pada hikmah dan nikmat terbesar. Sebab seseorang barangkali boleh jadi beranggapan lebih baik menderita penderitaan yang sedang diderita dari pada menderita karena berusaha mengeluarkan diri dari penderitaan yang diderita itu. Atau dengan ungkapan lain, lebih baik menderita penderitaan dari pada harus memikirkan penderitaannya, sebab dia telah menderita penderitaan itu adalah menderita ditambah lagi dengan penderitaan karena memikirkan beban penderitannya.
Bila kepuasaan manusia yang dialami beraksentuasi dan atau berorientasi pada kesenangan hidup tidak bernilai baik, bukan kebajikan, maka kebahagiaan tersebut sebenarnya adalah penderitaan untuk sementara waktu di saat mana manusia melakukannya dalam bentuk “suffering”. Berbeda dan bahkan sebaliknya, bila seseorang menderita penderitaan sebab melakukan sesuatu hal yang bernilai baik, luhur, kebajikan, maka penderitaan semacam ini sebenarnya adalah kebahagiaan dalam waktu yang tidak terbatas. Artinya, seorang bijak tidak akan menganggap musibah yang menimpa dirinya dari perlakuan ketidak-adilan sebagai penderitaan, karena kesadarannya telah melampaui nasib yang ditimpa badannya.
Kepuasan jasmani belaka, bukanlah kebahagiaan atau hal-hal yang menghiasi hidup manusia, seperti kekayaan, keluarga, kehormatan, ketenaran, kekuasaan, pengaruh dan sebagainya, tidak dapat membuat manusia bahagia sempurna. Bukan karena itu semua yang menyebabkan tidak bahagia, tetapi dapat menyebabkan ketidak-bahagiaan karena beban dan tanggung jawab yang harus dipikul karena nama, pangkat dan kebesaran tersebut.
Beberapa konsep kebahagiaan para filosof, seperti Sokrates, Plato, Aristoteles, deontologi dan berbagai aliran seperti Hedonisme, Utilitiarisme, Stoisisme tentang kebahagiaan dalam hubungannya dengan kehidupan, kebaikan dan pengertian budi adalah suatu bentuk penyajian pandangan yang berkekuatan intelektual tinggi, sehingga bagaimanapun juga dapat diterima dan dibenarkan secara argumentatif. Hal itu tercermin dari penataan pemikiran yang rapi, kritis dan rasional. Ia adalah gambaran tentang kesempurnaan dari daya-cita manusia. Jadi wujudnya teoritis-ideal. Akan tetapi yang kritis-rasional-teoritis tersebut belum pasti realistis dan mendatangkan manfaat yang besar bagi kehidupan manusia, sehingga kadangkala pandangan-pandangan tersebut sukar untuk diterjemahkan secara fungsional dalam bentuk kehidupan praktis. Bukan hanya semua itu -tetapi lebih dari itu-, titik kulminasi dari permainan pemikiran tersebut sering tak dapat ditemukan secara pasti, tepat dan benar. Artinya, setiap ujung dari dan kesimpulan yang dicapai oleh akal segera dapat dipertanyakan kembali. Hal ini lalu merupakan wilayah sengketa di sekitar hasil pemikiran itu sendiri, dan berikut menimbulkan berbagai konflik internal-intelektual yang tak terselesaikan secara tuntas, karena masing-masing argumentasi hanya beroperasi di seputar wilayah sengketa tersebut (acrobathic intelectual). Dengan perkataan lain, dalam beberapa teori tentang hakikat pemikiran filsafat yang dimaksudkan untuk menjelaskan bagaimana terdapat suatu disiplin intelektual yang seluruhnya abstrak, tetapi dimaksudkan untuk diamalkan secara fungsional dalam kehidupan praktis. Konflik eksistensial inilah yang memberi inspirasi dan embrio timbulnya beberapa aliran yang secara khusus mempersoalkan kebahagiaan yang dicapai oleh renungan /kontemplasi diri pemikiran.
Manusia tidak dapat membuat dirinya bahagia sempurna dalam hidup di dunia ini, disebabkan: 1). Ada hal-hal yang baik dan sesuai untuk badan 2). Ada hal-hal yang baik dan sesuai untuk jiwa, dan 3). Ada hal-hal yang baik dan sesuai untuk jiwa dan badan secara serempak. Jelasnya, karena terdapat tuntutan-tuntutan yang dihadapi pribadi-pribadi, yaitu tuntutan yang menyebabkan kita memilih alternatif-alternatif moral. Manusia memiliki kesulitan-kesulitan untuk memenuhi berbagai macam tuntutan hidupnya, yakni:
1. Tuntutan-tuntutan fisik. Terdapat kebutuhan-kebutuhan fisik yang harus dipenuhi dengan jalan keputusan dan tindakan yang tepat. Jika orang hidup dengan cara tertentu ia akan tetap hidup dan sehat. Jika ia mengubah cara hidupnya, kehidupannya akan susah, dan bahkan ia mungkin mati, misalnya seseorang memerlukan hawa yang segar, sinar matahari, temperatur tertentu, makan dan minum, gerak badan dan tidur jika ia ingin agar badannya berfungsi baik
2. Tuntutan-tuntutan psikologis dan sosial. Terdapat dorongan-dorongan dan keinginan-keinginan pokok yang muncul dari keadaan psikologis dan kebutuhan-kebutuhan sosial. Dorongan-dorongan ini menampakkan diri dengan cara-cara yang sama di mana saja manusia hidup. Dalam tempat-tempat tersebut, kehidupan memajukan tuntutan-tuntutan kepada kita. Kemarahan, ketakutan, dengki, keresahan, menyebabkan penderitaan kepada tubuh dan condong untuk merusak kehidupan sosial.
3. Tuntutan-tuntutan spiritual dan intelektual. Ada tuntutan spiritual dan intelektual juga, ada kewajiban moral untuk mendapatkan informasi tentang soal-soal penting dan untuk bertindak secara pandai sedapat mungkin. Kecerdasan-kecerdasan condong untuk menghemat waktu, tenaga, bahkan menyelamatkan jiwa. Dalam hal ini terdapat keyakinan yang universal yang mendapat ekpresi dalam sistem sosial dan keagamaan, bahwa kepuasan akal dan jiwa lebih diperlukan dan lebih langgeng dari pada kepuasan badan.[31]
Sedangkan di antara sebab-sebab yang menyebabkan seseorang tidak menjadi filosof yang bahagia benar-benar ialah:
1. Kebahagiaan ialah suatu kegembiraan yang sempurna dan abadi bagi jiwa dan badan bersama-sama, karena kebahagiaan yang terbatas bukan kebahagiaan dalam arti yang sebenarnya
2. Berakhirnya kebahagiaan sebagai suatu hal yang dapat diduga menyusahkan keadaan kita. Oleh karena itu, kita menginginkan keabadian sebagai syarat asasi bagi kebahagiaan, disebabkan kita menginginkan hidup bahagia untuk selamanya.[32]
Bagaimana jiwa manusia bisa mendapatkan kebahagiaan sempurna pada dirinya, sedang ia terus-menerus membutuhkan kesenangan yang menjadi tujuan yang pada tempatnya. Bagaimana juga usaha yang dilakukannya, namun filsafatnya dan keutamaannya tidak bisa menjelma dari dirinya, dikarenakan memang tidak dimilikinya terdapat pada dirinya.
Konsep kebahagiaan yang disandarkan pada panggilan natur (fitrah) sebagaimana dipahami dari aliran Stoa (Stoisisme), dari melalui kejadian manusia melulu, walaupun dapat diterima dan dibenarkan secara argumentatif, tidaklah dapat menjamin kelangsungan hidup secara realistik, disebabkan oleh peristiwa hidup yang secara kodrati direka dan belum pasti. Oleh karena alam memperlengkapi manusia dengan kemampuan-kemampuan seperti yang dimaksud, supaya kita mengembangkannya sampai sepenuhnya, tetapi hal itu tidak akan membuat manusia bahagia sempurna, disebabkan perkembangan diri adalah suatu tujuan manusia tetapi bukan tujuan terakhir yang deterministik.
Lain halnya dengan aliran hedonis (Hedonisme) yang berbeda pandangan dengan Stosisime/Naturalisme. Jika stoisisme sebagai pandangan filsafat yang berdiri dan menganggap keteraturan alam sebagai tujuan idealnya, maka bagi kaum hedonis lezat adalah sebagai tujuan dasar aktifitas manusia. Kalau kita senang tentu senang akan sesuatu, yang berarti kita senang mengerjakan sesuatu. Dari sini kesimpulannya, bahwa kesenangan adalah pengiring pemakaian biasa dari kemampuan-kemampuan yang adanya untuk pemenuhan suatu tujuan. Umpamanya kita makan, pertama-tama untuk menjaga kelangsungan hidup kita, meskipun makan itu juga menyenangkan. Mungkin kita tidak akan bersusah makan andaikata kita tidak merasa lapar dan makanan itu sendiri tidak mempunyai rasa. Kita mempunyai mata untuk menangkap apa yang kita butuhkan dan membimbing gerak-gerik kita, meski banyak pandangan yang menyebabkan kesenangan. Kita buka mata kita terus-menerus karena sungguh-sungguh kita alami senangnya melihat. Seks diperuntukkan repropuksi manusia baru, meskipun seks juga mempunyai kenikmatannya. Orang tidak akan mau memikul beban tanggung jawab yang begitu besar dalam berkeluarga andaikata ia tidak tertarik akan kesenangan hidup perkawinan. Intelek memungkinkan kita untuk hidup secara beradab, dan juga kita mengalami kesenangan apabila ada problem yang bisa dikupas secara baik dan memuaskan. Kita hendak berpikir sungguh-sungguh andaikata kita tidak mengetahui bahwa soal atau problem itu sesuatu tantangan yang menarik.
Oleh sebab itu manusia dengan akal pikirannya menemui banyakKesenangan altruistis seperti dijelaskan oleh Utilitarisme, meskipun lebih tinggi tarafnya dari kesenangan egois-individualis, juga mereka tidak akan menemukan tujuan terakhir, sebab beberapa orang tidak mempunyai waktu dan tidak mampu untuk berkarya semacam itu. Kesenangan yang diciptakan dari hasil karya itu sering dinodai dengan sikap apati dan tidak mengerti terimakasih, juga dengan salah pengertian. Disamping itu ada gagasan yang kurang tepat, kurang koheren, yakni andaikata memperbaiki nasib orang lain adalah sebagai akhir tujuan kita, lalu apakah tujuan orang-orang yang diperbaiki nasibnya itu? Apabila adaku untuk orang lain, lalu orang lain itu untuk apa? Apabila setiap orang adanya demi setiap orang lain, lalu kalau seluruh proses kita teruskan, mengikuti gerak lingkaran setan (satanic circle) yang tidak ada mana ujung mana pangkal. Kesimpulannya yang kita dapati adalah tidak seorangpun yang sesungguhnya ada demi sesuatu atau dengan perkataan lain adaku adalah untuk diriku sendiri bukan demi yang lain.
kesulitan untuk mencapai bahagia sempurna (tujuan terakhirnya) di dunia ini. Atau segala sesuatu yang sesuai dengan tarafnya dengan manusia tidak dapat membuat bahagia sempurna. Dengan demikian manusia dapat menyempurnakan kebahagiaannya dengan cara bergantung pada sesuatu yang dapat mengatasi segala sesuatu, yaitu sesuatu yang berada di atas tarafnya pada sesuatu yang tidak terbatas, Tuhan.

Kebahagiaan Islami: Suatu Alternatif.
Dalam pembahasan terdahulu dapat dipahami bahwa akallah semata yang dijadikan instrumen untuk menentukan segala ukuran perbuatan manusia dan dinilai baik atau buruk, kebahagiaan, penderitaan dan sebagainya. Maka di sini akan disajikan tinjauan Islam dalam keterkaitannya dengan pembahasan tentang kebahagiaan.
Orang yang mempunyai akal dan perasaan (pancaindra) yang sehat, mengakui dengan menyaksikan bahwa dirinya adalah ada (maujud). Demikian pula ia menyaksikan bahwa ia mempunyai kemauan untuk melakukan perbuatan-perbuatan dengan ikhtiar, yang dipertimbangkan dengan akal dan ditentukan dengan kehendak (iradat) sendiri. Kemudian barulah perbuatan itu dianggap tepat dan dilaksanakan dengan sepenuh kodrat yang ada dalam dirinya. Siapa yang berani mengingkari ketentuan seperti itu, dianggap sama dengan mengingkari wujud dirinya sendiri, karena ketentuan itu merupakan kenyataan yang logis dan dibenarkan oleh akal.
Setiap manusia kadangkala bermaksud untuk memperoleh tujuan yang baik, mencari kebenaran, kebahagiaan –tetapi seringkali pula yang didapat malah sebaliknya—buruk dan penderitaan, ia jatuh ke lembah kesengsaraan. Hal yang demikian ini merupakan pertanda dari ketidak mampuan dirinya memahami hukum hidup dan menguasainya, sehingga nasib buruk menimpanya. Atau dalam alam ini ada sesuatu kekuatan yang lebih tinggi untuk dapat dicapai oleh kodrat dirinya, dan ada pula Dzat yang mengatur, mengendalikan yang tidak bisa dijangkau oleh kekuatannya. Maka andaikata ia telah dapat petunjuk dan dipimpin oleh dalil yang benar, untuk mengakui bahwa segala peristiwa-peristiwa alam dengan segala rahasianya, semua bersandar pada Dzat yang WajibWujud, yang mengendalikan semua itu sesuai dengan ilmu dan kemauanNya, niscaya khusyu’ dan tunduklah hatinya, kemudian mengembalikan segala kejadian-kejadian yang menimpa dirinya itu kepada taqdir yang tidak bisa ditolak. Namun demikian ia tidak fatalistis buat selanjutnya.
Orang yang beriman menyaksikan dengan dalil dan bukti nyata bahwa kodrat Pencipta alam semesta ini lebih tinggi dari kodrat yang ada pada segala makhluk. Di atas ketentuan taqdir dan ikhtiar inilah berjalannya shari‘at agama dan di atas ketentuan itu pulalah berdiri taklif-taklif (perintah-perintah) Tuhan. Siapa yang berani mengingkari salah satu di antaranya, nyatalah ia memungkiri sumber iman pada dirinya sendiri, yakni akalnya; akal yang telah mendapat kehormatan dari Allah untuk dapat memikirkan perintah-perintah dan larangan-larangannya.
Sedangkan bagaimana menyesuaikan dalil-dalil tentang kekuasaan ilmu Allah dan kemauan iradatNya dengan kenyataan-kenyataan adanya kebebasan berikhtiar manusia dalam memilih perbuatan-perbuatan yang ada hak ikhtiar di dalamnya, maka itu berarti mencari rahasia kadar ilahi sesuai dengan kemampuan kodrat manusia.[33] Dalam bahasa agama usaha mencari persesuaian antara kemauan Tuhan dan kehendak manusia itu disebut taufiq. Sinergitas kemauan manusia dan Tuhan itulah yang senantiasa dicari orang beragama, sehingga terjadi rida dan diridai (radiyatan mardiyah).
Bertitik tolak dari rasa iman itulah asas Islam didirikan di atas pondasi yang kuat, sehingga amal perbuatan apapun jika dilandasi oleh kekuatan iman akan tetap mantap hatinya, akan tetap besar jiwanya dalam memahami dan menjalani tugas hidup dan kehidupan, dan rintangan apapun hanya akan memberi arti sebagai ujian baginya, yang perlu dicari hikmah dan faedahnya.
Oleh sebab itu filsafat sebagai suatu usaha yang diamalkan manusia dalam dia mencari jalan dan menempuh jalan itu untuk mencari kebahagiaan. Agar filsafat itu mendatangkan keuntungan pada manusia, maka filsafat itu haruslah pula dapat diamalkan oleh manusia itu. Kebahagiaan sempurna adalah kebahagiaan sepenuhnya dunia akhirat, soal sesudah mati (eskatologis) itupun adalah merupakan soal yang harus dipecahkan dan dibereskan oleh manusia, agar soal akhirat ini jangan menggaanggu manusia itu, tetapi ini merupakan sesuatu yang negatif. Secara positif, maka pengertian akhirat itu harus berisi, penuh dan juga harus dipergunakan manusia dalam dia berusaha mencari wujudnya sebagai manusia.[34] Artinya, keyakinan kita terhadap kehidupan akhirat itu bisa membuat kita berusaha dengan sungguh-sungguh untuk melaksanakan amal kebajikan di dunia ini, agar akhirat yang diyakini itu benar-benar terwujud dalam kenyataan nanti dan tidak mengganggu dalam kehidupan dunia ini.
Dalam perbendaharaan Islam, kita jumpai banyak kata-kata yang mengarah kepada makna kebahagiaan, kebaikan dan kebajikan dan sebagainya, seperti al-birr (kebajikan), khair/hasanah (kebaikan), qist (kewajaran), ‘adl (keseimbangan), haqq (kebenaran), ma‘ruf (dikenal baik dan wajar), i’mi’nan (ketenangan), nikmah (kenikmatan), fawz (keberuntungan) dan sa‘adah (kebahagiaan). Dibawah ini adalah sebagian contoh dari makna yang dimaksud di atas. Seperti hadith Rasul :

عن النواس بن سمعان الأنصرى قال سألت رسولالله صلى الله عليه وسلم عن البر والآثم فقال : البر حسن الخلق والآثم ماحاك فى صدرك وكرهت ان يطلع عليه الناس [35]
Artinya: Dari Nawwas bin Sam‘an al-Ansari, berkata :”aku bertanya kepada Rasulullah Saw. Tentang kebaikan dan keburukan. Maka Rasul menjawab : kebaikan itu adalah berbudi pekerti yang terpuji, dan keburukan itu adalah sesuatu yang berkecamuk di dalam hatimu dan kau akan membencinya andaikata diketahui oleh orang”.
Al-Qur’an menyatakan :

[36]ليس البر ان تولوآ وجوهكم قبل المشرق والمغرب ولكن البر من آمن بالله واليوم الأخر والملائكة والكتاب والنبيين وآتىالمال علىحبه ذواالقربى واليتامى والمساكين وابن السبيل والسائلين وفى الرقاب واقام الصلاة وآتى الزكاة والموفون بعهدهم اذا عاهدوا والصابرين بالبأسآء والضرآء وحين البأس اولئك الذين صدقوا واولئك هم المتقون

Artinya: Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah kebajikan orang yang beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan memerdekaan hamba sahaya, mendirikan salat, menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan merekalah orang-orang yang bertaqwa.
Memperhatikan ajaran Islam al-Qur’an dan hadith di atas bahwa ketenteraman jiwa yang sempurna akan mengilhami setiap Muslim, sebab ia ada mempunyai keyakinan yang mantap bahwa jiwanya tetap hidup walau jasad telah memisahkan diri dengannya dalam kehidupan dunia ini. Dia yakin akan adanya pertemuan dengan Tuhannya, sehingga tertutuplah baginya jalan-jalan yang tidak memberi faedah atau dapat mengantarkan pada pertemuan dengan dan memperoleh ridaNya. Karena ia yakin pula dalam kesadaran penuh bahwa kejahatan dan dosa nafsu akan mendapatkan balasan durhakaNya dan yang menyebabkan penderitaannya di akhirat kelak.
Dalam soal ketertundukan nafsu ini dilambangkan oleh Allah dalam surat al-Fajr 27:
يآيتهاالنفس المطمئنة ارجعى الى ربك راضية مرضية فادخلى فى عبادى وادخلى جنتى

“Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridaiNya. Maka masuklah ke dalam kelompok hamba-hambaKu dan masuklah ke dalam syurgaKu”.
Bila beberapa filosof mengatakan bahwa kebahagiaan itu mensyaratkan tidak adanya pengaruh hawa nafsu, sehingga mengumpulkan seluruh kebaikan, maka kebaikan itu di dalam Islam berlaku secara universal dan tidak terikat dalam ruang lingkup kehidupan di dunia ini belaka, tetapi mencakup kebaikan di akhirat kelak. Hal ini dapat dimengerti dari dua ayat di bawah ini.

قل ياعبادى الذين امنوا اتقوا ربكم للذين احسنوا فى هذه الدنيا حسنة وارض الله واسعة انما يوف الصابرون اجرهم بغير حساب [37]

“Katakanlah: hai hamba-hambaKu yang beriman, bertaqwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik, di dunia ini memperoleh kebaikan, dan bumi Allah itu luas. Sesungguhnya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan padala mereka tanpa batas.

ربنا اتنا فى الدنيا حسنة وفى الأحرة حسنة وقنا عذاب النار[38]

Artinya ; Ya tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.
Oleh sebab itu menggantungkan harapan hanya kepada Allah Swt. dan meredamkan segala keinginan nafsu yang mengotori jiwa, supaya jiwanya tidak rapuh yang dapat mengantarkan atau menyebabkan datangnya kesedihan, kesengsaraan dan penderitaan dapat dihilangkan dengan melalui mengingat Allah. Hal ini ditegaskan dalam surat al-Ra’d28-29.

الذين امنوا وتطمئن قلوبهم بذكرالله الا بذكرالله تطمئن القلوب الذين امنوا وعملواالصالحات طوبىلهم وحسن مأب[39]
Artinya: (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi
tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah! Hanya dengan mengingat Allahlah hati menjadi tenteram, tenang. Orang-orang yang beriman dan beramal saleh bagi mereka kebahagiaan dan tempat kembali yang baik.
Sedangkan apa dan bagaimana kebahagiaan yang bakal diperoleh oleh orang-orang yang beriman, beramal saleh (kebajikan) dan bertaqwa, banyak sekali dinyatakan dalam al-Qur’an. Sebut saja di antaranya:

ومن يطع الله والرسول فأولئك مع الذين انعم الله عليهم من النبين والصدقين والشهداء والصالحين وحسن أولئك رفيقا[40]

Artinya: dan barang siapa yang mentaati Allah dan RasulNya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang dianugerahi nikmat oleh Allah; yaitu nabi-nabi, para siddiqin, orang-orang yang mati shahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.”

ومن يطع الله ورسوله ويخش الله ويتقه فأولئك هم الفا ئزون[41]

Artinya: dan barang siapa yang taat kepada Allah dan RasulNya dan takut kepada Allah dan bertaqwa kepadaNya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat keberuntungan.”

ومن يطع الله ورسوله فقد فاز فوزا عظيما[42]
Artinya: Dan barang siapa yang mentaati Allah dan rasulNya, maka sesungguhnya ia telah mendapat keberuntungan yang besar.”

تلك حدود الله ومن يطع الله ورسوله يدخله جنت تجرى من تحتها الانهار خالدين فيها وذلك الفوزالعظيم ومن يعص الله ورسوله ويتعد حدوده يدخله نارا خالدين فيها وله عذاب مهين[43]

(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barang siapa taat kepada Allah dan RasulNya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam syurga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah keberuntungan yang besar.”
Demikian pula kesedihan, ancaman dan penderitaan bagi orang-orang yang melanggar ketentuan Allah dan RasulNya. Misalnya ayat-ayat berikut.

ذلك بأنهم شاقواالله ورسوله ومن يشاق الله ورسوله فان الله شديد العقاب[44]

Artinya: ketentuan yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan rasulNya, maka sesungguhnya Allah sangat keras siksaannya.

ان الذين يحادون الله ورسوله كبتوا كما كبت الذين من قبلهم وقد انزلنا آيت بينت وللكافرين عذاب مهين[45]

Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah dan RasulNya pasti mendapatkan kehinaan sebagaimana orang-orang yang sebelum mereka mendapat kehinaan. Sesungguhnya Kami telah menurunkan bukti-bukti yang nyata. Dan bagi orang-orang kafir ada siksa yang menghinakan.

ومن يشاقق الرسول من بعد ما تبين له الهدى ويتبع غير سبيل المؤمنين نوله ونصله جهنم وسائت مصيرا[46]
Artinya: Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu. Dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.

يوم يأت لا تكلف نفس الا باذنه فمنهم شقي وسعيد فامالذين شقوا ففى النار لهم فيها زفير وشهيق خالدين فيها مادامت السماوات والارض الا ما شاء ربك ان ربك فعال لما يريد واملذين سعدوا ففى الجنة خالدين فيها مادامت السموات والارض الا ما شاء ربك عطاء غير مجدود

Artinya: di kala datang hari itu, tidak ada seorang pun yang berbicara melainkan dengan izinNya; maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang berbahagia. Adapun orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka mengeluarkan nafas dan menariknya dengan merintih. Mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain). Sesungguhnya tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang dia kehendaki.
Adapun orang-orang yang berbahagia, maka tempatnya di dalam syurga. Mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tidak putus-putusnya.[47]
Dari beberapa ayat suci di atas, dapat ditegaskan bahwa orang-orang yang mentaati perintah Allah dan RasulNya, mereka di akhirat kelak akan ditempatkan oleh Allah bersama orang-orang yang diberi nikmat; yaitu para nabi, para siddiqin (orang yang benar dalam menjalankan agama Allah) dan orang-orang saleh (baik dalam mengerjakan agama Allah). Dan barang siapa yang bertaqwa dalam arti yang sebenarnya, maka akan mendapatkan kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat, kebahagiaan dan kemenangan yang besar, karena dimasukkan oleh Allah ke dalam syurga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya. Namun sebaliknya bila perintah Allah dan RasulNya dilanggar, dilampaui, maka ia bakal mendapat balasan siksa, kepedihan, kesengsaraan, penderitaan, kerendahan dan kehinaan, disebabkan ia bakal menempati jahannam.
Sedangkan gambaran kehidupan syurga dinyatakan di dalam hadith qudsi:

حديث ابى هريرة رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : قال الله تعالى أعددت لعبادى الصالحين ما لا عين رأت ولا أذن سمعت ولا خطر على قلب بشر[48]

Dari Abu Hurairah ra., berkata: bersabda Rasullah Saw. : Allah berfirman “Aku telah persiapkan bagi hamba-hambaKu yang saleh tentang apa-apa yang mata belum pernah menyaksikan, telinga belum pernah mendengar dan belum pernah pula terlintas di dalam hati manusia.
Dengan demikian bisa dimengerti menurut keyakinan Islam, bahwa keadaan akhirat itu adalah keadaan yang sama sekali berbeda dibanding dengan segala apa yang ada dan diperumpamakan di dunia ini. Ia adalah keadaan yang sama sekali sempurna; tempat kenikmatan, kesenangan, kegembiraan dan kebaikan-kebaikan lainnya). Itulah syurga yang dijanjikan Allah bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh di dunia ini.

Kebahagiaan : Petunjuk Operasional
Di dalam al-Qur’an, paling sedikit diketemukan 50 unit ayat yang mengkaitkan iman dengan amal.[49] Dengan demikian, ilmu pengetahuan (ma‘rifat) pasti melahirkan keyakinan/keimanan dan keimanan mengharuskan melakukan tindakan. Tidak mungkin keyakinan timbul dari ketidak-tahuan. Orang yang tahu akan kebenaran pastilah ia meyakini kebenaran tersebut. Barang siapa yang memiliki keyakinan akan kebenaran pastilah bertindak sesuai dengan keyakinannya. Tidak mungkin terjadi pertentangan antara keyakinan dengan tindakan. Barang siapa yang bertindak demikian, maka ia telah melanggar norma iman di dalam dirinya.
Tetapi dalam kenyataan kehidupan praktis sehari-hari, ternyata banyak dijumpai orang yang dianggap/disangka mengetahui tentang kebaikan, kebenaran, kejujuran, keadilan dan sebagainya masih melakukan tindakan-tindakan yang tidak baik, benar, jujur, adil dan sebagainya. Sehingga dengan demikian perlulah ada suatu petunjuk dan cara praktis yang dapat membuat orang yang mengerti itu tentang kebaikan, kebenaran dan sebagainya itu dapat melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang diketahuinya.
Dalam pandangan al-Ghazali bahwa orang yang mengetahui tentang kebaikan, kebenaran tidak otomatis ia bertindak sesuai dengan apa yang diketahuinya itu, baik dan benar. Seseorang baru dapat bertindak baik, benar sesuai dengan pengertiannya itu bila yang bersangkutan senantiasa melakukan mumarasah/latihan. Latihan pembiasaan itulah yang dapat menyebabkan seseorang bertindak baik dan benar. Bilamana pembiasaan-pembiasaan tersebut telah tertanam dalam-dalam di dalam hati sanubari, maka barulah disebut oleh al-Ghazali dengan karakter/perangai dan akhlak. Akhlak baginya ialah sikap yang mengakar dalam jiwa yang darinya keluar perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa membutuhkan suatu pertimbangan dan pemikiran. Bilamana yang keluar darinya suatu perbuatan yang baik menurut akal dan shara’, maka itu disebut dengan karakter yang baik, tetapi sebaliknya, bila yang keluar darinya adalah karakter yang jelek menurut akal dan shara’, maka disebut dengan karakter yang jelek.[50]
Akhlak itu bukanlah perbuatan atau tingkah laku itu sendiri, karena betapa banyak orang yang akhlaknya dermawan (sakha’) tetapi ia tidak bersedekah; mungkin karena tidak ada harta atau karena sesuatu halangan. Juga banyak orang yang akhlaknya kikir tapi ia bersedekah; mungkin karena riya’ atau sesuatu sebab yang lain. Jadi akhlak adalah sikap yang dapat membuat jiwa siap untuk memberi atau tidak memberi. Artinya, suatu ungkapan tentang sikap mental dan wujud batinnya.[51]
Untuk mengamalkan ilmu tentang kebaikan, kebenaran, keadilan, kejujuran dan sebagainya itu membutuhkan latihan yang sungguh-sungguh dan terus-menerus, sehingga menjadi kebiasaan. Kalau seseorang telah terbiasa berkata jujur, peramah, sabar, berlaku benar, adil dan sebagainya maka akan mudah untuk merefleksikan-nya dalam tindakan apapun. Mempergunakan akal dan ilmu itu seperti berolahraga juga, membutuhkan kepada latihan yang rutin, sehingga tidak ada kesulitan-kesulitan untuk melakukannya. Tidak seorang muslimpun mengingkari tentang keutamaan kebaikan membaca al-Qur’an misalnya, berbakti kepada orang tua, salat malam, berkata sopan menyejukkan, jujur, menegakkan kebenaran, berlaku adil, ramah, sabar dan sebagainya, tetapi seberapa orang yang dapat melakukannya. Hal itu tergantung kepada kekuatan latihan-pembiasaan yang sungguh-sungguh sehingga ia tidak memiliki kesulitan apapun untuk melakukannya. Demikian pula tidak seorangpun mengingkari betapa buruknya tindakan seperti; berkata kasar, korup, bertindak tidak adil, tidak jujur, tidak benar, tidak sabar, tidak ramah dan sebagainya, namun demikian masih banyak orang yang tetap melakukannya.
Dengan demikian secara teoritis bisa saja seseorang mampu mengatasi semua problem kehidupan dalam pemikiran, akan tetapi secara praktis belum tentu dia dapat mengatasinya dengan baik. Dunia kenyataan adalah dunia perasaan bukan dunia pikiran semata. Banyak orang menjadi kolaps karena menghadapi dunia perasaan bukan dunia pemikiran seperti orang yang dimabuk asmara, ditimpa musibah dan sebagainya. Oleh sebab itu mampu secara pikiran, belum tentu mampu melakukannya.
Dengan demikian seseorang yang terbiasa melakukan kebaikan bila tergoda oleh gangguan dan rayuan syetan untuk melakukan hal-hal yang jelek, tidak baik, tidak benar, tidak jujur, tidak adil dan sebagainya pasti ada sinaran ilahi di dalam jiwa sebagai petunjuk, teguran dan dalam waktu itu pula ia langsung sadar akan kesalahannya serta kembali ke jalan yang benar. Allah berfirman :

ان الذين اتقوا اذا مسهم طئف من الشيطان تذكروا فاذاهم مبصرون [52]

ِArtinya : Sesungguhnya orang-orang yang beriman bila mereka ditimpa was-was dari syetan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.
Tetapi sebaliknya jika yang terbiasa dilakukan adalah ketidak jujuran, ketidak adilan, ketidak benaran dan sebagainya maka ia akan dengan mudah tertarik kepada pembiasaannya itu. Oleh sebab itu seseorang haruslah pandai-pandai menguasai, melatih diri dalam semua keadaan dan mengarahkannya kepada hal-hal yang baik dan mulia (kearifan). Kebahagiaan hanyak terletak di dalam hal-hal yang bernilai baik. Oleh sebab itum barang siapa tidak terbiasa mensyukuri atas nikmat yang kecil, sedikit, bila memperoleh yang besarpun tidak mudah untuk mensyukurinya. Kebahagiaan terletak dalam kemampuan seseorang mengendalikan diri dalam semua keadaan, ketika memperoleh nikmat atau cobaan. Kebahagiaan tidak bisa berkumpul dengan kedurhakaan, pelanggaran, tetapi ia identik dan bersinergi dengan kebaikan, kebajikan, kebenaran. Harapan orang yang beramal saleh akan kehidupan akhirat akan terpantul dalam kehidupan di dunia. Jadi, walaupun berbuat baik di dunia tidak mesti mendapat balasan yang baik pula, tetapi ia memiliki keyakinan yang mantap akan balasan di akhirat, sehingga sikap apatis dan tidak adanya sikap terimakasih dari usaha dan amal baiknya di dunia tidak menghalanginya untuk meraih kebahagiaan.
[1] Franz von Magnis, Etika Umum (Yogyakarta : Kanisius, 1985), 84.
[2] Muh. Said, Etika Masyarakat Indonesia (Jakarta : Pradnya Paramita, 1980), 79.
[3] Hasbullah Bakry, Sistematik Filsafat (Jakarta : Wijaya, 1981), 81.
[4] Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), (Jakarta : Bulan Bintang, cet. II, 1977), 104-105.
[5] Muh. Said, Etika, 79-80.
[6] W.Poespoprodjo, Filsafat Moral (Bandung : Remaja Karya, 1986), 45-46.
[7] Roger Scruton, From Descartes for Wittgenstein, terj. (Jakarta : Pantja Simpati, 1986), 272-275.
[8] Hasbullah Bakry, Sistematik, 83.
[9] Roger Scruton, From, 275.
[10] Poespoprodjo, Filsafat, 47-48.
[11] Muh. Said, Etika, 82.
[12] W.Poespoprodjo, Filsafat, 47-48.
[13] Muh. Said, Etika, 82.
[14] Ibid., 82.
[15] Franz von Magnis,Etika, 94.
[16] Ibid., 95.
[17] Ibid., 97.
[18] Roger Scruton, From, 279.
[19] A.Epping OFM.dkk, Filsafat Ensie (Bandung : Jenmars, 1983), 114.
[20] Ibid., 116.
[21] Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani (Jakarta: Tintamas, 1980), 153.
[22] A.Epping, Filsafat, 117.
[23] Mohammad Hatta, Alam, 153.
[24] A.Epping, Filsafat, 117.
[25] W. Poespoprodjo, Filsafat, 50.
[26] Mohammat Hatta, Alam, 154.
[27] W.Poepoprodjo, Filsafat, 48.
[28] K.Bertens, Etika.., 255-56.
[29] Roger Scruton, From , 178-179.
[30] K.Bertens, Etika.., 354-258.
[31] Titus dkk, Living Issues in Philosophy, terj.M.Rasjidi (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), 143-144.
[32] A.Hanafi, Filsafat Skolastik (Jakarta: Pustaka Al Husna, 1985), 125.
[33] Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, terj.(Jakarta: Bulan Bintang, 1979), 91-93.
[34] M.Nasroen, Falsafah dan Tjara Berfalsafah (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), 25.
[35] Imam Muslim, Sahih Muslim, Juz II (Bandung: Dahlan, tt), 421.
[36] Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Pelita III,1981/1982), 43
[37] Ibid, 747.
[38] Ibid, 49.
[39] Ibid, 49.
[40] Ibid, 130.
[41] Ibid, 553.
[42] Ibid, 680.
[43] Ibid, 118.
[44] Ibid, 262.
[45] Ibid, 909.
[46] Ibid, 140.

[47] Ibid, 343.
[48] Muhammad Fuad Abd. Al-Baqi, Lu’lu wa al-Marjan, Juz II (Kairo: Dar al-Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, 1949), 51 hadith 1798.
[49] Lihat penelitian M.Quraish Shihab, Etika Bisnis dalam Wawasan al-Qur’an dalam Ulumul Qur’an, 3/VII/1997.
[50] Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din II (Beirut-Libanon: Dar al-Fikr, 1410/1990), 52.
[51]Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), 25.
[52] QS. 7 : 201