Kamis, 28 Februari 2008

KEBAHAGIAAN (Studi Kritis Terhadap Aliran Filsafat Mengenai Konsep Kebahagiaan)

Oleh : Muktafi Sahal
Abstrak: Kebahagiaan dalam kajian filsafat telah mengkristal menjadi aliran seperti Hedonisme, Utilitarisme, Stoisisme dan Deontogi. Hedonisme adalah aliran filsafat yang memandang kesenangan (hedone) sebagai tujuan pokok bagi kehidupan ini, tetapi yang dimaksud adalah kesenangan sebagai perangsang intelek manusia. Orang yang bijakasana selalu mengusahakan kesenangan sebanyak-banyaknya dan menghindari penderitaan. Utilitarisme memandang baik dan buruk segala perbuatan manusia dipandang dari sudut besar kecilnya manfaat bagi manusia, dipandang dari sudut kuantita, besar kecilnya manfaat. Yang dimaksud manfaat ialah kebahagiaan untuk jumlah manusia yang sebesar-besarnya. Stoisisme mengatakan kalau manusia mencari kebebasan janganlah ia mencoba mencari dengan berusaha meloloskan diri dari kodratnya, tetapi dengan jalan bekerja dan bertahan diri. Manusia yang berpikir dan berbuat secara stoa dapat dikatakan benar-benar merdeka. Persesuaian kemauan manusia dengan kemauan Tuhan, sebagai pelaksanaan hukum kausal-alamiah bukan syarat bagi merdeka sebenar-benarnya, tetapi juga syarat untuk memperoleh kesenangan hidup. Deontologi menyatakan, yang bisa disebut baik dalam arti sesungguhnya hanyalah kehendak yang baik. Perbuatan dapat dianggap baik jika dikendalikan oleh kehendak yang baik. Menurut Kant: kehendak menjadi baik jika bertindak karena kewajiban.

Kata Kunci: Kebahagiaan, Hedonisme, Utilitarisme, Stoisisme dan Deontologi.
Kebahagiaan: Tujuan Aktifitas Manusia
Aristoteles menyatakan, bahwa setiap tindakan mempunyai tujuan-tujuannya. Tetapi ada dua macam tujuan; tujuan yang dicari demi sesuatu tujuan selanjutnya dan tujuan yang dicari demi dirinya sendiri. Misalnya tujuan kepandaian dalam ilmu kedokteran itu sendiri hanya demi tujuan selanjutnya, yaitu orang sakit supaya disembuhkan. Menurut Aristoteles tak mungkinlah semua tujuan kita cari demi tujuan lain lagi. Akhirnya mesti ada tujuan yang dicari demi dirinya sendiri. Tujuan itulah yang kita sebut baik pada dirinya sendiri. Maka untuk mengetahui bagaimana sebaiknya kita bertindak, perlu menemukan apa yang menjadi tujuan pada dirinya sendiri. Menurutnya, apa yang dicari demi dirinya sendiri hanyalah satu, yaitu kebahagiaan (eudaimonia).[1]
Dengan mengikuti pendapat Aristoteles di atas, berarti sama halnya dengan kita mengatakan bahwa kebahagiaan adalah motif terdasar dari segala sesuatu yang kita kerjakan. Bagaimanapun juga segala perbuatan manusia, baik yang aktif maupun yang pasif sebenarnya tujuannya hanyalah satu, yaitu kebahagiaan.
Setiap perbuatan kita digerakkan oleh keinginan. Pemuasan keinginan tersebut dituju dan dikehendaki paling sedikit sebagai suatu unsur dalam keseluruhan kebahagiaan kita. Oleh karena itu maka, apa sebenarnya yang dinamakan kebahagiaan ? apakah kebahagiaan itu dapat dicapai ? bagaimana cara memperolehnya ? bagaimana tanda-tanda orang yang memperoleh kebahagiaan ? apakah tujuan dari pengetahuan tentang baik dan buruk dalam relevansinya dengan kebahagiaan kita? Apakah kebahagiaan sempurna itu dapat dicapai di dunia ini? Apa yang disebut kebahagiaan pribadi dan apa pula kebahagiaan bersama?.
Beberapa pertanyaan berangkai di atas, maka persoalan kebahagiaan telah menjadi masalah yang unik dalam kehidupan manusia, utamanya untuk memberikan standar yang pasti tentang apa yang dinamakan kebahagiaan dan bahkan istilah kebahagiaan seringkali terpakai dalam beberapa kata yang kurang konkrit dan parsial sifatnya. Oleh karena itu timbul sengketa di wilayah sekitar makna dan pemakaiannya, sehingga menimbulkan beberapa aliran yang khusus membahas masalah kebahagiaan dari segala sudut dan bentuknya, sebagaimana akan diterangkan berikut ini.

A. Hedonisme
Di dalam filsafat Yunani kuno, tokoh pertama yang dikenal mengajarkan Hedonisme (hedone = kesenangan) ialah Demokritos (400-370 sM), yang memandang kesenangan sebagai tujuan pokok di dalam kehidupan ini. Yang dimaksudkan bukanlah kesenangan fisik, tetapi kesenangan sebagai perangsang bagi intelek manusia.
Pengikut Sokrates, Aristippus (w. _+395 sM) mengajarkan bahwa kesenanganlah yang merupakan satu-satunya nilai yang ingin dicari manusia. Yang dimaksudnya dengan kesenangan ialah rasa senang yang diperdapat langsung melalui panca indera. Orang yang bijaksana selalu mengusahakan kesenangan sebanyak-banyaknya. Kesenangan itu baginya merupakan pengalaman yang lunak, sebab kekerasan dipandangnya menimbulkan rasa sakit.[2]
Contoh yang terkenal dari aliran hedonis ini ialah etika kaum Epikurus (341-270sM). Menurut pengalaman, kata Epikurus, semua manusia ingin mencapai kelezatan dan juga hewan ingin mencapai kelezatan. Dan semuanya didorong oleh watak (tabiat) manusia dan bukan disebabkan pelajaran atau pemikiran akal. Karena itu teranglah, yang menentukan keinginan manusia itu bukanlah akal, akan tetapi natur (fitrah) manusia. Oleh karena sudah nature atau fitrah manusia ingin kepada kelezatan itu, maka diteruskan bahwa tujuan manusia adalah mencari kelezatan.
Kaum hedonis menganggap bahwa perbuatan yang baik adalah perbuatan yang menimbulkan hedone (kenikmatan). Karena kelezatan itu merupakan tujuan, maka semua jalan yang menyampaikan kepadanya adalah sesuatu yang utama (berharga). Akal, pengetahuan serta kebijaksanaan dianggap sebagai keutamaan karena mereka juga merupakan jalan menuju kelezatan itu.[3]
Pendapat kaum Epikurus tentang kelezatan atau kebahagiaan ini secara ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Epikurus berpendapat bahwa kebahagiaan atau kelezatan itu ialah tujuan manusia. Tidak ada kebaikan dalam hidup selain kelezatan dan tidak ada keburukan kecuali penderitaan. Dan etika itu tidak lain selain dari berbuat untuk menghasilkan kebahagiaan.
2. Epikurus berpendapat bahwa kelezatan akal dan rokhani itu lebih penting dari kelezatan badan, karena badan itu berasa dengan lezat dan derita selama adanya kelezatan dan penderitaan itu saja, dan badan itu tidak dapat mengenangkan kelezatan yang telah lalu, tidak dapat merencanakan kelezatan yang akan datang. Adapun akal itu dapat mengenangkan dan merencanakan dan karenanya kelezatan akal itu lebih lama dan lebih kekal. Akal itu mengikuti badan dalam kelezatannya, waktu merasakan kelezatan dan ditambah dengan kelezatan kenangan dan kelezatan rencana.
3. Golongan Epikurus menginginkan kelezatan negatif lebih banyak dari pada kelezatan positif. Mereka memaksudkan dengan kelezatan negatif ialah sunyi dari penderitaan. Mereka tidak memperhatikan benar-benar kepada sangatnya lezat dan rasanya yang menyala-nyala, akan tetapi perhatian mereka yang terbesar ditujukan ke arah kelezatan negatif, seperti ketentraman akal dan ketenangan, dan jauh dari apa yang menyebabkan kegoncangan.
4. Golongan Epikurus berpendapat bahwa kebahagiaan itu tidak tergantung kepada banyaknya kebutuhan dan kecenderungan, bahkan kebanyakan itu menjadikan sukar untuk menghasilkan kebahagiaan. Oleh karenanya wajib bagi kita untuk memperkecil kebutuhan dan keinginan kita sedapat mungkin.[4]
Kelezatan masih tetap menjadi norma perbuatan baik. Tetapi kesenangan di sini tidak meliputi kesenangan badaniah, sebab kesenangan jenis ini akhirnya akan menimbulkan rasa sakit. Senang bagi Epikurus berarti tidak adanya rasa sakit di dalam badan dan tidak ada kesulitan-kesulitan jiwa. Puncak kesenangan baginya ialah ketenagan jiwa. Jiwa dapat meninjau kembali peristiwa yang menyenangkan masa lampau dan juga mungkin yang akan datang. Jiwapun dapat mengatasi keterbatasan tubuh manusia. Biarpun badan sakit, namun jiwa mungkin dapat mengatasinya dengan memusatkan pikiran kepada hal-hal yang lain. Jiwa dapat mengalami rasa sakit yang lebih berat dari pada badan seperti yang kelihatan pada orang yang sakit jiwa. Oleh sebab itulah harus diusahakan supaya jiwa jangan sampai terganggu dan sakit.[5]
Dari jurusan ini Epikurus melihat bahwa kelezatan itu adalah ketentraman jiwa. Ketentraman jiwa ini tidak akan tercapai tanpa keseimbangan badan. Tidak ada keseimbangan badan itulah yang menyebabkan timbulnya keinginan-keinginan manusia kepada kelezatan. Tetapi dari pengalaman ternyata bahwa badan manusia itu keadaannya selalu berubah-ubah dan tidak pernah sungguh-sungguh berada dalam keseimbangan. Dengan begitu Epikurus lalu membuat keseimbangan lain, yaitu keseimbangan rokhani yang menimbulkan kelezatan rasional atau kelezatan rokhani yang bersandar pada keseimbangan jiwa dan akal manusia.
Kaum hedonis modern memilih kata kebahagiaan untuk kesenangan. Menurut Aristippus, kesenangan itu berkat gerakan yang lemah gemulai. Sedangkan rasa sakit berkat gerakan kasar. Kesenangan intelektual mungkin lebih tinggi, tetapi kesenangan panca indera lebih dalam (lebih intensif). Sesuatu perbuatan disebut baik sejauh menyebabkan kesenangan, memberi kenikmatan. Kebajikan berguna untuk menahan kita jangan jatuh ke dalam nafsu yang keterlaluan, yakni gerakan kasar, jadi tidak menyenangkan. Sesuatu adalah baik bila akan menambah kesenangan kita dan buruklah hal yang mengurangi kesenangan. Kesenangan intelektual lebih baik karena lebih tahan lama, tetapi kita tidak merasa cukup tanpa kesenangan-kesenangan indrawi. Orang yang bijaksana mengatur hidupnya sedemikian rupa sehingga dapat mencapai kesenangan sebanyak-banyaknya dan kesedihan sedikit-sedikitnya.[6]
Demikianlah pandangan Hedonisme tentang kelezatan, kenikmatan atau kebahagiaan. Aliran ini lebih dekat mengartikan kebahagiaan pada bentuk-bentuk lahiriyah, yakni kelezatan, kenikmatan dan sebagainya. Akal dijadikan alat supaya dapat mengantarkan kepada kelezatan itu, mengenang dan merencanakannya di masa yang akan datang. Inilah fakta moral yang dirancang hedonisme agar manusia dapat merasakan kelezatan itu dalam waktu yang relatif lama, yang melampaui perasaan lezat pada badan ketika ia merasakan kebahagiaan.

B. Utilitarisme.
Secara historis aliran ini terbit dari hedonisme. Hume dalam suatu tulisannya yang terkenal, menolak gagasan kontrak sosial sebagai suatu takhayyul dan menganjurkan supaya tidak ada ukuran legitimasi dalam masyarakat untuk selain dari pada kegunaan. Bacaan tentang inilah yang memberikan inspirasi pada Jeremy Bentham (1748-1832) untuk menulis karyanya “Fragment on Government” (1776), suatu karya yang berusaha memperkenalkan akal sehat dan metode ilmiah dalam pembahasan masalah negara.
Bentham menterjemahkan optimisme ini ke dalam bahasa filsafat moral. Premis Bentham cukup sederhana, yaitu Hedonisme Psikologis. Manusia mencari kesenangan dan menghindarkan rasa sakit, dan itulah satu-satunya fakta moral yang tunggal.
“Alam telah menempatkan manusia di bawah kekuasaan dua majikan, yaitu sakit dan senang. Mereka menguasai kita dalam segala tindakan, ucapan dan dalam segalanya yang kita pikirkan. Setiap usaha kita untuk melepaskan diri dari kekuasaan tersebut, hanya akan membuktikan dan membenarkan kenyataan itu. Dalam perkataan, manusia mungkin berpura-pura mengutuk kekuasaan tersebut, tetapi dalam kenyataan dia tetap tunduk selamanya”.
Bentham mengubah dengan segera pengamatan ini menjadi suatu prinsip yang mengatakan bahwa hanya demi kesenangan dan rasa sakit “kita menyatakan apa yang harus kita lakukan dan menentukan apa yang kita lakukan”. Dari pernyataan ini selangkah pendek saja lagi kita sampai pada azas kegunaan (utility) yang terkenal itu. Azas ini menyatakan bahwa “kebahagiaan yang paling besar dari semua mereka yang kepentingannya dipersoalkan” adalah tujuan tindakan manusia sebagai satu-satunya tujuan yang benar dan pantas serta didambakan secara universal.[7]
Utilitarisme adalah aliran yang memandang baik dan buruknya segala perbuatan manusia itu ditinjau dari sudut pandang kwantita, kecil besarnya manfaat bagi manusia. Adapun yang dimaksudkan dengan manfaat di sini adalah suatu kebahagiaan untuk jumlah manusia yang sebesar-besarnya (utility is happiness for the greatest number of sentient being).[8]
Jadi tujuan aktifitas hidup manusia menurut aliran ini adalah kebahagiaan yang paling besar bagi jumlah terbesar orang (the greates happiness of the greatest number).
Keuntungan besar yang nampak dari azas ini ialah bahwa prinsip tersebut memungkinkan etika untuk dapat dipahami secara kuantitatif. Kita dapat membayangkan satuan dari kesenangan dan penderitaan—untuk dinilai dalam konteks intensitas, lamanya, kepastiannya, persamaannya dan sebagainya—untuk mengukur satu tindakan terhadap tindakan yang lain.[9]
Bentham mengatakan bahwa kesenangan dan kesedihan perorangan adalah bergantung kepada kebahagiaan dan kemakmuran pada umumnya dari seluruh masyarakat.[10] Perbuatan-perbuatan yang menimbulkan rasa senang adalah baik dan yang menyebabkan rasa sakit adalah buruk. Kedua jenis perasaan inilah yang menentukan apakah yang dipikirkan, dikatakan dan diperbuat manusia. Manusia itu adalah makhluk yang mencari kesenangan dan mengelakkan rasa sakit. Perbuatan yang sesuai dengan prinsip utility akan meningkatkan kebahagiaan seseorang dan juga kebahagiaan masyarakat.[11]
Aliran Utilitarisme mencapai perkembangan sepenuhnya dalam diri John Stuart Mill (1806-1873). Mill mengatakan bahwa kesenangan itu berbeda dalam kualitas dan juga berbeda dalam kuantitas. Tujuan perbuatan manusia dan ukuran moralitas adalah hidup bebas dari kesedihan dan sekaya-kayanya dalam kesenangan, baik dalam kualitas maupun kuantitasnya. Seterusnya Mill berkata bahwa kebajikan tidaklah berlawanan dengan kebahagiaan. Kebajikan adalah salah satu unsur yang membuat bahagia.[12] Kebahagiaan terdiri dari kebiasaan-kebiasaan yang moral baik.
Sikap etis yang wajar ialah menghitung-hitung dengan cermat rasa senang dan jumlah rasa sakit sebagai hasil perbuatan untuk kemudian mengurangi jumlah rasa sakit dari pada jumlah rasa senang. Kalau rasa senang lebih banyak dari pada rasa sakit, maka perbuatan itupun dapat dinilai baik. Perhitungan jumlah rasa senang dan jumlah rasa sakit ini dikenal dengan nama “hedonistic calculus” dapat dilakukan, sebab Bentham melihat tujuh unsur atau dimensi dari nilai-nilai rasa sakit dan rasa senang sebagai berikut.
1. Intensity (kuat lemahnya perasaan sakit atau senang)
2. Duration (lama atau pendeknya waktu berlakunya rasa senang itu)
3. Certainty (kepastian akan timbulnya perasaan itu)
4. Propinguity (dekat-jauhnya dalam waktu terjadinya perasaan itu)
5. Facundity (kemungkinan perasaan itu diikuti oleh perasaan yang sama)
6. Purity (kemurnian, tidak bercampurnya dengan perasaan yang berlawanan)
7. Extent (jumlah orang yang akan terkena oleh perasaan itu).[13]
Enam unsur pertama mengenai perbuatan yang menimbulkan rasa senang atau rasa sakit dari orang per orang, tetapi unsure ke tujuh khusus mengenai orang lain yang terkena oleh rasa senang sebagai akibat dari perbuatan seseorang. Dengan unsur ke tujuh ini etika yang individualistik berubah menjadi etika sosial sifatnya.
Dengan hedonistic calculus ini Bentham memberikan dasar matematik kepada bidang etika, sebab ke tujuh unsur-dimensi dari rasa senang itu dapat diukur. Etika oleh karena itu akan memberi arah bagi perbuatan-perbuatan manusia. Tiap orang dapat menjumlah rasa senang dan mengurangi rasa sakit untuk mencapai hasil yang akan menentukan, apakah perbuatan itu akan dilakukan atau tidak.[14] Akhirnya Utilitarisme ini adalah sebagai teori teleologis universalis. Teleologis karena mengukur betul-salahnya tindakan manusia dari manfaat akibatnya. Utilitarisme bersifat universalis karena yang menjadi norma moral bukanlah akibat-akibat baik bagi si pelaku sendiri saja, melainkan akibat-akibat baik di seluruh dunia. Kita harus memperhatikan kepentingan dari semua orang yang akan terpengaruh oleh tindakan kita, termasuk kita sendiri. Maka dengan demikian Utilitarisme mengatasi egoisme dan membenarkan bahwa pengorbanan dari kepentingan atau nikmatnya sendiri demi orang lain dapat merupakan tindakan yang paling tinggi nilai moralnya.[15]
Utilitarisme hanya menuntut maksimalisasi dari akibat-akibat baik, sedangkan apa yang dianggap baik dapat berbeda-beda. Maka ada utilitarisme egois dan ada juga yang eudomonis atau pluralis, artinya mengenai pelbagai hal yang bernilai pada dirinya sendiri, bukan hanya satu saja.[16] Namun demikian sejak lebih dari tiga puluh tahun dibedakan
dua macam utilitarisme yang memang berlainan, yakni utilitarisme
tindakan dan utilitarisme peraturan.
a. Utilitarisme tindakan. Kaidahnya dapat dirumuskan bertindaklah sedemikian rupa, sehingga tindakanmu itu menghasilkan suatu kelebihan akibat-akibat baik di dunia yang sebesar mungkin dibandingkan dengan akibat-akibat yang buruk
b. Utilitarisme peraturan. Berbeda dengan utilitarisme tindakan, maka utilitarisme peraturan kaidahnya dapat dirumuskan: bertindaklah selalu sesuai dengan kaidah-kaidah yang penetapannya menghasilkan kelebihan akibat-akibat baik di dunia yang sebesar mungkin dibandingkan dengan akibat-akibat buruk.[17]
Pada kaidah pertama (utilitarisme tindakan), kaidah macam itu ternyata makin lama makin diserang, sehingga hampir tidak ada lagi yang membelanya. Alasannya bukan hanya bahwa kiranya orang tidak dapat hidup sama sekali tanpa peraturan, tetapi bahwa setiap pernyataan moral mengandung unsur bahwa harus diulangi dalam situasi yang sama, walaupun barangkali akibat-akibatnya berlainan. Hal ini dapat dihayati dari contoh berikut ini : “seorang ibu mau mencuri beberapa blek/kaleng daging dari toko makanan besar untuk memberikannya kepada seorang gelandangan”. Apakah ibu itu boleh berbuat begitu? Mengingat rugi toko itu kecil sekali. Di lain pihak blek-blek itu amat bermanfaat bagi seorang gelandangan. Utilitarisme tindakan dapat membenarkan pencurian itu, tetapi apakah itu dapat diterima? Bukankah ada bahaya bahwa dengan demikian seluruh keteraturan masyarakat akan goyang?. Bukankah pencurian semacam itu paling-paling boleh menjadi usaha terakhir kalau ibu itu tidak melihat lagi jalan lain untuk mempertahankan nyawa si gelandangan itu (sedangkan utilitarisme tindakan tidak menuntut terpenuhinya syarat itu).
Oleh sebab itu menurut kaidah kedua, yang mencoba memperbaikinya supaya luput dari serangan-serangan itu. Sekarang yang diperhitungkan bukan lagi akibat baik dan buruk dari tindakan itu sendiri masing-masing, melainkan dari peraturan umum yang mendasari tindakan itu. Jadi yang dipersoalkan sekarang adalah akibat-akibat baik dari suatu peraturan andaikata dianggap berlaku umum.
Hal ini menurut Mill terdapat suatu hambatan setelah dipadukan dengan membahas persoalan kebebasan politik (on liberty). Bahwa persoalan politik dapat dipecahkan kalau soal itu dipandang secara negatif. Dalam arti segala pembatasan yang sah dapat dikenakan pada individu. Dan karena kebahagiaan terletak pada pemuasan keinginan, maka kebebasan politik kalau harus merupakan suatu nilai yang sesuai dengan azas utilitas, maka harus ada dalam kebebasan untuk memberi kepuasan pada keinginan. Namun orang mungkin menginginkan melakukan sesuatu yang merintangi pemuasan keinginan orang lain. Azas mana yang harus digunakan dalam memberikan pengesahan antara keduanya? Atau tidak perlu ada azas itu? Hanya perjuangan kodrat untuk berkuasa.
Tampaknya bagi Mill pasti harus ada hambatan, tetapi tidak dapat didasarkan hanya atas dasar utilitas, karena itu, tidak akan menuju pada hukum yang tercipta dan tidak ada kepatuhan rakyat pada tatanan yang sudah nyata. Orang dapat saja berbeda pendapat mengenai kepuasan mana yang akan lebih besar atau yang paling menguntungkan untuk jangka panjang.[18]
Demikianlah pandangan Utilitarisme tentang kebahagiaan dalam bentuknya yang lebih mengarah dan hanya diarahkan pada azas manfaat yang dirasakan oleh sebagian besar orang akibat tindakan kita dan kemaslahatan di dunia pada umumnya.

C. Stoisisme.
Pada mulanya stoisis berasal dari nama sekolah yang didirikanDalam filsafat kuno, aliran stoisis langsung berlawanan dengan hedonisme Epikurus. Anthisthenes, sebagaimana juga Aristippus adalah murid Sokrates.
oleh Zeno (336-264). Perkataan stoa diambil dari bahasa Greek, yang berarti ruang (ukiran yang terdapat dalam ruang). Seperti dengan kaum Epikurus, kaum stoa berbicara tentang persoalan-persoalan yang mengarah pada satu titik tujuan dari pada aktifitas manusia sebagai motif terdasarnya, yaitu kebahagiaan. Mereka mengatakan; kalau manusia mencari kebebasan, janganlah ia mencoba mencari dengan berusaha meloloskan diri dari kodratnya, tetapi dengan jalan bekerja dan bertahan diri.[19]
Menurut Zeno kebajikan itu mendorong untuk hidup dalam persesuaian, artinya hidup menurut suatu pedoman yang berdasarkan akal yang sehat. Kalau Clenthes mengatakan “sesuai dengan alam”. Artinya demikian, manusia sebagai bagian dari pada alam raya memiliki nafsu-nafsu asli, yaitu nafsu untuk mempertahankan hidupnya. Nafsu ini pada manusia sudah mempunyai sifat kerokhanian, dan berupa nafsu mempertahankan akalnya, sebab akal manusia adalah “aku”nya. Jadi sesuai dengan alam di sini berarti sesuai dengan dirinya sebagai makhluk yang mempunyai akal sehat, tetapi disamping itu juga sesuai dengan tata pada alam semesta. Jadi sesuai dengan akal ketuhanan.[20]
Alam semesta ini terdiri dari pada benda yang kecil sekali dan yang besar. Semuanya itu dikuasai oleh suatu tenaga, suatu kemauan saja. Dengan pendapat semacam itu kaum stoalah yang pertama kali mengatakan bahwa segala sesuatu yang terjadi di dalam alam ini dikuasai oleh hukum kausalitas.
Apa yang terjadi, berlaku sebagai gerak. Tiap-tiap gerak ada yang menyebabkan ia bergerak. Suatu kebetulan tidak ada. Segala yang terjadi, bergerak sebagai suatu kemestian yang tidak dapat diubah. Dasar kemestian yang tidak dapat diubah itu dikemukakan oleh kaum stoa dalam segala bidang penghidupan. Dalam paham kaum stoa, merdeka dan mesti adalah dua serangkai. Budi hidup yang setinggi-tingginya ialah hidup menurut hukum alam.[21] Yang dinamakan orang yang sempurna ialah seorang yang benar-benar bijaksana, tidak ada orang lain sebebas, sekaya dan sebahagia dia.[22] Kesadaran yang tepat pada seseorang, terutama pada seorang yang bijaksana adalah sebab tindakannya. Manusia yang hidup menurut kesadaran yang tepat –menurut alamnya—akan sehat hidupnya. Manusia yang khilaf --yang hidup menyimpang dari alam yang semestinya itu –akan sakit. Berbuat jahat dan berbuat salah dapatlah diapandang sebagai penyakit, sebagai penyelewenangan dari pada norma alam.[23] Oleh sebab itu seseorang baru dikatakan bijaksana, kalau ia tidak berbuat satu dosapun. Dosa yang bagaimanapun kecilnya akan membuat seseorang bijaksana menjadi seorang “tolol”.[24] Kesadaran yang tepat itu –yaitu kemestian—menjadi dasar yang tertinggi dari pada alam, kosmos seluruhnya. Kesadaran Tuhan menyusun semuanya dalam keadaan sempurna, tepat menurut tujuannya dan dalam keadaan indah. Sebab itu manusia yang hidup menurut alamnya adalah merdeka sepenuh-penuhnya. Yang dimaksud merdeka di sini ialah menurut apa kehendak alam, sebab alam berkembang sesuai dengan hukum yang tidak dapat dibelokkan. Mereka mengatakan bahwa tidak ada hal lain yang terjadi kecuali apa yang sungguh-sungguh terjadi. Pemberontakan hanyalah reaksi emosional terhadap alam dan hanya membuat dirinya menderita. Alam tetap tinggal tenang meski aku memakinya sekuat tenaga. Bertindak sesuai dengan akal budi yang menunjukkan kepaku hukum alam yang tidak terbelokkan, hanya itulah yang baik. Ini kebajikan. Orang yang berkebajikan tetap tegak berdiri meskipun dunia berantakan di kanan kirinya. Yang hidup dengan alam adalah seorang yang bijaksana atau seorang filosof. Yang tidak sesuai dengan alam adalah orang sinting (a fool).[25]
Oleh sebab itulah filosofi yang sebenarnya dapat disamakan dengan obat mujarab, yang menjernihkan pikiran, menyehatkan pertimbangan dan yang membedakan apa yang layak dituju dan apa yang harus disingkirkan, sehingga manusia dapat mendidik dirinya dengan merdeka sesuai dengan semestinya (alamnya). Demikianlah filosofi membimbing manusia ke jalan kemerdekaan yang benar dan tepat. Sebab itu manusia yang berpikir dan berbuat secara stoa dapat dikatakan benar-benar merdeka. Persesuaian kemauan manusia dengan kemauan Tuhan, sebagai pelaksanaan hukum kausal alamiah, bukan syarat bagi merdeka sebenar-benarnya tetapi juga syarat untuk memperoleh kesenangan hidup.[26]
Jika John Stuart Mill (utilitarisme), mengatakan bahwa kebajikan adalah unsur yang membuat bahagia, maka Anthisthenes, mengajarkan bahwa kebajikan tidak hanya jalan ke arah kebahagiaan, tetapi kebajikan adalah kebaikan, dan tabiat buruk adalah satu-satunya kejahatan, dan hal-hal lainnya adalah indeferen. Kesesatan paling besar adalah bahwa kesenangan itu adalah sesuatu yang baik, sehingga Anthisthenes konon pernah berkata “ aku lebih baik gila dari pada senang “. Hakekat kebajikan adalah self-sufficiency, merdeka, tidak bergantung pada apa dan siapa saja.[27]
Begitulah pandangan stoisisme. Aliran ini menggantungkan diri pada panggilan natur (alam/fitrah) dengan segala keteraturan dan kesempurnaannya. Akal, karena bagian dari pada alam, maka akal merupakan alat yang utama untuk mencari persesuaian dengan alam kosmos seluruhnya. Tuhan sebagai pencipta alam yang telah merancangnya dengan sempurna, maka mencari persesuaian dengan kehendak Tuhan adalah sebagai hukum kausal ilmiah sekaligus sebagai syarat untuk merdeka dan memperoleh bahagia.

D. Deontologi
Yang menciptakan sistem moral ini adalah Immauel Kant (1724-1808). Menurut Kant, yang bisa disebut baik dalam arti sesungguhnya hanyalah kehendak yang baik. Semua hal lain disebut baik secara terbatas atau dengan syarat. Misalnya kesehatan, kekayaan, atau intelengensia adalah baik jika digunakan dengan baik oleh kehendak manusia. Tetapi jika dipakai oleh kehendak yang jahat, semua hal itu bisa menjadi jelek sekali. Bahkan keutamaan-keutamaan bisa disalahgunakan oleh kehendak yang jahat. Sedang, apakah yang membuat kehendak menjadi baik?. Menurut Kant, kehendak menjadi baik, jika bertindak karena kewajiban. Kalau perbuatan dilakukan dengan suatu maksud atau motif lain, perbuatan itu tidak bisa disebut baik, betatapun luhur atau terpuji motif itu. Misalnya kalau perbuatan dilakukan karena kecenderungan atau watak, perbuatan itu secara moral tidak baik. Bagi Kant, perbuatan-perbuatan yang berasal dari kecenderungan macam itu tidak bisa disebut baik, tetapi dari sudut moral netral saja. Perbuatan adalah baik jika hanya dilakukan karena wajib dilakukan. Jadi, belum cukup jika sesuatu perbuatan sesuai dengan kewajiban. Seharusnya perbuatan itu dilakukan berdasarkan kewajiban. Bertindak sesuai dengan kewajiban oleh Kant disebut legalitas. Dengan legalitas kita memenuhi norma hukum. Misalnya, tidak penting dengan motif apa saja saya membayar pajak, asal saja saya bayar jumlah uang yang sesuai dengan kewajiban saya. Tetapi dengan itu saya belum memenuhi norma moral. Saya baru memasuki taraf moralitas jika saya melakukan perbuatan semata-mata karena kewajiban. Kata Kant, suatu perbuatan bersifat moral jika dilakukan semata-mata karena hormat untuk hukum moral. Dengan hukum moral dimaksudkannya kewajiban.[28]
Ada dua kewajiban moral menurut Kant, yaitu imperatif hipotetis dan imperatif kategoris. Yang pertama dapat dikenal dengan adanya anteseden kondisional, yakni kata “jikalau”, yang mengacu pada persyaratan mengenai kebutuhan atau keinginan. Jika anda ingin minum, pergilah ke ruang tamu. Akibat dari suatu imperatif seperti menyatakan (jika seluruhnya sah) suatu sarana yang memadai bagi kepuasan kebutuhan atau keinginan yang disebutkan dalam anteseden. Imperatif seperti ini dapat dibenarkan secara obyektif, tanpa mengandaikan suatu tugas khusus rasio praktis. Cukuplah menunjukkan bahwa sarana yang dimaksud itu memadai untuk tujuan yang diandaikan. Tetapi dalam suatu makna yang penting, dia tidak memiliki dan tidak pula menuntut obyektifitas; karena dia memberi bermacam alasan untuk bertindak hanya kepada orang yang punya keinginan seperti yang disebutkan dalam anteseden. Pengaruh atau daya motivitasnya bergantung kepada keinginan aktual subyek yang dituju, dan tunduk pada daya motivasi dari berbagai keinginan tersebut.
Adapun imperatif kategoris, tidak berkaitan dengan keinginan dan kebutuhan tertentu, dan oleh karena itu kesahannya tidak bergantung (seandainya mampu menerima kesahan) pada syarat-syarat empiris seperti yang dikemukakan Kant. Imperatif semacam ini tidak mengandung “jikalau” dan tidak ada konsesi bagi kepentingan-kepentingan subyek anteseden. Imperatif ini berbentuk “lakukan ini”! Anda harus laksanakan ini!. Hadirnya istilah “harus” itu menunjukkan bahwa, sementara dia mungkin tidak mempunyai keabsahan, dia jelas menuntutnya. Dan tuntutan di sini ialah bagi suatu obyektifitas yang sejati, dan tidak bergantung pada rasio teoritis. Pernyataan ini adalah tuntutan untuk mengikat subyek tanpa memperdulikan keinginan sebenarnya untuk menyatakan, sebagai suatu perintah rasio, suatu perintah yang harus dilakukan.[29] Inti deontologi ini cocok dengan pengalaman moral kita, terutama sebagaimana tampak dalam hati nurani. Kita memang sering merasa terikat dengan kewajiban dalam perilaku moral kita, sehingga tidak bisa disangkal bahwa kewajiban merupakan aspek penting dalam hidup moral kita. Tapi ada juga kritik serius terhadap teori ini. Kritik itu tidak ditujukan kepada peranan kewajiban itu sendiri, melainkan pada peranan ekklusif kewajiban di bidang moral.
Akhisrnya sampai pandangan William David Ross (1877-1971). Ross menerima teori Deontolgi, tapi dia menambah sebuah nuansa penting. Kewajiban itu selalu merupakan kewajiban prima facie (pada pandangan pertama). Artinya suatu kewajiban untuk sementara, dan hanya berlaku sampai timbul kewajiban lebih penting lagi yang mengalahkan kewajiban pertama tadi. Ross menyusun sebuah daftar kewajiban yang kesemuanya merupakan kewajiban prima facie, yakni:
1. Kewajiban kesetiaan; kita harus menepati janji yang diadakan dengan bebas
2. Kewajiban ganti rugi; kita harus melunasi hutang moril dan materiil
3. Kewajiban terimakasih; kita harus berterimakasih kepada orang yang berbuat baik kepada kita
4. Kewajiban keadilan; kita harus membagikan hal-hal yang menyenangkan sesuai dengan jasa orang yang bersangkutan
5. Kewajiban berbuat baik; kita harus membantu orang lain yang membutuhkan bantuan kita
6. Kewajiban mengembangkan dirinya; kita harus mengembangkan dan meningkatkan bakat kita di bidang keutamaan, intelegensia dan sebagainya
7. Kewajiban untuk tidak merugikan; kita tidak boleh melakukan sesuatu yang merugikan orang lain (satu-satunya kewajiban yang dirumuskan Ross dalam bentuk negatif).
Menurut Ross, setiap manusia mempunyai intuisi tentang kewajiban-kewajiban itu. Artinya, semua kewajiban itu berlaku langsung bagi kita. Tapi kita tidak mempunyai intuisi tentang apa yang terbaik dalam suatu situasi konkrit. Untuk itu perlu kita pergunakan akal budi. Kita harus mempertimbangkan dalam setiap kasus mana kewajiban yang paling penting, jika tidak mungkin memenuhi semua kewajiban sekaligus. Kewajiban-kewajiban lain kalah terhadap kewajiban yang dinilai paling penting.[30]
Kebahagiaan: Suatu Analisis Filosofis
Kebahagiaan adalah sekadar nama untuk menyatakan keadaan sadar kita bahwa keinginan kita telah atau sedang dipuaskan. Ini artinya, kebahagiaan tidak lain selain dari pada wujud kesadaran jiwa dan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mengembalikan segala keadaan yang terjadi di saat mana manusia mengalami peristiwa kehidupannya pada porsi budi sempurna dalam bentuk pengertian-pengertian, dari penderitaan, kesengsaraan dan kesenangan, kegembiraan pada hikmah dan nikmat terbesar. Sebab seseorang barangkali boleh jadi beranggapan lebih baik menderita penderitaan yang sedang diderita dari pada menderita karena berusaha mengeluarkan diri dari penderitaan yang diderita itu. Atau dengan ungkapan lain, lebih baik menderita penderitaan dari pada harus memikirkan penderitaannya, sebab dia telah menderita penderitaan itu adalah menderita ditambah lagi dengan penderitaan karena memikirkan beban penderitannya.
Bila kepuasaan manusia yang dialami beraksentuasi dan atau berorientasi pada kesenangan hidup tidak bernilai baik, bukan kebajikan, maka kebahagiaan tersebut sebenarnya adalah penderitaan untuk sementara waktu di saat mana manusia melakukannya dalam bentuk “suffering”. Berbeda dan bahkan sebaliknya, bila seseorang menderita penderitaan sebab melakukan sesuatu hal yang bernilai baik, luhur, kebajikan, maka penderitaan semacam ini sebenarnya adalah kebahagiaan dalam waktu yang tidak terbatas. Artinya, seorang bijak tidak akan menganggap musibah yang menimpa dirinya dari perlakuan ketidak-adilan sebagai penderitaan, karena kesadarannya telah melampaui nasib yang ditimpa badannya.
Kepuasan jasmani belaka, bukanlah kebahagiaan atau hal-hal yang menghiasi hidup manusia, seperti kekayaan, keluarga, kehormatan, ketenaran, kekuasaan, pengaruh dan sebagainya, tidak dapat membuat manusia bahagia sempurna. Bukan karena itu semua yang menyebabkan tidak bahagia, tetapi dapat menyebabkan ketidak-bahagiaan karena beban dan tanggung jawab yang harus dipikul karena nama, pangkat dan kebesaran tersebut.
Beberapa konsep kebahagiaan para filosof, seperti Sokrates, Plato, Aristoteles, deontologi dan berbagai aliran seperti Hedonisme, Utilitiarisme, Stoisisme tentang kebahagiaan dalam hubungannya dengan kehidupan, kebaikan dan pengertian budi adalah suatu bentuk penyajian pandangan yang berkekuatan intelektual tinggi, sehingga bagaimanapun juga dapat diterima dan dibenarkan secara argumentatif. Hal itu tercermin dari penataan pemikiran yang rapi, kritis dan rasional. Ia adalah gambaran tentang kesempurnaan dari daya-cita manusia. Jadi wujudnya teoritis-ideal. Akan tetapi yang kritis-rasional-teoritis tersebut belum pasti realistis dan mendatangkan manfaat yang besar bagi kehidupan manusia, sehingga kadangkala pandangan-pandangan tersebut sukar untuk diterjemahkan secara fungsional dalam bentuk kehidupan praktis. Bukan hanya semua itu -tetapi lebih dari itu-, titik kulminasi dari permainan pemikiran tersebut sering tak dapat ditemukan secara pasti, tepat dan benar. Artinya, setiap ujung dari dan kesimpulan yang dicapai oleh akal segera dapat dipertanyakan kembali. Hal ini lalu merupakan wilayah sengketa di sekitar hasil pemikiran itu sendiri, dan berikut menimbulkan berbagai konflik internal-intelektual yang tak terselesaikan secara tuntas, karena masing-masing argumentasi hanya beroperasi di seputar wilayah sengketa tersebut (acrobathic intelectual). Dengan perkataan lain, dalam beberapa teori tentang hakikat pemikiran filsafat yang dimaksudkan untuk menjelaskan bagaimana terdapat suatu disiplin intelektual yang seluruhnya abstrak, tetapi dimaksudkan untuk diamalkan secara fungsional dalam kehidupan praktis. Konflik eksistensial inilah yang memberi inspirasi dan embrio timbulnya beberapa aliran yang secara khusus mempersoalkan kebahagiaan yang dicapai oleh renungan /kontemplasi diri pemikiran.
Manusia tidak dapat membuat dirinya bahagia sempurna dalam hidup di dunia ini, disebabkan: 1). Ada hal-hal yang baik dan sesuai untuk badan 2). Ada hal-hal yang baik dan sesuai untuk jiwa, dan 3). Ada hal-hal yang baik dan sesuai untuk jiwa dan badan secara serempak. Jelasnya, karena terdapat tuntutan-tuntutan yang dihadapi pribadi-pribadi, yaitu tuntutan yang menyebabkan kita memilih alternatif-alternatif moral. Manusia memiliki kesulitan-kesulitan untuk memenuhi berbagai macam tuntutan hidupnya, yakni:
1. Tuntutan-tuntutan fisik. Terdapat kebutuhan-kebutuhan fisik yang harus dipenuhi dengan jalan keputusan dan tindakan yang tepat. Jika orang hidup dengan cara tertentu ia akan tetap hidup dan sehat. Jika ia mengubah cara hidupnya, kehidupannya akan susah, dan bahkan ia mungkin mati, misalnya seseorang memerlukan hawa yang segar, sinar matahari, temperatur tertentu, makan dan minum, gerak badan dan tidur jika ia ingin agar badannya berfungsi baik
2. Tuntutan-tuntutan psikologis dan sosial. Terdapat dorongan-dorongan dan keinginan-keinginan pokok yang muncul dari keadaan psikologis dan kebutuhan-kebutuhan sosial. Dorongan-dorongan ini menampakkan diri dengan cara-cara yang sama di mana saja manusia hidup. Dalam tempat-tempat tersebut, kehidupan memajukan tuntutan-tuntutan kepada kita. Kemarahan, ketakutan, dengki, keresahan, menyebabkan penderitaan kepada tubuh dan condong untuk merusak kehidupan sosial.
3. Tuntutan-tuntutan spiritual dan intelektual. Ada tuntutan spiritual dan intelektual juga, ada kewajiban moral untuk mendapatkan informasi tentang soal-soal penting dan untuk bertindak secara pandai sedapat mungkin. Kecerdasan-kecerdasan condong untuk menghemat waktu, tenaga, bahkan menyelamatkan jiwa. Dalam hal ini terdapat keyakinan yang universal yang mendapat ekpresi dalam sistem sosial dan keagamaan, bahwa kepuasan akal dan jiwa lebih diperlukan dan lebih langgeng dari pada kepuasan badan.[31]
Sedangkan di antara sebab-sebab yang menyebabkan seseorang tidak menjadi filosof yang bahagia benar-benar ialah:
1. Kebahagiaan ialah suatu kegembiraan yang sempurna dan abadi bagi jiwa dan badan bersama-sama, karena kebahagiaan yang terbatas bukan kebahagiaan dalam arti yang sebenarnya
2. Berakhirnya kebahagiaan sebagai suatu hal yang dapat diduga menyusahkan keadaan kita. Oleh karena itu, kita menginginkan keabadian sebagai syarat asasi bagi kebahagiaan, disebabkan kita menginginkan hidup bahagia untuk selamanya.[32]
Bagaimana jiwa manusia bisa mendapatkan kebahagiaan sempurna pada dirinya, sedang ia terus-menerus membutuhkan kesenangan yang menjadi tujuan yang pada tempatnya. Bagaimana juga usaha yang dilakukannya, namun filsafatnya dan keutamaannya tidak bisa menjelma dari dirinya, dikarenakan memang tidak dimilikinya terdapat pada dirinya.
Konsep kebahagiaan yang disandarkan pada panggilan natur (fitrah) sebagaimana dipahami dari aliran Stoa (Stoisisme), dari melalui kejadian manusia melulu, walaupun dapat diterima dan dibenarkan secara argumentatif, tidaklah dapat menjamin kelangsungan hidup secara realistik, disebabkan oleh peristiwa hidup yang secara kodrati direka dan belum pasti. Oleh karena alam memperlengkapi manusia dengan kemampuan-kemampuan seperti yang dimaksud, supaya kita mengembangkannya sampai sepenuhnya, tetapi hal itu tidak akan membuat manusia bahagia sempurna, disebabkan perkembangan diri adalah suatu tujuan manusia tetapi bukan tujuan terakhir yang deterministik.
Lain halnya dengan aliran hedonis (Hedonisme) yang berbeda pandangan dengan Stosisime/Naturalisme. Jika stoisisme sebagai pandangan filsafat yang berdiri dan menganggap keteraturan alam sebagai tujuan idealnya, maka bagi kaum hedonis lezat adalah sebagai tujuan dasar aktifitas manusia. Kalau kita senang tentu senang akan sesuatu, yang berarti kita senang mengerjakan sesuatu. Dari sini kesimpulannya, bahwa kesenangan adalah pengiring pemakaian biasa dari kemampuan-kemampuan yang adanya untuk pemenuhan suatu tujuan. Umpamanya kita makan, pertama-tama untuk menjaga kelangsungan hidup kita, meskipun makan itu juga menyenangkan. Mungkin kita tidak akan bersusah makan andaikata kita tidak merasa lapar dan makanan itu sendiri tidak mempunyai rasa. Kita mempunyai mata untuk menangkap apa yang kita butuhkan dan membimbing gerak-gerik kita, meski banyak pandangan yang menyebabkan kesenangan. Kita buka mata kita terus-menerus karena sungguh-sungguh kita alami senangnya melihat. Seks diperuntukkan repropuksi manusia baru, meskipun seks juga mempunyai kenikmatannya. Orang tidak akan mau memikul beban tanggung jawab yang begitu besar dalam berkeluarga andaikata ia tidak tertarik akan kesenangan hidup perkawinan. Intelek memungkinkan kita untuk hidup secara beradab, dan juga kita mengalami kesenangan apabila ada problem yang bisa dikupas secara baik dan memuaskan. Kita hendak berpikir sungguh-sungguh andaikata kita tidak mengetahui bahwa soal atau problem itu sesuatu tantangan yang menarik.
Oleh sebab itu manusia dengan akal pikirannya menemui banyakKesenangan altruistis seperti dijelaskan oleh Utilitarisme, meskipun lebih tinggi tarafnya dari kesenangan egois-individualis, juga mereka tidak akan menemukan tujuan terakhir, sebab beberapa orang tidak mempunyai waktu dan tidak mampu untuk berkarya semacam itu. Kesenangan yang diciptakan dari hasil karya itu sering dinodai dengan sikap apati dan tidak mengerti terimakasih, juga dengan salah pengertian. Disamping itu ada gagasan yang kurang tepat, kurang koheren, yakni andaikata memperbaiki nasib orang lain adalah sebagai akhir tujuan kita, lalu apakah tujuan orang-orang yang diperbaiki nasibnya itu? Apabila adaku untuk orang lain, lalu orang lain itu untuk apa? Apabila setiap orang adanya demi setiap orang lain, lalu kalau seluruh proses kita teruskan, mengikuti gerak lingkaran setan (satanic circle) yang tidak ada mana ujung mana pangkal. Kesimpulannya yang kita dapati adalah tidak seorangpun yang sesungguhnya ada demi sesuatu atau dengan perkataan lain adaku adalah untuk diriku sendiri bukan demi yang lain.
kesulitan untuk mencapai bahagia sempurna (tujuan terakhirnya) di dunia ini. Atau segala sesuatu yang sesuai dengan tarafnya dengan manusia tidak dapat membuat bahagia sempurna. Dengan demikian manusia dapat menyempurnakan kebahagiaannya dengan cara bergantung pada sesuatu yang dapat mengatasi segala sesuatu, yaitu sesuatu yang berada di atas tarafnya pada sesuatu yang tidak terbatas, Tuhan.

Kebahagiaan Islami: Suatu Alternatif.
Dalam pembahasan terdahulu dapat dipahami bahwa akallah semata yang dijadikan instrumen untuk menentukan segala ukuran perbuatan manusia dan dinilai baik atau buruk, kebahagiaan, penderitaan dan sebagainya. Maka di sini akan disajikan tinjauan Islam dalam keterkaitannya dengan pembahasan tentang kebahagiaan.
Orang yang mempunyai akal dan perasaan (pancaindra) yang sehat, mengakui dengan menyaksikan bahwa dirinya adalah ada (maujud). Demikian pula ia menyaksikan bahwa ia mempunyai kemauan untuk melakukan perbuatan-perbuatan dengan ikhtiar, yang dipertimbangkan dengan akal dan ditentukan dengan kehendak (iradat) sendiri. Kemudian barulah perbuatan itu dianggap tepat dan dilaksanakan dengan sepenuh kodrat yang ada dalam dirinya. Siapa yang berani mengingkari ketentuan seperti itu, dianggap sama dengan mengingkari wujud dirinya sendiri, karena ketentuan itu merupakan kenyataan yang logis dan dibenarkan oleh akal.
Setiap manusia kadangkala bermaksud untuk memperoleh tujuan yang baik, mencari kebenaran, kebahagiaan –tetapi seringkali pula yang didapat malah sebaliknya—buruk dan penderitaan, ia jatuh ke lembah kesengsaraan. Hal yang demikian ini merupakan pertanda dari ketidak mampuan dirinya memahami hukum hidup dan menguasainya, sehingga nasib buruk menimpanya. Atau dalam alam ini ada sesuatu kekuatan yang lebih tinggi untuk dapat dicapai oleh kodrat dirinya, dan ada pula Dzat yang mengatur, mengendalikan yang tidak bisa dijangkau oleh kekuatannya. Maka andaikata ia telah dapat petunjuk dan dipimpin oleh dalil yang benar, untuk mengakui bahwa segala peristiwa-peristiwa alam dengan segala rahasianya, semua bersandar pada Dzat yang WajibWujud, yang mengendalikan semua itu sesuai dengan ilmu dan kemauanNya, niscaya khusyu’ dan tunduklah hatinya, kemudian mengembalikan segala kejadian-kejadian yang menimpa dirinya itu kepada taqdir yang tidak bisa ditolak. Namun demikian ia tidak fatalistis buat selanjutnya.
Orang yang beriman menyaksikan dengan dalil dan bukti nyata bahwa kodrat Pencipta alam semesta ini lebih tinggi dari kodrat yang ada pada segala makhluk. Di atas ketentuan taqdir dan ikhtiar inilah berjalannya shari‘at agama dan di atas ketentuan itu pulalah berdiri taklif-taklif (perintah-perintah) Tuhan. Siapa yang berani mengingkari salah satu di antaranya, nyatalah ia memungkiri sumber iman pada dirinya sendiri, yakni akalnya; akal yang telah mendapat kehormatan dari Allah untuk dapat memikirkan perintah-perintah dan larangan-larangannya.
Sedangkan bagaimana menyesuaikan dalil-dalil tentang kekuasaan ilmu Allah dan kemauan iradatNya dengan kenyataan-kenyataan adanya kebebasan berikhtiar manusia dalam memilih perbuatan-perbuatan yang ada hak ikhtiar di dalamnya, maka itu berarti mencari rahasia kadar ilahi sesuai dengan kemampuan kodrat manusia.[33] Dalam bahasa agama usaha mencari persesuaian antara kemauan Tuhan dan kehendak manusia itu disebut taufiq. Sinergitas kemauan manusia dan Tuhan itulah yang senantiasa dicari orang beragama, sehingga terjadi rida dan diridai (radiyatan mardiyah).
Bertitik tolak dari rasa iman itulah asas Islam didirikan di atas pondasi yang kuat, sehingga amal perbuatan apapun jika dilandasi oleh kekuatan iman akan tetap mantap hatinya, akan tetap besar jiwanya dalam memahami dan menjalani tugas hidup dan kehidupan, dan rintangan apapun hanya akan memberi arti sebagai ujian baginya, yang perlu dicari hikmah dan faedahnya.
Oleh sebab itu filsafat sebagai suatu usaha yang diamalkan manusia dalam dia mencari jalan dan menempuh jalan itu untuk mencari kebahagiaan. Agar filsafat itu mendatangkan keuntungan pada manusia, maka filsafat itu haruslah pula dapat diamalkan oleh manusia itu. Kebahagiaan sempurna adalah kebahagiaan sepenuhnya dunia akhirat, soal sesudah mati (eskatologis) itupun adalah merupakan soal yang harus dipecahkan dan dibereskan oleh manusia, agar soal akhirat ini jangan menggaanggu manusia itu, tetapi ini merupakan sesuatu yang negatif. Secara positif, maka pengertian akhirat itu harus berisi, penuh dan juga harus dipergunakan manusia dalam dia berusaha mencari wujudnya sebagai manusia.[34] Artinya, keyakinan kita terhadap kehidupan akhirat itu bisa membuat kita berusaha dengan sungguh-sungguh untuk melaksanakan amal kebajikan di dunia ini, agar akhirat yang diyakini itu benar-benar terwujud dalam kenyataan nanti dan tidak mengganggu dalam kehidupan dunia ini.
Dalam perbendaharaan Islam, kita jumpai banyak kata-kata yang mengarah kepada makna kebahagiaan, kebaikan dan kebajikan dan sebagainya, seperti al-birr (kebajikan), khair/hasanah (kebaikan), qist (kewajaran), ‘adl (keseimbangan), haqq (kebenaran), ma‘ruf (dikenal baik dan wajar), i’mi’nan (ketenangan), nikmah (kenikmatan), fawz (keberuntungan) dan sa‘adah (kebahagiaan). Dibawah ini adalah sebagian contoh dari makna yang dimaksud di atas. Seperti hadith Rasul :

عن النواس بن سمعان الأنصرى قال سألت رسولالله صلى الله عليه وسلم عن البر والآثم فقال : البر حسن الخلق والآثم ماحاك فى صدرك وكرهت ان يطلع عليه الناس [35]
Artinya: Dari Nawwas bin Sam‘an al-Ansari, berkata :”aku bertanya kepada Rasulullah Saw. Tentang kebaikan dan keburukan. Maka Rasul menjawab : kebaikan itu adalah berbudi pekerti yang terpuji, dan keburukan itu adalah sesuatu yang berkecamuk di dalam hatimu dan kau akan membencinya andaikata diketahui oleh orang”.
Al-Qur’an menyatakan :

[36]ليس البر ان تولوآ وجوهكم قبل المشرق والمغرب ولكن البر من آمن بالله واليوم الأخر والملائكة والكتاب والنبيين وآتىالمال علىحبه ذواالقربى واليتامى والمساكين وابن السبيل والسائلين وفى الرقاب واقام الصلاة وآتى الزكاة والموفون بعهدهم اذا عاهدوا والصابرين بالبأسآء والضرآء وحين البأس اولئك الذين صدقوا واولئك هم المتقون

Artinya: Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah kebajikan orang yang beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan memerdekaan hamba sahaya, mendirikan salat, menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan merekalah orang-orang yang bertaqwa.
Memperhatikan ajaran Islam al-Qur’an dan hadith di atas bahwa ketenteraman jiwa yang sempurna akan mengilhami setiap Muslim, sebab ia ada mempunyai keyakinan yang mantap bahwa jiwanya tetap hidup walau jasad telah memisahkan diri dengannya dalam kehidupan dunia ini. Dia yakin akan adanya pertemuan dengan Tuhannya, sehingga tertutuplah baginya jalan-jalan yang tidak memberi faedah atau dapat mengantarkan pada pertemuan dengan dan memperoleh ridaNya. Karena ia yakin pula dalam kesadaran penuh bahwa kejahatan dan dosa nafsu akan mendapatkan balasan durhakaNya dan yang menyebabkan penderitaannya di akhirat kelak.
Dalam soal ketertundukan nafsu ini dilambangkan oleh Allah dalam surat al-Fajr 27:
يآيتهاالنفس المطمئنة ارجعى الى ربك راضية مرضية فادخلى فى عبادى وادخلى جنتى

“Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridaiNya. Maka masuklah ke dalam kelompok hamba-hambaKu dan masuklah ke dalam syurgaKu”.
Bila beberapa filosof mengatakan bahwa kebahagiaan itu mensyaratkan tidak adanya pengaruh hawa nafsu, sehingga mengumpulkan seluruh kebaikan, maka kebaikan itu di dalam Islam berlaku secara universal dan tidak terikat dalam ruang lingkup kehidupan di dunia ini belaka, tetapi mencakup kebaikan di akhirat kelak. Hal ini dapat dimengerti dari dua ayat di bawah ini.

قل ياعبادى الذين امنوا اتقوا ربكم للذين احسنوا فى هذه الدنيا حسنة وارض الله واسعة انما يوف الصابرون اجرهم بغير حساب [37]

“Katakanlah: hai hamba-hambaKu yang beriman, bertaqwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik, di dunia ini memperoleh kebaikan, dan bumi Allah itu luas. Sesungguhnya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan padala mereka tanpa batas.

ربنا اتنا فى الدنيا حسنة وفى الأحرة حسنة وقنا عذاب النار[38]

Artinya ; Ya tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.
Oleh sebab itu menggantungkan harapan hanya kepada Allah Swt. dan meredamkan segala keinginan nafsu yang mengotori jiwa, supaya jiwanya tidak rapuh yang dapat mengantarkan atau menyebabkan datangnya kesedihan, kesengsaraan dan penderitaan dapat dihilangkan dengan melalui mengingat Allah. Hal ini ditegaskan dalam surat al-Ra’d28-29.

الذين امنوا وتطمئن قلوبهم بذكرالله الا بذكرالله تطمئن القلوب الذين امنوا وعملواالصالحات طوبىلهم وحسن مأب[39]
Artinya: (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi
tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah! Hanya dengan mengingat Allahlah hati menjadi tenteram, tenang. Orang-orang yang beriman dan beramal saleh bagi mereka kebahagiaan dan tempat kembali yang baik.
Sedangkan apa dan bagaimana kebahagiaan yang bakal diperoleh oleh orang-orang yang beriman, beramal saleh (kebajikan) dan bertaqwa, banyak sekali dinyatakan dalam al-Qur’an. Sebut saja di antaranya:

ومن يطع الله والرسول فأولئك مع الذين انعم الله عليهم من النبين والصدقين والشهداء والصالحين وحسن أولئك رفيقا[40]

Artinya: dan barang siapa yang mentaati Allah dan RasulNya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang dianugerahi nikmat oleh Allah; yaitu nabi-nabi, para siddiqin, orang-orang yang mati shahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.”

ومن يطع الله ورسوله ويخش الله ويتقه فأولئك هم الفا ئزون[41]

Artinya: dan barang siapa yang taat kepada Allah dan RasulNya dan takut kepada Allah dan bertaqwa kepadaNya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat keberuntungan.”

ومن يطع الله ورسوله فقد فاز فوزا عظيما[42]
Artinya: Dan barang siapa yang mentaati Allah dan rasulNya, maka sesungguhnya ia telah mendapat keberuntungan yang besar.”

تلك حدود الله ومن يطع الله ورسوله يدخله جنت تجرى من تحتها الانهار خالدين فيها وذلك الفوزالعظيم ومن يعص الله ورسوله ويتعد حدوده يدخله نارا خالدين فيها وله عذاب مهين[43]

(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barang siapa taat kepada Allah dan RasulNya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam syurga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah keberuntungan yang besar.”
Demikian pula kesedihan, ancaman dan penderitaan bagi orang-orang yang melanggar ketentuan Allah dan RasulNya. Misalnya ayat-ayat berikut.

ذلك بأنهم شاقواالله ورسوله ومن يشاق الله ورسوله فان الله شديد العقاب[44]

Artinya: ketentuan yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan rasulNya, maka sesungguhnya Allah sangat keras siksaannya.

ان الذين يحادون الله ورسوله كبتوا كما كبت الذين من قبلهم وقد انزلنا آيت بينت وللكافرين عذاب مهين[45]

Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah dan RasulNya pasti mendapatkan kehinaan sebagaimana orang-orang yang sebelum mereka mendapat kehinaan. Sesungguhnya Kami telah menurunkan bukti-bukti yang nyata. Dan bagi orang-orang kafir ada siksa yang menghinakan.

ومن يشاقق الرسول من بعد ما تبين له الهدى ويتبع غير سبيل المؤمنين نوله ونصله جهنم وسائت مصيرا[46]
Artinya: Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu. Dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.

يوم يأت لا تكلف نفس الا باذنه فمنهم شقي وسعيد فامالذين شقوا ففى النار لهم فيها زفير وشهيق خالدين فيها مادامت السماوات والارض الا ما شاء ربك ان ربك فعال لما يريد واملذين سعدوا ففى الجنة خالدين فيها مادامت السموات والارض الا ما شاء ربك عطاء غير مجدود

Artinya: di kala datang hari itu, tidak ada seorang pun yang berbicara melainkan dengan izinNya; maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang berbahagia. Adapun orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka mengeluarkan nafas dan menariknya dengan merintih. Mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain). Sesungguhnya tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang dia kehendaki.
Adapun orang-orang yang berbahagia, maka tempatnya di dalam syurga. Mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tidak putus-putusnya.[47]
Dari beberapa ayat suci di atas, dapat ditegaskan bahwa orang-orang yang mentaati perintah Allah dan RasulNya, mereka di akhirat kelak akan ditempatkan oleh Allah bersama orang-orang yang diberi nikmat; yaitu para nabi, para siddiqin (orang yang benar dalam menjalankan agama Allah) dan orang-orang saleh (baik dalam mengerjakan agama Allah). Dan barang siapa yang bertaqwa dalam arti yang sebenarnya, maka akan mendapatkan kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat, kebahagiaan dan kemenangan yang besar, karena dimasukkan oleh Allah ke dalam syurga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya. Namun sebaliknya bila perintah Allah dan RasulNya dilanggar, dilampaui, maka ia bakal mendapat balasan siksa, kepedihan, kesengsaraan, penderitaan, kerendahan dan kehinaan, disebabkan ia bakal menempati jahannam.
Sedangkan gambaran kehidupan syurga dinyatakan di dalam hadith qudsi:

حديث ابى هريرة رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : قال الله تعالى أعددت لعبادى الصالحين ما لا عين رأت ولا أذن سمعت ولا خطر على قلب بشر[48]

Dari Abu Hurairah ra., berkata: bersabda Rasullah Saw. : Allah berfirman “Aku telah persiapkan bagi hamba-hambaKu yang saleh tentang apa-apa yang mata belum pernah menyaksikan, telinga belum pernah mendengar dan belum pernah pula terlintas di dalam hati manusia.
Dengan demikian bisa dimengerti menurut keyakinan Islam, bahwa keadaan akhirat itu adalah keadaan yang sama sekali berbeda dibanding dengan segala apa yang ada dan diperumpamakan di dunia ini. Ia adalah keadaan yang sama sekali sempurna; tempat kenikmatan, kesenangan, kegembiraan dan kebaikan-kebaikan lainnya). Itulah syurga yang dijanjikan Allah bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh di dunia ini.

Kebahagiaan : Petunjuk Operasional
Di dalam al-Qur’an, paling sedikit diketemukan 50 unit ayat yang mengkaitkan iman dengan amal.[49] Dengan demikian, ilmu pengetahuan (ma‘rifat) pasti melahirkan keyakinan/keimanan dan keimanan mengharuskan melakukan tindakan. Tidak mungkin keyakinan timbul dari ketidak-tahuan. Orang yang tahu akan kebenaran pastilah ia meyakini kebenaran tersebut. Barang siapa yang memiliki keyakinan akan kebenaran pastilah bertindak sesuai dengan keyakinannya. Tidak mungkin terjadi pertentangan antara keyakinan dengan tindakan. Barang siapa yang bertindak demikian, maka ia telah melanggar norma iman di dalam dirinya.
Tetapi dalam kenyataan kehidupan praktis sehari-hari, ternyata banyak dijumpai orang yang dianggap/disangka mengetahui tentang kebaikan, kebenaran, kejujuran, keadilan dan sebagainya masih melakukan tindakan-tindakan yang tidak baik, benar, jujur, adil dan sebagainya. Sehingga dengan demikian perlulah ada suatu petunjuk dan cara praktis yang dapat membuat orang yang mengerti itu tentang kebaikan, kebenaran dan sebagainya itu dapat melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang diketahuinya.
Dalam pandangan al-Ghazali bahwa orang yang mengetahui tentang kebaikan, kebenaran tidak otomatis ia bertindak sesuai dengan apa yang diketahuinya itu, baik dan benar. Seseorang baru dapat bertindak baik, benar sesuai dengan pengertiannya itu bila yang bersangkutan senantiasa melakukan mumarasah/latihan. Latihan pembiasaan itulah yang dapat menyebabkan seseorang bertindak baik dan benar. Bilamana pembiasaan-pembiasaan tersebut telah tertanam dalam-dalam di dalam hati sanubari, maka barulah disebut oleh al-Ghazali dengan karakter/perangai dan akhlak. Akhlak baginya ialah sikap yang mengakar dalam jiwa yang darinya keluar perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa membutuhkan suatu pertimbangan dan pemikiran. Bilamana yang keluar darinya suatu perbuatan yang baik menurut akal dan shara’, maka itu disebut dengan karakter yang baik, tetapi sebaliknya, bila yang keluar darinya adalah karakter yang jelek menurut akal dan shara’, maka disebut dengan karakter yang jelek.[50]
Akhlak itu bukanlah perbuatan atau tingkah laku itu sendiri, karena betapa banyak orang yang akhlaknya dermawan (sakha’) tetapi ia tidak bersedekah; mungkin karena tidak ada harta atau karena sesuatu halangan. Juga banyak orang yang akhlaknya kikir tapi ia bersedekah; mungkin karena riya’ atau sesuatu sebab yang lain. Jadi akhlak adalah sikap yang dapat membuat jiwa siap untuk memberi atau tidak memberi. Artinya, suatu ungkapan tentang sikap mental dan wujud batinnya.[51]
Untuk mengamalkan ilmu tentang kebaikan, kebenaran, keadilan, kejujuran dan sebagainya itu membutuhkan latihan yang sungguh-sungguh dan terus-menerus, sehingga menjadi kebiasaan. Kalau seseorang telah terbiasa berkata jujur, peramah, sabar, berlaku benar, adil dan sebagainya maka akan mudah untuk merefleksikan-nya dalam tindakan apapun. Mempergunakan akal dan ilmu itu seperti berolahraga juga, membutuhkan kepada latihan yang rutin, sehingga tidak ada kesulitan-kesulitan untuk melakukannya. Tidak seorang muslimpun mengingkari tentang keutamaan kebaikan membaca al-Qur’an misalnya, berbakti kepada orang tua, salat malam, berkata sopan menyejukkan, jujur, menegakkan kebenaran, berlaku adil, ramah, sabar dan sebagainya, tetapi seberapa orang yang dapat melakukannya. Hal itu tergantung kepada kekuatan latihan-pembiasaan yang sungguh-sungguh sehingga ia tidak memiliki kesulitan apapun untuk melakukannya. Demikian pula tidak seorangpun mengingkari betapa buruknya tindakan seperti; berkata kasar, korup, bertindak tidak adil, tidak jujur, tidak benar, tidak sabar, tidak ramah dan sebagainya, namun demikian masih banyak orang yang tetap melakukannya.
Dengan demikian secara teoritis bisa saja seseorang mampu mengatasi semua problem kehidupan dalam pemikiran, akan tetapi secara praktis belum tentu dia dapat mengatasinya dengan baik. Dunia kenyataan adalah dunia perasaan bukan dunia pikiran semata. Banyak orang menjadi kolaps karena menghadapi dunia perasaan bukan dunia pemikiran seperti orang yang dimabuk asmara, ditimpa musibah dan sebagainya. Oleh sebab itu mampu secara pikiran, belum tentu mampu melakukannya.
Dengan demikian seseorang yang terbiasa melakukan kebaikan bila tergoda oleh gangguan dan rayuan syetan untuk melakukan hal-hal yang jelek, tidak baik, tidak benar, tidak jujur, tidak adil dan sebagainya pasti ada sinaran ilahi di dalam jiwa sebagai petunjuk, teguran dan dalam waktu itu pula ia langsung sadar akan kesalahannya serta kembali ke jalan yang benar. Allah berfirman :

ان الذين اتقوا اذا مسهم طئف من الشيطان تذكروا فاذاهم مبصرون [52]

ِArtinya : Sesungguhnya orang-orang yang beriman bila mereka ditimpa was-was dari syetan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.
Tetapi sebaliknya jika yang terbiasa dilakukan adalah ketidak jujuran, ketidak adilan, ketidak benaran dan sebagainya maka ia akan dengan mudah tertarik kepada pembiasaannya itu. Oleh sebab itu seseorang haruslah pandai-pandai menguasai, melatih diri dalam semua keadaan dan mengarahkannya kepada hal-hal yang baik dan mulia (kearifan). Kebahagiaan hanyak terletak di dalam hal-hal yang bernilai baik. Oleh sebab itum barang siapa tidak terbiasa mensyukuri atas nikmat yang kecil, sedikit, bila memperoleh yang besarpun tidak mudah untuk mensyukurinya. Kebahagiaan terletak dalam kemampuan seseorang mengendalikan diri dalam semua keadaan, ketika memperoleh nikmat atau cobaan. Kebahagiaan tidak bisa berkumpul dengan kedurhakaan, pelanggaran, tetapi ia identik dan bersinergi dengan kebaikan, kebajikan, kebenaran. Harapan orang yang beramal saleh akan kehidupan akhirat akan terpantul dalam kehidupan di dunia. Jadi, walaupun berbuat baik di dunia tidak mesti mendapat balasan yang baik pula, tetapi ia memiliki keyakinan yang mantap akan balasan di akhirat, sehingga sikap apatis dan tidak adanya sikap terimakasih dari usaha dan amal baiknya di dunia tidak menghalanginya untuk meraih kebahagiaan.
[1] Franz von Magnis, Etika Umum (Yogyakarta : Kanisius, 1985), 84.
[2] Muh. Said, Etika Masyarakat Indonesia (Jakarta : Pradnya Paramita, 1980), 79.
[3] Hasbullah Bakry, Sistematik Filsafat (Jakarta : Wijaya, 1981), 81.
[4] Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), (Jakarta : Bulan Bintang, cet. II, 1977), 104-105.
[5] Muh. Said, Etika, 79-80.
[6] W.Poespoprodjo, Filsafat Moral (Bandung : Remaja Karya, 1986), 45-46.
[7] Roger Scruton, From Descartes for Wittgenstein, terj. (Jakarta : Pantja Simpati, 1986), 272-275.
[8] Hasbullah Bakry, Sistematik, 83.
[9] Roger Scruton, From, 275.
[10] Poespoprodjo, Filsafat, 47-48.
[11] Muh. Said, Etika, 82.
[12] W.Poespoprodjo, Filsafat, 47-48.
[13] Muh. Said, Etika, 82.
[14] Ibid., 82.
[15] Franz von Magnis,Etika, 94.
[16] Ibid., 95.
[17] Ibid., 97.
[18] Roger Scruton, From, 279.
[19] A.Epping OFM.dkk, Filsafat Ensie (Bandung : Jenmars, 1983), 114.
[20] Ibid., 116.
[21] Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani (Jakarta: Tintamas, 1980), 153.
[22] A.Epping, Filsafat, 117.
[23] Mohammad Hatta, Alam, 153.
[24] A.Epping, Filsafat, 117.
[25] W. Poespoprodjo, Filsafat, 50.
[26] Mohammat Hatta, Alam, 154.
[27] W.Poepoprodjo, Filsafat, 48.
[28] K.Bertens, Etika.., 255-56.
[29] Roger Scruton, From , 178-179.
[30] K.Bertens, Etika.., 354-258.
[31] Titus dkk, Living Issues in Philosophy, terj.M.Rasjidi (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), 143-144.
[32] A.Hanafi, Filsafat Skolastik (Jakarta: Pustaka Al Husna, 1985), 125.
[33] Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, terj.(Jakarta: Bulan Bintang, 1979), 91-93.
[34] M.Nasroen, Falsafah dan Tjara Berfalsafah (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), 25.
[35] Imam Muslim, Sahih Muslim, Juz II (Bandung: Dahlan, tt), 421.
[36] Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Pelita III,1981/1982), 43
[37] Ibid, 747.
[38] Ibid, 49.
[39] Ibid, 49.
[40] Ibid, 130.
[41] Ibid, 553.
[42] Ibid, 680.
[43] Ibid, 118.
[44] Ibid, 262.
[45] Ibid, 909.
[46] Ibid, 140.

[47] Ibid, 343.
[48] Muhammad Fuad Abd. Al-Baqi, Lu’lu wa al-Marjan, Juz II (Kairo: Dar al-Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, 1949), 51 hadith 1798.
[49] Lihat penelitian M.Quraish Shihab, Etika Bisnis dalam Wawasan al-Qur’an dalam Ulumul Qur’an, 3/VII/1997.
[50] Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din II (Beirut-Libanon: Dar al-Fikr, 1410/1990), 52.
[51]Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), 25.
[52] QS. 7 : 201

Rabu, 27 Februari 2008

ETIKA PROFESIONAL DAN RELEVANSINYA DALAM KAPITALISME EKONOMI

Oleh: E. Ariwidodo
“..agar buah ciptaan dari pemikiran kita merupakan berkah,
dan bukan kutukan terhadap kemanusiaan. Janganlah kau- lupakan hal ini
di tengah tumpukan diagram dan persamaan.”
(Einstein kepada muridnya, 1938)

Pendahuluan
Apabila kita membahas sebuah tema yang berhubungan dengan etika dalam konteks yang berhubungan dengan sebuah aktifitas ekonomis maka kita harus kembali melihat sejauh mana disain dari transaksi ekonomis itu sendiri memang telah dirancang dan dibuat dengan menggunakan pola yang dapat mengakomodasi berjalannya prinsip-prinsip moral serta etika itu sendiri. Sehubungan dengan tema seminar ini yang secara khusus mengkaji hal yang sangat spesifik yang berhubungan dengan perdagangan berjangka dengan menjadikan produk -produk turunannya (derivatif) keuangan sebagai objek perdagangan maka hal-hal yang berhubungan dengan etika, moral serta praktek-praktek bisnis yang mengandung prinsip yang tidak berkaitan dengan pelanggaran hukum, tentunya relevansi yang paling aktual adalah berkaitan dengan ada atau tidaknya sebuah desain hukum yang mendukung keberadaan sebuah komunitas keuangan yang memiliki derajat kepatuhan hukum yang tinggi. Produk derivatif keuangan merupakan instrumen yang dikembangkan oleh setiap komunitas keuangan ataupun instrumen keuangan yang dikenal di dunia saat ini.

Dunia keuangan yang memiliki rezim, seperti halnya perbankan, pasar modal juga termasuk pasar perdagangan berjangka, secara terus menerus mengembangkan berbagai produk turunan dari produk utama yang menjadi landasan dari objek perdagangan disetiap pasar yang mereka ciptidakan. Pengembangan produk itu sendiri dapat saja dilakukan dengan saling menggabungkan setiap jenis produk dari satu pasar kepada pasar yang lain, sehingga pengguna jasa ekonomis dari setiap pasar akan memanfaat serta melakukan optimalisasi kepentingan ekonomis mereka. Setiap produk turunan tersebut pada umumnya berlandaskan kepada kesepakatan-kesepakatan yang dituangkan kedalam platform hukum yang tunduk kepada sumber-sumber hukum yang berasal dari negara yang biasanya memiliki kekuatan ataupun sumber dana yang "memback-up" sehingga tejadinya transaksi tersebut. Sehingga faktor yang paling banyak menentukan apakah sebuah produk derivatif yang dikembangkan di dalam setiap instrumen ekonomi tersebut dapat berkembang dan merupakan sebuah produk derivatif yang diakui sebagai produk yang dapat memberikan manfaat terhadap tatanan ekonomis yang ada maka tentunya kehadiran produk derivatif tersebut secara ekonomis dan hukum telah diakui serta memiliki pagar yuridis yang memberikan jaminan keamanan dengan tingkat resiko yang berbeda antara satu produk dengan produk yang lain. Sehingga dalam hal untuk melihat sejauh mana relevansi topik yang berhubungan dengan etika, moral serta kepatuhan pelaku pasar untuk tunduk kepada norma-norma normatif atau kebiasaan-kebiasaan yang disepakati sangat erat hubungan dengan tatanan hukum yang memberikan ruang gerak terhadap transaksi derivatif itu sendiri.
Kesungguhan pemerintah dalam memberantas pelaku dan praktek yang berkaitan dengan korupsi, kolusi dan nepotisme dalam setiap kehidupan bernegara di Indonesia merupakan bagian yang sangat penting untuk menciptakan sebuah tatanan kehidupan sebuah negara yang senantiasa berlandaskan kepada etika, moral dan hukum. Sehingga dalam setiap dimensi dan aktifitas ekonomis, baik yang berasal dari pada tatanan yang diciptakan oleh pemerintah maupun yang berkaitan dengan kepentingan swasta atau elemen-elemen ekonomis lainnya. Saat ini, pemerintah telah banyak mengeluarkan berbagai produk hukum yang tujuannya adalah untuk mendisain ulang sebuah sistem dan mekanisme yang berlandaskan kepada prinsip-prinsip sebuah negara yang menganut azas keterbukaan, kewajaran, efesiensi dan pemerintahan yang bersih serta berwibawa.

Sains Praktis “Harus” Tidak Bebas Nilai

Publisitas keberhasilan rekayasa genetika (riset DNA rekombinan) pada manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan baru-baru ini membangkitkan kembali perdebatan yang sudah cukup lama yaitu antara penganut yang menyatakan bahwa sains harus bebas nilai dengan penganut yang berpendirian bahwa sains harus mengandung nilai-nilai kebaikan bagi manusia atau kemanusiaan. Panganut paham pertama berpendapat bahwa sains hanya bertugas mengungkap dan menyimpilkan fakta yang benar secara ilmiah. Dalam pengungkapan fakta para ilmuwan bebas merambah atau menjelajah ke dalam bidang atau sudut mana saja tanpa terikat pada aspek etika, moral, atau tatanan sosial yang berlaku. Sebaliknya, penganut paham kedua berpendirian bahwa sains harus tidak bebas nilai. Sains harus dibingkai oleh nilai-nilai moral atau kemanusiaan. Lebih jauh lagi, mereka berpendapat bahwa penelitian yang berpotensi atau dapat mengarah pada akibat yang merugikan nilai kemanusiaan atau tatanan sosial harus dicegah. Dalam kasus kloning domba di atas, penganut paham ini akan menentangnya dengan argumentasi bahwa teknik kloning pada domba akan dapat diterapkan pada manusia. Bila hal ini terjadi, dampaknya bagi tatanan sosial masyarakat akan sangat merugikan. Walaupun dikotomi tentang bebasnilai-tidaknya sains (apapun bentuk sains itu) merupakan wacana yang sudah lama, subjek ini memang masih relevan. Hal ini mengingat bahwa dewasa ini makin banyak penelitian (termasuk penelitian dasar) yang dibiayai oleh perusahaan multinasional (seperti Monsanto, Dupont, ICI dll.) yang tentu tidak terlepas dari kepentingan bisnis mereka. Berbisnis memang tidak salah, namun dalam era globalisasi yang sarat dengan persaingan, tidak jarang pebisnis mengabaikan moral dan etika. Sesungguhnya bebasnilai-tidaknya sains adalah masalah rumit yang tidak dapat dijawab dengan sekadar ya atau tidak.

“Etika” menurut Frans Magnis- Suseno (1996) kata ‘etika’’ yang sebenarnya berarti” filsafat mengenai bidang moral’’. Dengan kata lain, etika rnerupakan sains atau refleksi sistematis rnengenai pendapat-pendapat, norma-norma, dan istilah-istilah moral. Namun demikian dalam buku “Etika Jawa” yang ditulisnya. Pengertian etika Jawa mempunyai arti yang lebih luas, yaitu sebagai keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan oleh masyarakat yang bersangkutan untuk mengetahui bagaimana seharusnya manusia menjalankan kehidupannya. Dalam etika ini akan ditemukan jawaban atas pertanyaan bagaimanan saya harus membawa diri, sikap-sikap dan tindakan-tindakan mana yang harus saya kembangkan agar hidup saya sebagai manusia dapat berhasil. Apakah etika dapat diajarkan ?. Menurut Aristoteles etika hanya bisa diajarkan kepada orang yang sudah memiliki suatu rasa moral. Namun Socrates berpendapat bahwa etika dapat diajarkan, karena bertolak dari pandangan bahwa apabila seseorang diberi pengajaran tentang apa yang sebenarnya baik baginya dan ia akan bertindak sesuai dengan itu.
Pada jaman Yunani, Aristoteles manyatidakan bahwa sains tidak mengabdi pihak lain, melainkan sains “digulati” hanya untuk sains itu sendiri. Sejak abad 17, sains dikembangkan bukan sekedar tujuan bagi dirinya sendiri melainkan suatu sarana untuk mencapai sesuatu. Dengan demikian secara implisit sesungguhnya pengembangan sains tidak lepas dari etika dan bahkan politik. Nilai sains terletidak pada penerapannya, karena sains mengabdi pada masyarakat. Karena salah satu ciri sains adalah kebenaran (bahkan kebenaran itu merupakan inti etika sains), maka menurut pandangan faham pragmatis kebenaran tersebut ditentukan oleh derajat penerapan praktis dari sains. Untuk menjawab apakah karena kebenaran itu lalu sains bukan tujuan bagi dirinya sendiri, sehingga perlu diperhatikan etika sebagai efek tambahan dari sains setelah diterapkan dalam masyarakat ?. Dalam kaitan ini, Martin Heidegger mendekatinya dari hubungan antara logos dan ethos. Logos menurutnya bukan sekedar akal, tetapi artinya bisa bermacam-macam dari berbicara sampai membaca, kemudian diluaskan menjadi memperhatikan, menyimak, mengumpulkan makna, menyimpan dalam batin dan berhenti untuk menyadari. Dalam tataran inilah maka logos bertemu dengan etos, maka jelas bahwa sains lengket dengan etika. Tingkat kelengketan antara sains dan etika ini didasarkan kepada anggapan bahwa karena sains bukan tujuan, melainkan sarana. Sebagai sarana, sains mau tidak mau harus berimpit dengan etika bagi pelayanan sesama manusia dan bahkan tanggung jawab secara agama.

Dalam praktek sehari-hari terdapat dua istilah yang maknanya “hampir mirip” dengan istilah etika yakni “moralitas”. Kemiripan tersebut dikarenakan adanya keterkaitan yang sangat erat baik secara konseptual maupun praktis. Keterkaitan tersebut dapat dilihat dengan jelas dari definisi kedua istilah tersebut. Istilah moral berasal dari kata “mos” atau “mores” (dalam bahasa Latin) yang artinya “kebiasaan atau cara hidup”. Istilah moral mengacu pada tindakan yang benar dan sebaliknya “immoral” adalah tindakan yang salah, misalnya: berbuat amal merupakan tindakan yang bermoral, sedangkan mencuri merupakan tindakan yang tidak bermoral. Sedangkan istilah “etika” berasal dari kata “ethos” (dalam bahasa Yunani) yang berarti “kebiasaan” atau “karakter”. Kemiripan penggunaan kedua istilah tersebut diakibatkan oleh praktek bahwa keduanya dihubungkan dengan tipe prilaku yang cenderung menjadi kebiasaan karena dibenarkan atau ditampilkan oleh manusia dalam interaksinya dengan manusia yang lain. Oleh karena itu, istilah moral dan etika sering diberlakukan sebagai dua istilah yang sinonim, namun demikian perlu diperhatikan adanya nuansa dalam konsep dan pengertiannya. Moral (atau moralitas) biasanya dikaitkan dengan tindakan seseorang benar atau salah, sedangkan “etika” adalah studi tentang tindakan moral atau prilaku yang mengikutinya. Kami (penulis) cenderung memberikan batasan yang spesifik, yaitu: “moral” dapat dikatakan sebagai “nilai” yang mendorong seseorang untuk berbuat sesuatu atau tidak, sedangkan “etika” merupakan “rambu-rambu” atau pedoman yang ditentukan sendiri oleh individu atau kelompok tersebut. Secara “etimologi”, fokus perhatian etika tertuju pada dua hal, yaitu: (1) sifat individual seseorang (yang termasuk dalam sifat ini adalah kategori “orang yang baik” dan “orang yang tidak baik”) ; (2) aturan sosial yang menuntun dan membatasi tindakan-tindakan manusia (khususnya aturan tentang baik dan buruk, yang sering disebut moralitas). Moralitas terkait dengan kegiatan dan nilai-nilai manusia, sedangkan etika merupakan suatu studi tentang kegiatan dan nilai-nilai manusia itu sendiri. Singkatnya, etika mempelajari dan dan menentukan apakah suatu tindakan itu baik atau buruk (dan tindakan apa yang sebaiknya dibenarkan). Sasaran etika sebagai suatu bidang studi adalah menentukan standar untuk membedakan antara karakter yang baik dan yang buruk. Dengan kata lain, etika merupakan suatu studi normatif tentang berbagai prinsip yang mendasari tindakan manusia.
Apabila etika dikaitkan dengan dunia bisnis, maka yang dimaksudkan dengan etika bisnis (profesional) adalah studi tentang apa yang benar dan salah, apa yang baik dan buruk , yang dilakukan manusia dalam tatanan bisnis. Goodpaster (1983) melihat bahwa pembicaraan tentang etika bisnis (salah satu bagian dari etika profesi) tidak hanya terbatas pada individu dan organisasinya, namaun termasuk suatu sistem yang mewadahi organisasi tersebut, yaitu sistem perekonomiannya. Bagi kami (penulis), setiap sistem perekonomian, keberadaan pasar, negara, dan etika tidak dapat dihindarkan. Yang membedakan ketiga sistem tersebut hanyalah pada besaran masing-masing komponen. Pada sistem “kapitalisme”, komponen yang paling dominan adalah pasar, sedangkan pada sistem “sosialisme” dominasi negara lebih menonjol, dan pada sistem perekonomian Islam, peranan etika-lah yang paling dominan.

Etika praktis menyangkut beberapa aturan atau standar tingkah laku yang baik, khususnya standar yang berkaitan dengan suatu profesi. Kitab undang –undang atau standar etika sebenarnya merupakan pedoman dalam menyusun sistem dari sikap-sikap yang mencerminkan pengalaman suatu kelompok sosial. Asosiasi profesional menyusun kitab undang –undang etika untuk mengatur tingkah laku para anggotanya dalam praktek profesional. Standar teknis merupakan aspek penting dari etika profesi yang menyangkut dunia profesional-praktis. Ada harapan bahwa perhatian dan pertimbangan etika akan menghasilkan beberapa prinsip etika (ataupun secara moral) yang cukup umum, luas dan berguna untuk berbagai jenis profesi. Namun, seringkali pronsip etika tidak selalu memecahkan masalah atau dilema moral yang dialami secara langsung dalam dunia profesi (termasuk nidang bisnis/ekonomi). Etika memperhatikan dan mempertimbangkan tingkah laku manusia dalam setiap pengambilan keputusan yang berhubungan dengan masalah moral. (E.Holloway,1985:1070) Etika mengarahkan dan menghubungkan penggunaan akal budi secara individual-obyektif untuk menentukan “kebaikan” atu “kejelekan” tingkah laku seseorang terhadap orang lain. Etika menyangkut beberapa aturan atau standar tingkah laku yang baik, khususnya standar yang berkaitan dengan suatu profesi. “Codes” atau standar etika sebenarnya merupakan pedoman dalam menyususn sistem dari sikap-sikap yang mencerminkan pengalaman dari suatu kelompok sosial. Standar etika bertujuan melindungi konsumen jasa, tenaga profesional, organisasi, subyek penelitian, profesi itu sendiri, dan masyarakat.. Pada umumnya standar etika dapat diatur berdasarkan pengalaman seseorang atau kelompok yang dilayani oleh profesi yang bersangkutan atau berdasarkan penerapan dari beberapan prinsip etika. Prinsip etika diatur berdasarkan tujuan-tujuan, cita-cita, dan nilai dasar (fundamental values) dari suatu profesi. Prinsip etika dapat berubah sewaktu-waktu dan mencerminkan perkembangan profesi yang bersangkutan., perubahan dalam standar masyarakat, dan hasil keputusan yuridis. Standar etika merupakan pedoman umum untuk menentukan sifat , moral sebelum atau sesudah tindakan terjadi, dan bukan kumpulan peraturan untuk semua tindakan profesional yang mungkin terjadi.(T.S.Bennet,1987:871) Moralitas adalah suatu sistem yang membatasi tingkah laku. Tujuan pokok dari pembatasan ini adalah melindungi hak asasi orang lain. Pembatasan tersebut mengontrol kecenderungan yang wajar atau spontan dalam melakukan sesuatu, misalnya: tugas pokok dari etika terhadap evaluasi pendidikan adalah mengontrol kecenderungan wajar dari para evaluator yang dapat mengganggu ketentraman orang lain, khususnya karena evaluator mempunai kekuasaaan relatif terhadap orang yang di-evaluasi.

a. Tiga Prinsip Pokok
Ada tiga prinsip pokok yang menyangkut etika, yaitu: kebaikan hati (beneficence), kehormatan (respect), dan keadilan (justice). Kebaikan hati berarti bahwa kita berusaha menghindari konsekuensi yang mengganggu orang lain tanpa alasan atau tanpa keperluan yang berarti , juga memaksimalkan konsekuensi yang baik. Kehormatan mempunyai arti bahwa kita menghormati otonomi orang lain, khususnya dalam hal mengurangi perbedaan atau perselisihan antara peneliti dengan orang yang diteliti. Sedangkan keadilan berarti bahwa perhatian diberikan secara adil atau sama terhadap setiap kelompok dalam masyarakat. (E.R. House,1990)

b. Tujuan Pokok Standar Etika
Asosiasi profesional, baik pada tingkat nasional maupun internasional menyusun “kitab undang-undang etika” (kode etik) untuk mengatur tingkah laku para anggotanya dalam praktek profesional. Kode etik memberikan petunjuk praktek profesi dalam bidang-bidang verikut ini: (1) hubungan antara klien dengan tenaga ahli dari profesi yang bersangkutan; (2) pengukuran dan standar penilaian yang dipakai dalam profesi; (3) penelitian dan publikasi/penerbitan profesi; (4) konsultasi dan praktek pribadi; (5) tingkat kemampuan/ kompetensi pada umumnya; (6) administrasi personalia; dan (7) standar pelatihan. Perlu dikemukakan juga bahwa adat-istiadat, kebudyaan dan peranan tenaga profesional (ahli profesi) yang didefinisikan dalam suatu negara tertentu sangat mempengaruhi bagaimana prinsip-prinsip umum dirinci dalam suatu kitab undang-undang profesi. Oleh karena itu, ada beberapa tujuan pokok dari penyusunan standar etika, yaitu: (1) standar etika menjelaskan dan menetapkan tangung jawab kepada klien, lembaga (institution) dan masyarakat pada umumnya; (2) standar etika membantu tenaga ahli profesi dalam menentukan apa yang harus diperbuat apabila mereka menghadapi dilema etika dalam pekerjaannya; (3) standar etika memberikan kesempatan kepada anggota profesi dalam menjaga reputasi/nama baik dan fungsi profesi di masyarakat agar kelakuan yang jelek dari anggota tertentu dapat dihindari; (4) standar etika mencerminkan nilai moral dari masyarakatnya. Di samping itu, standar etika menjamin bahwa para anggota profesi akan menaati kitab undang-undang etika profesi dalam pelayanannya; (5) standar etika merupakan standar untuk menjaga tingkah laku dan integritas dari tenaga ahli profesi itu sendiri. (E. Holloway,1985:1070)

c. Standar Teknis
Standar teknis merupakan aspek penting dari etika penelitian yang menyangkut manusia. Misalnya, rekomendasi teknis dari test kemampuan dan standar untuk menilai program pendidikan sangat dipengaruhi oleh standar teknis yang dipakai. Ada tiga aspek dari standar teknis : (1) kesahihan (validity), yaitu: prosedur yang dipakai dalam penelitian harus sahih / valid, artinya harus mampu memberikan informasi yang tepat dan sesuai dengan tujuan pokok dari penelitian yang dibuat; (2) ketepatan (accuracy), yaitu: mengandung unsur relatif. Dalam banyak hal pengukuran fisik serta kependidikan secara umum memiliki unsur kesalahan. Dapat dikatakan bahwa ketepatan yang sempurna sebenarnya “impossible” dan meskipun demikian tiap ukuran diusahakan setepat mungkin menurut tujuannya; (3) keandalan (reliability), yaitu : kekuatan / keandalan dari alat/ medium penelitian yang dipakai, skala dan norma yang digunakan, instrumen dalam menentukan atau menghitung skor, dan ketepatan dari penjelasan ‘petunjuk’. (W.B.Dockrell,1988:181)

d. Prinsip-Prinsip Etika bagi Tenaga Profesional
T.S. Bennet dalam artikel tentang etika profesional menyebutkan beberapa prinsip yang harus dipertimbangkan :
(1) prinsip tanggung jawab (principle of responsibility); (2) prinsip keahlian (principle of competence); (3) prinsip standar moral dan hukum (principle of moral and legal standards); (4) prinsip penyebaran hasil penelitian (principle of public statements); (5) prinsip rahasia profesional (principle of confidentiality); (6) prinsip ketentraman bagi orang yang diteliti ( principle concerned with the welfare of the consumer); (7) prinsip yang terkait dengan hubungan profesional (principle concerned with profesional relationships); (8) prinsip penggunaan teknik penilaian (principle governing the use of assessment techniques); (9) prinsip penelitian yang menggunakan subyek manusia (principle concerned of research with human participants); dan (10) prinsip pemeliharaan dan penggunaan binatang (principle concerning care and use of animals). (T.S.Bennet,1987:871-872)


Etika dalam Perusahaan

Pertanyaan dan pembahasan tentang etika ‘aktifitas’ manusia telah ada dan menjadi pemikiran para filsuf seiring dengan keberadaan dan perjalanan hidup manusia. Etika berkaitan dengan definisi perilaku manusia, apa yang dikatakan baik dan apa yang dikatakan tidak baik. Berbicara tentang etika perusahaan, sudah sewajarnya ada 3 (tiga) hal yang mendasari perumusan etika perusahaan yaitu, “akal sehat atau pertimbangan moral”, “kode etik perusahaan”, dan “kebijakan personalia dan pengembangan manajemen”.

Mengupayakan etika dalam prilaku perusahaan memang tidak menjanjikan keuntungan finansial yang segara terlihat secara signifikan dalam jangka pendek, namun, perusahaan yang tidak beretika akan langsung menghasilkan dampak negatifnya. Bagi perusahan yang telah sadar, keberhasilannya tidak didasarkan pada seberapa keuntungan tiap tahunnya saja, tetapi juga reputasi yang juga merupakan “assets”. Dalam jangka menengah dan jangka panjang, ada sekitar empat keuntungan yang dapat bisa dipertimbangkan, antara lain : (a) Pengurangan biaya karena benturan dengan lingkungan sosial. Benturan dengan kepentingan lingkungan sosial dapat mengundang masalah yang menuntut biaya untuk mengatasinya. Misalnya boikot atau tentangan dari lembaga kerohanian, LSM, masyarakat pendidikan, atau masyarakat sekitar, tekanan dari media massa, pemerintah dsb. Disisi lain, “image” yang baik merupakan keuntungan dan memiliki daya jual bagi perusahaan. Apalagi dengan meningkatnya jumlah “green consumer” diseluruh dunia. (b) Motivasi karyawan. Kepuasaan kerja dan motivasi karyawan akan merosot bila mereka mengetahui ada praktek-praktek kotor dalam promosi dan perkembangan karir karyawan lain dalam perusahaan. Dalam jangka menengah, hal ini akan memicu karyawan yang tidak puas untuk mulai mencari pekerjaan di tempat lain. Karyawan keluar berarti hilangnya assets ditambah biaya untuk usaha rekrut dan training karyawan baru. Kepuasaan karyawan memiliki kaitan langsung dengan etika kerja yang merupakan bagian dari identitas perusahaan, system nilai, pola pikir, dan pengambilan keputusan yang merupakan kristalisasi nilai-nilai seluruh karyawan. (c) Perlindungan dari kebebasan komersial. Tanpa etika, persaingan bisnis dapat menjurus pada persaingan bebas, hukum rimba dan menghalalkan segala cara. Kebebasan yang benar adalah kebebasan yang bertanggung jawab. Tanpa etika orang akan membangun dengan merusak, naik dengan menjatuhkan, besar dengan meniadakan, daan membangun kejayaan sekarang dengan menghancurkan masa depan. Dengan etika, kita membangun dan tumbuh bersama dalam keselarasan-membangun kejayaan masa sekarang yang berkesinambungan sampai masa depan. (d) Etika bisnis sebagai daya kompetisi yang komprehensif. Inovasi, efisiensi,efektifitas, kemampuan menggunakan potensi pasar dengan optimal, mengenali tanda-tanda jaman, seni dalam menghemat biaya pada tempat dan waktu yang tepat, merupakan modal bagi pertumbuhan perusahaan.


Etika Kepedulian (EP) versus Etika Keadilan (EA)

Etika Keadilan adalah etika dengan kata-kata kunci seperti "hak", "kewajiban", "kontrol", "fairness", "ketimbal-balikan", dan "otonomi", ia bertolak dari pandangan individu atomistik dimana orang dilihat sebagai individu yang secara "rasional" (=berdasarkan kepentingan sendiri) dan "otonom" memutuskan sikap dan kelakuannya, lepas dari ketertanamannya dalam alam nilai, pandangan dunia dan kepercayaan-kepercayaan normatif (="dunia kehidupan", Lebenswelf) sebuah komunitas tertentu. Secara filosofis, EA (Etika Keadilan) berlatar belakang pencerahan, liberalisme, kosmopolitanisme dan kontraktarianisme (=pandangan bahwa negara berdasarkan perjanjian yang oleh Rawls dipakai sebagai kerangka pahamnya tentang keadilan sebagai fairness). Etika cenderung dilihat sebagai sistem peraturan. yang penekanannya adalah “universalisme”. Begitu juga menurut Kant bahwa sebuah prinsip bersifat moral apabila mau diperlakukan secara umum (atau, menurut etika Habermas, dapat disepakati dalam sebuah diskursus). Berlawanan dengan konsepsi itu, EP (Etika Kepedulian) bersifat kontekstual dan situasional, terfokus pada orang konkrit dan sosial, dengan hubungan-hubungan kesalingtergantungan dan keterlibatan emosional. Sikap-sikap yang ditegaskan adalah peduli pada sesama, empati, hubungan konkrit antar orang daripada sistem-sistem peraturan, orang dilihat dalam ketertanaman dalam sebuah konteks sosial tertentu dan bukan sebagai sebatang kara, people standing alone. Kalau EA hampir secara ekslusif terfokus pada tindakan, maka EP menegaskan bahwa kemampuan untuk menunggu, kesabaran, kemampuan untuk percaya pada orang lain, untuk mendengarkannya merupakan sikap-sikap yang sama saja kunci dalam keseluruhan dimensi moral. Cerita-cerita perempuan merupakan pernyataan moral sama hakikinya dengan prinsip-prinsip moral abstrak.

Kekhasan EP dapat dirangkum sebagai berikut: tugas utama etika bukanlah mengembangkan teori-teori keadilan, melainkan terfokus pada pertanyaan, bagaimana orang peduli mengenai kebutuhan-kebutuhan nyata orang lain (how to care about the real needs of others). Inti moralitas lalu bukan lagi sikap adil yang tidak berpihak, melainkan kepedulian yang justru berpihak, kehangatan hati dan sikap yang nyata-nyata menunjang orang lain dalam situasinya yang khas. EP itu dengan sendirinya terbuka terhadap beberapa pertanyaan kritis. Masalah pertama adalah apakah moralitas yang mementingkan hubungan konkrit dapat menawarkan sesuatu untuk menangani hubungan dengan orang yang tidak mempunyai hubungan khusus dengan kita. EA disini menjawab bahwa orang itu harus diperlakukan dengan adil dan hal-haknya perlu dihormati. Atas keberatan ini dapat diberi dua jawaban. Pertama, EP tidak bertanya mengapa saya harus peduli terhadap orang lain (lalu, kalau orang itu asing sama sekali, apakah urusannya dengan saya?), melainkan bagaimana cara membuat nyata kepedulian terhadap orang lain. Jadi tidak selalu perlu ada alasan. Dan, mungkin saja saya tidak dapat peduli secara efektif dengan orang lain hal mana dalam EA pun tidak berbeda. Lalu, apakah sebuah etika yang mengabaikan keadilan masih memadai? Bandingkan bagaimana Brian Barry misalnya mengartikan EP sebagai "invitation to dispense with morality and replace it with nepotism, and justice”. Terhadap serangan ini Robinson memberikan tiga jawaban. Pertama, menurut Robinson, serangan itu hanya berlaku bagi EP yang sempit atau "tradisional", yang melihat sikap peduli sebagai khas moralitas bagi orang perempuan, yang tempatnya adalah di rumah tangga dan dalam hubungan akrab. Tetapi EP dapat juga terfokus pada masalah-masalah moralitas dalam politik dan dalam hubungan internasional dimana EP akan terfokus pada struktur-struktur inklusi dan eksklusi [justru itulah yang dilakukan Robinson]. Yang kedua, Robinson memerinci bahwa keberatan EP terhadap EA tidak diarahkan pada keadilan sendiri, melainkan pada teori-teori keadilan. Artinya, tidak dikatakan bahwa keadilan kurang penting, melainkan menempatkan fokus pada usaha untuk menemukan sebuah prinsip universal yang dapat seakan-akan mengungkapkan hakikat keadilan secara universal adalah salah. Yang sebenarnya diserang oleh EP bukan keadilan sendiri, melainkan bahwa keadilan dirumuskan dengan bertolak dari fiksi adanya orang sebagai individu rasional atomistik, artinya lepas dari konteks sosialnya. Keadilan yang mau diwujudkan harus adil dalam konteks konkrit, dalam kaitan dengan nilai-nilai masyarakat yang bersangkutan, secara kondisional. Ketiga, mengikuti Judith Shklar dalam hal ini, Robinson mengusulkan agar yang menjadi fokus bukan sebuah teori tentang keadilan melainkan jawaban terhadap kenyataan adanya ketidakadilan dalam dunia. Jangan berpikir terus apa itu keadilan, melainkan hadapilan ketidakadilan yang nyata-nyata dialami. Dalam membuka dan membongkar ketidakadilan, sikap peduli jelas merupakan unsur kunci, karena ketidakadilan sering sudah dianggap biasa dan baru empati dengan mereka yang menderita oleh karena itu dapat membuka eksistensi ketidakadilan dengan adanya penderitaan yang disebabkannya. (Robinson,1999: 19-26)

Masalah besar bagi EP adalah peran struktur-struktur bagi tingkat kebahagiaan seseorang. Bagaimana struktur-struktur yang tidak adil, tidak manusiawi, dan sebagainya, dapat ditangani dengan pendekatan peduli yang personal dan situasional? Justru itulah salah satu pertanyaan yang menjadi pokok pembicaraan Fionna Robinson dalam bukunya "Globalizing Care, Ethics, Feminist Theory, and International Relations" (1999). Namun sekurang-kurangnya dapat diperlihatkan bahwa EP "bisa menawarkan titik tolak berguna untuk mencapai perubahan sosial dan politik di tingkat global". (Robinson, 1999:163) Etika hubungan internasional tradisional membatasi diri pada masalah-masalah klasik seperti kedaulatan, campur tangan di negara lain dan keadilan distributif internasional. Namun, menurut Robinson, etika macam itu tidak mampu menangani masalah-masalah yang betul-betul mendesak. Diantaranya yang paling mendesak adalah masalah kemiskinan internasional dan kesenjangan antara kaya dan miskin dalam konteks Utara-Selatan yang semakin lebar. Etika yang hanya terfokus pada hak-hak orang miskin dan kewajiban orang kaya untuk melakukan sesuatu bagi orang miskin adalah tidak efektif. EP dalam konteks masalah hubungan internasional tidak secara naif menuntut sikap peduli, melainkan memfokus perhatian pada jaringan hubungan sosial dan personal untuk menemukan sumber-sumber pola-pola eksklusif, marginalisasi, penderitaan dan kemiskinan. Jadi bukan prinsip-prinsip yang seharusnya, melainkan sumber nyata ketidakadilan yang perlu dicari. Perhatian pada hubungan-hubungan sosial konkrit sebagai titik tolak usaha untuk membantu tampak lebih mampu menemukan akar-akar masalah moralitas internasional daripada fokus pada hak-hak dan kewajiban-kewajiban abstrak. Oleh karena itu Robinson mengklaim bahwa EP tidak hanya relevan dalam hal hubungan akrab, personal, yang sudah ada kepeduilian, melainkan relevan juga bagi hubungan internasional.


Ethos Kerja Generasi "e-comm"

Apa yang "hilang" dari dunia kerja selama beberapa dekade sebelumnya, dan yang kemudian tampaknya "ditemukan kembali" oleh enfantrepreneur, yakni generasi pengganti Steve Jobs, Steve Wozniak, Bill Gates, Paul Allen, Andrew Grove, Tim Berners-Lee, dan entrepreneurdotcom senior yang berusia 40 tahun ke atas? Apa sebenarnya yang "ditemukan" remaja-remaja “badupulta” (bawah 20 tahun) yang mengidolakan Michael Dell (Dell Computer), Jeff Bezos (Amazon), Ted Waitt (Gateway), Piere Omidyar (eBay), David Filo dan Jerry Yang (Yahoo), yang semuanya terkenal, kaya raya, dan 'sukses' sebelum usia 40 tahun? Mengapa mereka tidak lagi percaya pada ajaran kuno seperti, "Sekolah yang rajin. Dapatkan ranking terbaik. Masuk universitas terbaik dan berjuanglah untuk lulus dengan IP tinggi. Maka kelak akan mendapatkan kerja dengan gaji dan fasilitas terbaik dari perusahaan-perusahaan multinasional terkemuka", atau nasihat yang senada dengan itu? Mengapa sebagian di antara mereka secara ekstrem menganggap "sekolah" cuma buang-buang waktu dan sama sekali tidak menarik, sehingga mencemaskan para orangtua mereka--khususnya kaum kelas menengah yang merupakan produk dunia persekolahan sampai 3-4 dekade yang lalu? Mengapa Antonio Borges, Dekan sekolah bisnis INSEAD itu, mengatakan bahwa, "Thirty years ago MBA students dreamed of running General Motors; ten years ago they dreamed of working at Goldman Sachs; five years ago it was McKinsey. Now they dream about running their own company"?

Sebelum kita menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas perlu diingat bahwa generasi yang lahir setelah tahun 80-an adalah generasi yang menatap dunia dengan mata yang sama sekali berbeda dengan “Cohort” sebelumnya. Mereka lebih 'realistis' dalam menghadapi realitas bahwa persekolahan, termasuk sekolah-sekolah bisnis paling terkemuka sekalipun, bukanlah jalan satu-satunya menuju cita-cita mereka. "Sekolah" yang lebih "real" adalah "sekolah besar kehidupan" dan bukan sebuah gedung jauh dari rumah yang lebih mirip "penjara" dengan "sipir-sipir" yang pada umumnya sok tahu. Mereka amat pandai "belajar-tanpa-sekolah", karena tahu mengakses sumber-sumber informasi dari berbagai belahan dunia yang sudah menanti di ujung jarinya.

Bagi “Cohort” 80-an ini, tidak terlalu jelas bedanya antara "bermain" dan "bekerja", antara "hobi" dan "mencari nafkah". Tanya saja pada ABG-ABG seperti Adi Mulianto Mulia yang diusia 13-an tahun sudah punya toko virtual indomall.od.id. Atau pada Wiro Hardy dan Korpin yang punya toko datidakencana.com saat belum lulus sarjana. Mereka ini harus disebut "pelajar", "mahasiswa", atau "wirausahadotcom"? Mungkin semuanya. Kembali ke pertanyaan-pertanyaan awal, yaitu: apa yang "ditemukan" generasi baru yang menghuni, meminjam istilah Piliang, "sebuah dunia yang dilipat" itu? Hal seperti ini bisa dikatakan: the joy of work, excitement, energy, enthusiasm, and spirit (the JEEES). Mereka menemukan kembali kesenangan, kegembiraan, kegairahan, energi dan semangat dalam bekerja. Inilah hal-hal penting yang "hilang" dari dalam diri angkatan kerja Cohort 50-60-70-an. Secara agak khusus “the JEEES” ini mengalami erosi tajam ketika segala proses berawalan "re", seperti: rethinking, reengineering, reinventing, repositioning, reforming, dan lain-lain mulai tahun 80-an.

Semua wacana itu "sukses" menyebarkan rasa takut ke seluruh penjuru bumi. Rasa aman dalam arti job security, terkikis arus deras perubahan global yang ganas menyerbu kawasan-kawasan "lokal". Kehilangan "pekerjaan" telah menjadi hantu yang membunuh motivasi kerja sebagian besar karyawan. Dan di Indonesia hal itu diperparah dan diakselerasi oleh krisis multidimensional yang meruntuhkan konglomerasi Orde Baru diikuti oleh pembubaran beberapa departemen pemerintah yang membuat puluhan ribu karyawan swasta dan pegawai negeri kehilangan "pekerjaannya".
Pada satu sisi kita menyaksikan "matinya" angkatan kerja lama, dan bersamaan dengan itu "lahirnya" angkatan kerja baru. Dapat dikatakan bahwa semua itu bagai pertanda runtuhnya kubu pro status quo dan bangkitnya kubu reformis yang sama sekali baru. Barisan bermental pegawai yang biasa disebut "employee" digantikan dengan barisan anak-anak muda yang sambil "bermain" menyatakan kehadirannya sebagai "entrepreneur". Dan berbeda dengan barisan "employee" yang penakut, kurang inisiatif, dan enggan mandiri, barisan anak muda "entrepreneur" ini sangat berani, penuh inisiatif, dan mandiri. Mereka tidak suka menunggu "petunjuk Bapak Presiden", tetapi berkiprah langsung dalam e-world yang tanpa batas itu. Mereka tidak menunggu kredit untuk usaha kecil-menengah yang banyak diselewengkan ke kantong-kantong "konsultan" UKM dan birokrat bermental Orde Baru, tetapi langsung menawarkan Bika Ambon buatan Medan ke Singapura dan Malaysia. Ekspor kerajinan dari bahan kertas bekas oleh seorang mahasiswi dari Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, adalah sekadar contoh kecil dari kiprah generasi-entrepreneur Cohort 80-an yang konsumennya sampai ke Eropa, Amerika, dan Australia. Salah satu hal dasar yang membuat generasi-entrepreneur ini berbeda dengan generasi sebelumnya adalah cara mereka memahami pekerjaan dan membangun "job security" model baru. Mereka mengerjakan tugasnya sebagai hobi sekaligus nafkah hidup. Mereka "bermain" sambil "bekerja". Rasa aman mereka tumbuhkan dari dalam dirinya, dan bukan digantungkan pada "perusahaan", apalagi "pemerintah".

Menatap arah desentralisasi dan otonomi daerah dari perspektif generasi-entrepreneur di atas, kita boleh berharap bahwa perekonomian Indonesia tidak akan hancur seperti yang sering diutarakan para pakar dadakan akhir-akhir ini. Bahkan kita dapat mengatakan bahwa para pakar akan banyak membuat prediksi yang keliru karena mereka sendiri adalah generasi-employee yang selama beberapa dekade menggerogoti ekonomi Indonesia dengan logika-logikanya yang "baku", bahkan "kaku".


“Renovasi-Budaya Kerja” yang Bermoral

Bagi bangsa Indonesia akhir-akhir ini tidak ada berita yang lebih sering diperbincangkan daripada berita seputar korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Penggelandangan tokoh-tokoh nasional dan mantan serta pengusaha nasional atau konglomerat era Orde Baru ke pengadilan merupakan topik wajib di setiap media massa. Mengapa KKN begitu membudaya di negeri ini? Jawaban sederhana, tentu disebabkan oleh mentalitas birokrat dan konglomerat yang sekian lama mengabaikan nilai-nilai etika dan moralitas dalam pilihan tindakan. Bagi sebagian pengusaha nasional, sering terdengar keluhan akan kesulitan mengembangkan bisnisnya.

Ekspresi batin yang keluar adalah mudah menyerah dan pasrah. Sedangkan, bagi pengusaha asing yang sempat dikemukakan beberapa media massa nasional, tampak lebih prigel dalam mengurai benang kusut bisnisnya. Mereka begitu kreatif dan inovatif dalam mencari jalan keluar dari kesulitan berbisnis. Mereka beranggapan, kesulitan adalah seni berbisnis. Melihat sikap pengusaha nasional kita, yang menjadi fokus tulisan ini- bukan suatu hal yang baru dan aneh. Sebagian konglomerat kita sejak lama menjalankan roda bisnisnya tanpa mau bersusah payah dan berkeringat. Banyak di antara mereka yang menjadi kaya raya akibat difasilitasi pemerintah lewat jalur KKN. Berbagai kendala yang dihadapi pun, banyak yang langsung meminta bantuan, intervensi, proteksi dan sebagainya dari pemerintah dengan berbagai argumen "cerdas" dan "realistis". Bahkan, banyak juga konglomerat yang cepat kaya raya karena upah buruh yang sangat murah.

Semua itu tidak berlaku lagi sekarang. Situasi dan kondisi berbisnis sudah berubah drastis beriringan dengan perubahan di bidang sosial dan politik, Sebenarnya, banyak ahli yang sudah jauh-jauh hari menyinggung masalah perubahan yang mengglobal seperti sekarang. Dalam kaitan dengan perubahan situasi sosial dan politik yang demikian cepat, Peter F.Drucker menulis “The Age of Discontinuity”, karena ketidakseimbangan atau perubahan terjadi semakin sering justru tanpa disadari oleh kita semua. Demikian pula terjadi peningkatan frekuensi perubahan itu sendiri. World Executive's Digest edisi Juli 1993 juga sudah menulis, "We are entering the 21 st century with companies designed during the 19 century. We need an different approach to business and work. A revolution in management has begun."

Dunia saat ini yang dimulai sejak beberapa tahun menjelang pergantian millenium hingga sekarang di awal millenium baru ini - sedang berproses mencari tatanan baru. Hal itu sejalan dengan teori manajemen bahwa sistem apa pun pada saatnya akan mencapai titik jenuh, dan setelah itu akan "bergejolak" (in equilibrium) dan bergerak menuju keseimbangan baru (equilibrium). Ada atau tidak adanya tragedi yang menimpa World Trade Center (WTC) dan Pentagon, Amerika Serikat oleh para teroris, 11 September 2001 misalnya, berbagai bentuk krisis dipastikan akan timbul. Karena, tuntutan dunia dengan hegemoni pihak-pihak tertentu, terutama di bidang perekonomian, sudah lama mengabaikan etika dan moralitas bisnis dan tidak lagi mampu menghadirkan rasa keadilan bagi sesama warga masyarakat dunia.

Kehancuran ekonomi yang terjadi di anah Air akibat badai krisis yang menghempas, memang disebabkan oleh berbagai faktor eksternal perusahaan, seperti rontoknya nilai tukar rupiah dan instabilitas sosial-politik. Namun, salah satu alasannya, sebenarnya disebabkan oleh kelemahan para konglomerat sendiri. Sebagian dari mereka selama ini sudah terbiasa melakukan persaingan bisnis yang tidak sehat, akibatnya mereka menderita "euforia", lalu lengah. Selain itu karena kurang adanya antisipasi terhadap setiap perubahan yang cepat atau lambat akan terjadi dan "keropos"-nya mental dan lemahnya daya juang, membuat hancurnya perekonomian kita yang sangat parah.

Pemimpin bisnis yang bekerja di IBM, Sony, Unilever, Toyota, Goodyear, Multi Bintang, dan lain-lain, seperti yang dikatakan oleh Bambang Bhakti (1993) seorang Director D'OLEN School of Management- bahwa dalam mengambil keputusan, selalu beranggapan, The day after tomorrow will not be like to day. Esok lusa tidak akan seperti hari ini. Mereka beranggapan bahwa perubahan pasti akan datang, dan pola perubahan itu dapat diperkirakan melalui analisa dan prediksi. Anggapan itu seolah membenarkan pendapat Judith M. Barwick dalam bukunya “Danger in the Comfort Zone”, bahwa akar dari segala kegagalan adalah “the assumption behind the key decisions”. Para pebisnis beranggapan yang keliru ketika mengambil keputusan yang strategis, yaitu ”tomorrow will be more or less like today”. Hari esok sepertinya sama seperti hari ini.

Direktur McKinsey dan Company, Richard W Foster memberi alasan mengapa suatu produk berhenti menghasilkan uang bagi perusahaan. "It's not only the machine, processes or technologies which might become absolute, it is also human resources and their thinking process". Sumber daya manusia dan proses berpikirnya bisa kedaluwarsa. Seorang manajer yang andal dan produktif di dekade 1970-1880-an bisa dianggap kedaluwarsa untuk dekade millennium baru ini.

Budaya kerja yang mengandalkan intuisi dalam proses pengambilan keputusan, mungkin efektif untuk suatu masa tertentu. Tetapi, kurang memadai untuk zaman yang berubah dengan cepat dan perkembangan situasi yang tidak menentu. Dalam hal itu, tampaknya nasihat dari kearifan moral Cina Yin-Yang mendapat tempat di sini, bahwa gerak kehidupan itu tidak selalu bergerak maju, melainkan bagaikan putaran bola yang bergulir ke berbagai penjuru. Yin-Yang mengatakan, atau melihat persoalan hidup secara dialektif dan komprehensif, bukannya linear-parsialistik, Kehidupan yang serba linear-mewah dan aktivitas bisnisnya selalu mengabaikan etika bisnis, seperti memperoleh intervensi dan proteksi dari orangtua atau pemerintah, yang sudah dibuktikan oleh hasil penelitian sosial terhadap anak-anak konglomerat dan pejabat di Amerika Serikat dekade lalu. Ternyata, bukannya meningkatkan kualitas hidup mereka, tetapi sebaliknya malah merusak mental dan moral mereka.

Segala aktivitas bisnis mereka-pun berantakan akibat moral mereka yang bobrok, yang kemudian mematikan kreativitas, daya pikir dan rasa. Itulah yang terjadi di negara kita. Berbeda dengan generasi orangtua yang penuh semangat juang, generasi anak-anak mereka dimanjakan oleh kemewahan materi sangat rendah tanggung jawab moral dan sosialnya. Maka, hasil yang dicapai pun hanya bersifat sementara dan semu. Oleh oleh karena itu, semua merupakan implikasi sosial dari kebijakan pembangunan yang terlalu memihak pada pertumbuhan ekonomi, seperti yang terjadi di negeri ini di era orde baru, yang tanpa memperhatikan prinsip-prinsip moral, seperti keadilan, kejujuran, demokrasi, dan hak asasi manusia. Itu laksana mendirikan bangunan tinggi-megah, tetapi di atas landasan yang keropos. Sehingga, bangunan itu sangat rawan guncangan dan mudah rubuh oleh guncangan situasi yang tidak menentu.

Krisis bangsa itu sudah cukup lama berlangsung. Kita tidak tahu kapan semua ini berakhir. Seperti pengertian yang dikandung dalam nama Indonesia, kita tahu dari mana kita berjalan, tetapi kita tidak tahu hingga ke mana kita bertualang sehingga, untuk menuju suatu sasaran perbaikan bersama, kita membutuhkan suatu format baru dengan mentalitas, budaya dan etika kerja yang baru dalam pembangunan nasional ke depan, bukan saja hanya mengandalkan pertumbuhan ekonomi, tetapi lebih pada usaha untuk menggembleng dan membangun kualitas dan moralitas bangsa. Budaya kerja yang mengabaikan etika dan moralitas harus segera dibarui.

Meminjam istilah Jurgen Habermas, sukses suatu pembangunan yang menggunakan tolok ukur rasionalitas instrumental, yaitu prinsip-prinsip efisiensi teknokratis, tetapi mengabaikan prinsip-prinsip kemanusiaan, adalah suatu sukses yang hanya bersifat parsial dan semu. Oleh karena itu, sang filsuf menawarkan apa yang ia sebut sebagai rasionalitas emansipatoris-komunikatif. Artinya, pembangunan yang sehat adalah pembangunan yang memberi ruang bagi proses komunikasi yang cerdas dan bebas dari segala bentuk non-demokratis. Banyak bukti bahwa persaingan bisnis yang sehat lebih tercipta dan bertahan lama di negara-negara yang menerapkan prinsip-prinsip demokrasi daripada di negara-negara yang melaksanakan sistem pemerintahan otoritarian. Sebab, di negara-negara yang otoriter, tidak ada ruang kontrol yang memadai dari pers dan masyarakat terhadap berbagai kepincangan yang ada, sehingga KKN pun bertumbuh subur. Sedangkan dalam di negara yang demokratis, selalu tumbuh kritik dan kontrol masyarakat, sehingga segala bentuk KKN dapat diminimalkan.


Contoh Pelanggaran Etika Profesi

Disebabkan oleh krisis etika profesi dalam sistem akuntansi Amerika serikat (AS), maka beberapa perusahaan papan atas AS tersungkur karena kepercayaan stakeholders telah runtuh. Hal ini mencuat kembali ke permukaan setelah mega skandal akuntansi Merck & Co. tercium pers menyusul jatuhnya Enron Corp., World Com, Qwest Communication, Xerox Corp., Walt Disney, dan Vivendi Universal . Kasus manipulasi pembukuan merupakan suatu trik untuk mendongkrak “revenue” korporat. Trik yang lebih tepat disebut “skandal” ini telah melumpuhkan kinerja perusahaan, menyesatkan investor, serta menggerus kepercayaan publik, dan akhirnya mempreteli sendi-sendi kejayaan imperium ekonomi AS. Indeks Dow Jones Industrial di bursa Wall Street jatuh, membawa kepanikan pelaku bursa di Eropa dan Asia Pasifik. Presiden George W. Bush pun memerintahkan Securitas and Exchange Commision (SEC) untuk memaksa para eksekutif korporat melakukan revisi ulang pembukuan selama lima tahun ke belakang sejak 2001. Bagi kita, Pertamina sebagai sebuah korporasi, kasus di atas merupakan pelajaran yang tak terhingga mahalnya. Kasus tersebut muncul karena para pelaku bisnis dalam hal ini para pejabat akuntan publik telah melupakan kata kunci : etika profesi. Dalam aktivitas dunia apapun, baik bisnis, politik, sosial, bahkan budaya sekalipun sangat memerlukan “etika profesi”. Pelajaran berharga bagi Pertamina adalah pendalaman soal transparansi yang semakin sulit dihindari. Jika kita tidak mau dihujat dan disudutkan publik seperti dulu, misalnya, seyogianya performa kita tertata apik dalam koridor norma-norma, tata nilai dan etika. Dan dalam perjalanan suatu perusahaan, lebih-lebih sekelas Pertamina, fungsi komunikasi dengan stakeholders menjadi hal yang penting dilakoni secara terpadu, jujur dan beretika. Fungsi public relation (PR) dalam arti luas tersemat pada diri setiap pekerja pada segala strata dalam piramida organisasi.

Publik bisa saja bertanya tentang perusahaan pada setiap orang yang diketahui beridentitas pekerja Pertamina. Kita dituntut untuk telling the truth agar kita mendapatkan suatu trust dari publik karena telling the truth adalah etika profesi kehumasan, sehingga tidak ada lagi manipulasi fakta ataupun data yang bisa kita komunikasikan kepada publik. Kita tidak bisa lagi memunculkan topeng di muka kita untuk menutupi borok-borok di kaki dan anggota badan lainnya. PR yang dulu lebih berperan sebagai corong, yang me-make up keadaan dan menyembunyikan raut wajah asli saat ini sudah tidak musim lagi. Kejujuran serta transparansi informasi merupakan tuntutan untuk upaya peningkatan citra dan reputasi. PR sekarang adalah pipa penyalur lalu lintas informasi. Arus transparansi memaksa kita tidak membuat kebohongan dan manipulasi publik. Apabila kita ingin mendapatkan suatu persepsi dan citra baik, maka kita memang harus baik dalam arti yang sebenarnya. Skandal manipulasi publik di AS tersebut telah melahirkan suatu resultante yang dahsyat.

Pelanggaran etika bisa terjadi di mana saja, termasuk dalam dunia bisnis. Untuk meraih keuntungan, masih banyak perusahaan yang melakukan berbagai pelanggaran moral. Praktek curang ini bukan hanya merugikan perusahaan lain, melainkan juga masyarakat dan negara. Praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) tumbuh subur di banyak perusahaan. Etika bisnis memang harus dihidupkan di perusahaan. Dalam kaitan ini, perusahaan yang bergerak di bidang konsultan mempunyai peran besar dalam pembentukan norma. Bagaimana perusahaan konsultan menegakkan etika bisnis? Kemal A. Stamboel, Managing Partner Kemal Stamboel & Partners yang berasosiasi dengan konsultan besar dunia Price Waterhouse Coopers (PWC) menjelaskan lika-liku bisnis konsultan dan upaya untuk menegakkan etika dan transparansi di perusahaan. Simak berbagai pandangannya: "Perusahaan konsultan internasional seperti PWC mempunyai standar yang bersifat global. Mereka yang berkonsultasi akan mendapatkan standar yang sama di berbagai negara. Perusahaan yang telah memiliki standar akan dikenal reputasinya, baik sebagai brand, isi pelayanan, kualitas orang, dan output orang-orangnya.

Pendekatan standar dengan kualifikasi, bukan "asal-asalan". Perusahaan konsultan sangat menjunjung tinggi kualitas pemikiran. Keunggulan perusahaan terletak pada knowledge management. Misalnya, bagaimana memberdayakan dan meningkatkan pengetahuan dengan program yang jelas. Upaya ini memerlukan usaha yang tidak kecil. Untuk membangun reputasi, perusahaan konsultan sangat menjunjung etika. Oleh karena itu jarang perusahaan konsultan yang beriklan secara berlebih. Agar reputasi tetap terjaga, perusahaan konsultan memiliki beberapa kriteria. Kami menolak klien yang berisiko tinggi, walaupun dia menyediakan banyak uang.

Dalam memilih klien, PCW lebih banyak melakukan riset industrial selection. Pasalnya, setiap perusahaan mempunyai kemungkinan untuk mendapatkan jasa konsultasi. Kebanyakan klien sudah mengenal reputasi kami. Mereka akan membayar fee sesuai dengan jasa yang ditawarkan, seperti menset-up sistem keuangan, teknologi informasi, serta peningkatan efisiensi perusahaan lainnya. Paket yang ditawarkan perusahaan konsultan secara spesifik akan membantu masalah kompleks yang dihadapi oleh sebuah perusahaan, termasuk menyembuhkan perusahaan yang "collapse".

Ketika ekonomi Indonesia tumbuh pesat dalam sepuluh tahun terakhir, banyak pendatang baru di bisnis. Ada pedagang yang menjadi bankir. Banyak juga pengusaha yang sangat ekspansif di luar kemampuan. Mereka berlomba membangun usaha konglomerasi yang keluar dari bisnis intinya tanpa disertai manajemen organisasi yang baik. Akibatnya, pada saat ekonomi sulit banyak perusahaan yang bangkrut.

Salah satu etika perusahaan konsultan adalah menjaga kerahasiaan klien. Bisa saja perusahaan konsultan menangani dua perusahaan dalam industri yang sama, tetapi kerahasiaan masing-masing perusahaan akan tetap terjaga. Perusahaan yang satu tidak dapat memanfaatkan perusahaan yang lain. Setiap perusahaan mempunyai penyelesaian masalah, sehingga nantinya bisa berkompetisi satu dengan yang lainnya. Perusahaan konsultan mempunyai value dan memberikan rekomendasi yang akan dilaksanakan kliennya. Misalkan, ada etika, perusahaan tidak mempekerjakan pegawai anak-anak. Di luar negeri, ada pembatasan hubungan berdagang dengan perusahaan-perusahaan yang tidak menjunjung etika berdagang yang baik. Kami juga menyarankan, perusahaan jangan mengambil keuntungan yang berlebihan dengan cara menipu konsumen.

Pelanggaran etika bisnis di perusahaan memang banyak, tetapi upaya untuk menegakan etik perlu digalakkan. Misalkan, perusahaan tidak perlu berbuat curang untuk meraih kemenangan. Hubungan yang tidak transparan dapat menimbulkan hubungan istimewa atau kolusi dan memberikan peluang untuk korupsi.
Dari mana upaya penegakkan etika bisnis dimulai? Etika bisnis paling “gampang” mulai diterapkan di perusahaan sendiri. Pemimpin perusahaan memulai langkah ini karena mereka menjadi panutan bagi karyawannya. Selain itu, etika bisnis harus dilaksanakan secara transparan. Pemimpin perusahaan seyogyanya bisa memisahkan perusahaan dengan milik sendiri. Dalam operasinya, perusahaan mengikuti aturan berdagang yang diatur oleh tata cara undang-undang. Etika bisnis tidak akan dilanggar jika ada aturan dan sangsi. Kalau semua tingkah laku salah dibiarkan, lama kelamaan akan menjadi kebiasaan. Repotnya, norma yang salah ini akan menjadi budaya. Oleh karena itu bila ada yang melanggar aturan diberikan sangsi untuk memberi pelajaran kepada yang bersangkutan. Usaha jasa konsultan mungkin tidak terlepas dari penyimpangan. Padahal bisnis ini perlu dilandasi reputasi dan persepsi. Oleh karena itu bila ada persepsi negatif jangan diremehkan. Dalam menghadapi masalah, perusahaan jangan defensif, tetapi melakukan aksi pembenahan ke dalam. Upaya yang dapat dilakukan oleh perusahaan untuk menegakkan budaya transparansi antara lain: (1) Penegakkan budaya berani bertanggung jawab atas segala tingkah lakunya. Individu yang mempunyai kesalahan jangan bersembunyi di balik institusi. Untuk menyatakan kebenaran kadang dianggap melawan arus, tetapi sekarang harus ada keberanian baru untuk menyatakan pendapat; (2) Ukuran-ukuran yang dipakai untuk mengukur kinerja jelas. Bukan berdasarkan kedekatan dengan atasan, melainkan kinerja; (3) Pengelolaan sumber daya manusia harus baik.; dan (4) Visi dan misi perusahaan jelas yang mencerminkan tingkah laku organisasi.


Membangun Moralitas dalam Bisnis

Bisnis bisa bermuka dua, antara mulia atau jahat, di samping itu, suatu bentuk permainan bisnis yang cantik, fair, dan berkeadilan bisa tercipta lewat perpaduan manis antara bisnis dan etika. Namun ironis sekali, bisnis semakin tidak beretika! Karena berbagai stigma menempel “di sana-sini”. Bisnis, seperti halnya dengan teknologi, bersifat netral. Dengan demikian bisnis dapat bermuka dua: mulia atau jahat. Disebut mulia apabila bisnis mampu menjadi pendorong bagi peningkatan kesejahteraan manusia. Pantas disebut jahat apabila bisnis sekedar menjadi alat penumpukan aset semata, yang menghisap dan mencurangi sesama manusia. Bermakna mulia atau jahat, institusi bisnis bergulir kencang tanpa bisa dicegah. Bisnis tidak lagi sekedar bergerak dalam satu wilayah, namun sudah melintas antar wilayah menembus batas-batas negara, bahkan sudah terbebas dari ruang dan waktu. Dengan membawa berbagai macam atribut, bisnis akhirnya mempengaruhi gaya hidup manusia secara universal. Anak muda gandrung acara MTV, celana Levi’s, dan rokok Marlboro. Sementara kaum wanita dipengaruhi oleh desainer Gucci, dan parfum Kenzo.

Sinkretisme bisnis dengan budaya seperti ditampilkan dalam gaya hidup memang dapat diterima dengan akal sehat ataupun moral. Namun akan lain bila bisnis bersinergi dengan politik. Muara bisnis pada keuntungan, sementara politik pada kekuasaan. Gabungan antara keuntungan dan kekuasaan menghasilkan tiga hal pokok: kolusi, korupsi, dan nepotisme. Sementara embel-embelnya bernama “manipulasi, otokrasi, dan mobikrasi”.Di tengah pandangan minor terhadap institusi bisnis, Gunardi Endro, seorang praktisi bisnis meluncurkan buku bagus bertajuk “Redefinisi Bisnis; Suatu Penggalian Etika Keutamaan Aristoteles” -- ini membicarakan kaitan antara etika dengan bisnis. Etika yang kita ketahui sebagai seruan moral memang sering bertolak belakang dengan bisnis yang bertumpu pada kepraktisan, efisiensi, dan efektivitas. Akibatnya membicarakan etika bisnis cenderung akan berakhir pada konsep mengangkasa, melingkar-lingkar, dan tanpa ujung pangkal.
Meneropong etika bisnis dengan menggali etika keutamaan dari Aristoteles tampaknya terbebas dari konsep mengangkasa. Etika Aristoteles menekankan pada kajian tindakan (praxis) yaitu suatu wilayah yang dipilari oleh kebijaksanaan praktis (phroenesis) dan keutamaan moral, dimana kebijaksanaan filosofis (sophia) akan membantu phroenesis. Dengan demikian membicarakan etika bisnis bukan sebuah utopia lantaran etika dalam konteks ini merupakan kajian dari tindakan (praxis).

Ada tiga asumsi dari etika Aristoteles untuk memahami manusia, aktivitas bisnis, dan sistem ekonominya. Pertama, manusia sebagai pelaku bisnis adalah kodrat campuran yang terdiri dari tubuh dan jiwa. Sedangkan jiwa terdiri dari bagian irasional (hasrat, perasaan) dan bagian rasional (akal budi)—dimana akal budi lebih superior dari bagian irasional, sedangkan bagian irasional lebih superior daripada tubuh. Kedua, aktivitas bisnis diasumsikan berlangsung bebas dan tidak dilakukan dalam keterpaksaan, karena keterpaksaan sendiri sudah merupakan tindakan tidak etis. Ketiga, sistem ekonomi yang mewadahi bisnis diasumsikan sistem perusahaan swasta, bukan sistem komunisme yang membatasi hak milik pribadi. (Gunardi Endro,2002:10)

Memperlakukan bisnis sebagai praxis membawa konsekuensi fundamental, karena tujuan bisnis dan tujuan praxis menjadi satu. Ketika bisnis dilakukan dalam keutamaan maka kesuksesan sebagai tuntutan bisnis dan kebaikan sebagai tuntutan etika tercapai serentak, bersama dengan tujuan tertinggi manusia yaitu aktualisasi diri sesuai kodrat dan hakikatnya sebagai manusia (seperti tertulis dalam tesis Abraham Maslow tentang Hirarki Kebutuhan Hidup Manusia).

Keutamaan, sebagai sumber sukses bisnis, dalam pandangan Aristoteles terpancar ke dalam empat hal pokok, yaitu: kebijaksanaan, keberanian, pengendalian diri, dan keadilan. Kebijaksanaan tak lain merupakan keutamaan intelektual sebagai elemen jiwa rasional yang memberi ciri khas sebagai manusia. Keberanian dan pengendalian diri merepresentasikan keutamaan moral yang berkaitan dengan elemen jiwa irasional dan lebih bermakna individual. Sementara keadilan mere-presentasikan keseluruhan keutama-an moral yang bermakna sosial. (Gunardi Endro,2002:148) Dalam konteks bisnis, keempat keutamaan pokok tersebut berfungsi pada entitas pelaku bisnis, baik perorangan maupun perusahaan. Keadilan merupakan keutamaan paling fundamental. Keadilan dalam bisnis mensyaratkan adanya transaksi timbal balik sedemikian rupa sehingga ketika telah terjadi pertukaran, setiap pihak sama-sama puas dan tetap memiliki kekayaan. Bahkan sama-sama memperoleh nilai lebih tinggi daripada kekayaan semula.

Dalam bisnis yang semakin kompleks, dimana transaksi tidak dilakukan secara langsung, keadilan dilaksanakan dalam dua tahap, pertama, pelaku bisnis mematuhi hukum dalam arti luas dan sebenarnya (keadilan universal atau legalistik). Kedua, pelaku bisnis melemparkan produk ke pasar tanpa memanipulasinya dan membiarkan transaksi timbal balik terjadi dengan sendirinya sehingga pihak pelaku bisnis dan pihak pembeli saling memperoleh nilai kekayaan yang lebih tinggi (keadilan particular-resiprositas).(Gunardi Endro,2002:150) Memadukan antara bisnis dengan etika memang merupakan proyek besar manusia guna menghasilkan sebentuk permainan bisnis yang cantik, fair, dan berkeadilan. Namun dari sini muncul ironi tak terbantahkan. Ketika manusia suntuk membicarakan etika bisnis, justru bisnis malah semakin tidak beretika. Tesis ini berlaku penuh di sebuah negeri bernama Indonesia. Negeri tercinta agaknya harus menerima nasib yang tidak menyenangkan. Menyebut lembaga bisnis di tanah air pasti akan menempel stigma kolusi, korupsi, nepotisme, manipulasi, politicking, suap, mark up, monopoli, dan sejenisnya. Stigma ini bukan tanpa dasar, bahkan relatif mendekati kebenaran. Dari mulai mengurus perijinan pendirian perusahaan, proses produksi, distribusi hingga pemasaran, semua tidak bisa menghindar dari praktik suap, kolusi, korupsi, dan “mark-up”.

Begitu parahnya kehidupan lembaga bisnis di negeri tercinta, sehingga bila orang ingin terjun berbisnis maka syarat nomor satu adalah berbuat curang. Curang menjadi mantra ampuh mengalahkan nilai yang seharusnya hidup pada lembaga bisnis yaitu profesional. Dalam jangka pendek, praktik bisnis curang memang kelihatan efektif dan efisien. Sayangnya yang kelihatan menarik ini menyimpan “bisul-bisul” besar yang setiap saat siap meledak. Dan meledaklah bisul-bisul itu! Provokator utamanya adalah krisis ekonomi dan krisis moral.

Menyalahkan pelaku bisnis semata tanpa mempertimbangkan faktor-faktor lain jelas bukan tindakan bijaksana. Carut-marut bisnis di negeri tercinta lantaran pada masa lalu bisnis sangat lekat dengan aroma politik. Banyak bisnis besar di Indonesia (konglomerasi) dibangun berdasarkan kekerabatan dan kepentingan politik, bukan mekanisme pasar. Logika politik mengalahkan logika ekonomi. Maka tidak mengherankan jika banyak pengusaha dan penguasa ramai-ramai membobol uang kas negara. Kasus Golden Key, Kanindo, Bank Bali, dan Bank BHS bisa dijadikan rujukan. Berdasar pada teori yang dibangun oleh Aristoteles dan berkaca pada pengalaman Indonesia, menegakkan moralitas bisnis akhirnya harus dimulai dari dua hal. Pertama, mengembalikan roh bisnis pada posisinya, bisnis sebagai alat aktualisasi manusia yaitu alat untuk semakin memanusiakan manusia. Kedua, menjauhkan bisnis dari campur tangan politik. Bisnis adalah lembaga yang harus ditangani secara profesional, bukan kekuasaan.


Kekeliruan Pendidikan Ilmu “Ekonomi-Kapitalisme” di Indonesia

“An atmosphere need to be created whereby economists are prepared to take on what is best from the social science; economics is more likely to be changed by its friends than by its critics; in business as well as in theory we prefer not the metaphor of the invisible hand but rather that of the “invisible handshake” the spirit of cooperation and competition.” (A. Lewis and K.E.Warneryd, 1994:372)

Apabila di sejumlah negara Barat yang maju perekonomiannya, para pakar ekonomi sudah lama mempertanyakan realisme dan relevansi ilmu ekonomi bagi pembangunan suatu masyarakat/ bangsa, di Indonesia yang baru memiliki Doktor Ekonomi pertama tahun 1943, masalah ini sangat sedikit dipersoalkan. Dosen-dosen/pengajar ilmu ekonomi di perguruan-perguruan tinggi tidak banyak yang membaca buku-buku yang bersifat kritis tentang ini. Terakhir, kiranya tidak banyak ekonom arus utama yang berminat membaca buku Matinya Ilmu Ekonomi (The Death of Economics) tulisan Paul Ormerod tahun 1994, padahal penulisnya pernah datang ke Jakarta (15 Januari 1998), dan berdiskusi dengan para ekonom senior kita. Namun apabila Paul Samuelson sendiri sebagai salah seorang ”Nabi” ilmu ekonomi Neoklasik menyatakan bahwa ilmu ekonomi akan lebih besar kamungkinan diubah oleh teman-temannya daripada para pengkritiknya, kiranya pakar-pakar ekonomi Indonesia harus tidak mudah berpuas diri dengan ilmu yang digelutinya.(M.A. Anwar,1992:69-86) Terutama para dosen perguruan tinggi, ada baiknya menanyakan pada sarjana-sarjana lulusannya, sejauh mana ilmu ekonomi yang dipelajari di perguruan tinggi benar-benar ”memberi bekal” memadai untuk ”bekerja” atau membuat analisis-analisis permasalahan ekonomi Indonesia. Pada tahun 1976 telah terbit buku Economics in The Future yang sangat tidak puas dengan ekonomika Neoklasik. Jan Tinberger dan Gunnar Myrdal mengusulkan ilmu ekonomi yang tidak (induktif) empirik dan kelembagaan (institusional).

Pada era Orde Baru ketika tokoh-tokoh teknokrat FE-UI diangkat menjadi menteri-menteri, khususnya sejak deregulasi/liberalisasi 1983-93, JSE mendapat julukan baru sebagai fakultas yang mengajarkan paham liberal. Ini dibantah Suhadi. Tidaklah benar anggapan sementara kalangan yang menyatakan bahwa alumni FE-UI berpandangan ”liberal”, dalam arti bahwa mereka terlalu percaya pada mekanisme pasar yang bebas… Mereka pada dasarnya adalah intervensionis, tidak percaya bahwa mekanisme pasar yang bebas akan menghasilkan perkembangan ekonomi yang optimal.(S.Mangkusuwondo,1987:47-65) Pada tahun 1981, ketika terjadi Polemik Ekonomi Pancasila, muncul kesan adanya kubu UI dan kubu UGM, yang pertama dianggap pro-pertumbuhan, sedangkan yang kedua pro pemerataan. Selanjutnya saat terjadi reformasi politik ekonomi tahun 1998, Warta Ekonomi (November 1998) Ekonomi Indonesia memang mulai melenceng antara 1988-1993 dan sejak 1993 ekonom satu persatu mulai digusur oleh non-ekonom dari pemerintahan. Dalam semua debat para ekonom sejak 1981 sampai 1998 tersebut, yang menjadi fokus adalah strategi pembagunan ekonomi bukan teori ekonomi atau ilmu ekonomi. Kini (2001-2002) karena krisis multidimensi yang berkepanjangan mulai dipersoalkan teori ekonomi atau ilmu ekonomi yang mendasarinya.


Pelajaran dari Paul Samuelson

Buku teks ilmu ekonomi paling laris di dunia dan yang sudah diterjemahkan dalam banyak bahasa di luar bahasa Inggris adalah buku Paul Samuelson, Economics, yang kini (2001) sudah mencapai edisi ke-16. Segera setelah terbit edisi pertama tahun 1948 memang buku ini diterima baik karena padat, lengkap, mudah, dan menggunakan bahasa Inggris yang sederhana. Samuelson mampu menjadikan ilmu ekonomi “laksana agama” baru dari kaum progresif yang “Tuhan”nya tidak lain adalah efisiensi. Apapun yang efisien adalah baik, dan yang tidak efisien buruk.

“The goal of economics, in short, is progress; the means is an efficient economic system; the sinners are the special interests; the greatest danger posed for the world is cyclical instability and unemployment of resources that will lead to demagoguery, dictatorship and war. Far at least another hundred years we must pretend to ourselves and to everyone that fair is foul and foul is fair; for foul is useful and fair is not. Avarice and usury and precaution must be our gods for a little longer still.” (R.Nelson, 2001:110-112)

“New “economic religions” have emerged that could provide secular religious blessings in place of the old Judeo – Christian theologies. Economists have been modern priesthood, capable of establishing the social legitimacy of market institutions defined in religious terms more acceptable to the modern age grounded in “scientific” truth.” (R.Nelson, 2001:270)
“Any old religion may do for economic purposes, as long as it is truly believed in and support the market and other economic institutions, but a religion will not be believed in unless it can successfully assert a truth claim about the world. “(R.Nelson, 2001:302)

Karena ternyata penerapan ajaran-ajaran ekonomi Samuelson membuahkan hasil berupa kemajuan ekonomi luar biasa bagi bangsa Amerika, maka muncul keyakinan “Tuhan berpihak pada kami”, dan pasar juga telah ”diberkahi” oleh Tuhan (God Bless The Market). Lebih-lebih setelah bangkrutnya sistem ekonomi non pasar Uni Soviet, bangsa Amerika makin yakin (sistem) pasar pasti menghasilkan efisiensi ekonomi nasional. Maka tidak mengherankan membaca judul Laporan Pembangunan Dunia (World Development Report) 2002 Building Institutions for Markets. Artinya lembaga harus ditemukan dan dikembangkan untuk “diabdikan” pada pasar karena pasar dan efisiensi yang dihasilkannya merupakan “Tuhan” itu sendiri. Ini sejalan dengan ajaran agama-agama besar khususnya Kristen dan Islam bahwa manusia diciptakan menjadi wakil Tuhan di dunia untuk mengabdi kepada Tuhan (Allah). Kepercayaan pada Tuhan ini nyata tertulis pada uang dollar Amerika Serikat “In God We Trust”, dan Dwight Eisenhower pernah sewaktu menjabat Presiden Amerika Serikat menyatakan :

“America makes no sense without a deeply held faith – and I don’t care what it is. A religious bases of civil mindedness and social solidarity is necessary; whatever it is.” (R.Nelson, 2001:301)

Demikian banyak pakar Ekonomi Amerika berhasil meraih Hadiah Nobel Ekonomi karena ajaran-ajarannya “terbukti”, dan bermanfaat bagi kemajuan ekonomi masyarakat Amerika yang kini ingin di”globalisasikan” supaya juga “memberi manfaat” pada bangsa-bangsa lain yang “belum beruntung”, yaitu negara-bekas jajahan yang sedang berkembang.

“The most vital religion of the modern age has been economic progress … (economists) have been the modern priesthood of the religion of progress, interpreting its form, refining its messages, and assuring the faithful that progress would continue … By promoting a culture of civil commitment to the market system, economists have put the power of religion to work in fending off these newer temptations of a modern kind of devil.” (R.Nelson, 2001:329)


Ekonomika dan Ideologi

Banyak pakar ekonomi Indonesia penganut paham arus utama Neoklasik menyatakan keberatan memasukkan ideologi Pancasila dalam asas kekeluargaan yang termuat dalam pasal 33 UUD 1945 ke dalam sistem ekonomi Indonesia. Menurut mereka, ekonomika harus bersifat ilmu positif (positive science) yang membahas das sein bukan ilmu ekonomi normatif yang membahas “das sollen”. Pendapat Mubyarto-Hidayat (dkk.)ini memang bertentangan dengan pendapat yang dewasa ini secara umum dianut oleh para ilmuwan dalam bidang ilmu-ilmu pengetahuan sosial. Menurut pendapat umum ini tugas utama ilmu pengetahuan sosial adalah menyusun teori-teori yang bersifat nomologis; artinya mencari hukum-hukum empiris yang dapat digunakan untuk membuat ramalan-ramalan (prognosa). Hukum-hukum empiris tidak bersifat normatif, sebab hukum-hukum ini hanya menyatakan sesuatu keadaan dalam kenyataan seperti adanya. Bukan sebagai seharusnya ditinjau dari prinsip-prinsip moral dan etika. (M.Pangabean, Sinar Harapan, 13 Agustus 1981)

Kritik terakhir pada gagasan Mubyarto adalah pendekatan ilmiahnya dalam memcahkan persoalan yang dihadapinya. Seperti juga ahli-ahli ilmu sosial lain umumnya di Indonesia yang saya anggap merupakan kelemahan, pendekatannya bersifat normatif, karena itu ahistoris.(Arief Budiman, Kompas, 10 Juni 1981) Sekiranya terdapat ilmuwan yang ingin memasukkan motif non-ekonomis ke dalam pengkajian ilmu ekonomi, hanya disebabkan keinginan mendekatinya dari segi moral secara normatif, maka saya berkeberatan. Sebab ilmu pada dasarnya mempelajari apa adanya dan bukan apa yang seharusnya. Pendekatan seperti ini berarti, bahwa ilmu ekonomi surut lagi ke belakang, ke abad pertengahan ketika ilmu merupakan moral terapan. (J.S. Suriasumantri, Kompas, 31 Juli 1981)

Dari beberapa komentar tersebut yang semuanya dimuat di surat kabar harian, bukan di majalah atau jurnal ilmiah, dapat disimpulkan adanya dikotomi antara ilmu yang positif dan yang normatif, dan ilmu atau teori ekonomi Pancasila adalah normatif. Sebenarnya seminar ekonomi Pancasila bulan September 1981 tidak pernah sampai pada perdebatan tentang teori atau ilmu ekonomi Pancasila tetapi tentang Sistem Ekonomi atau aturan main hidup berekonomi yang didasarkan pada ideologi Pancasila. Memang jika dalam teori ekonomi Neoklasik hanya dikenal 2 sistem ekonomi (kapitalisme dan sosialisme), maka tidak ada tempat bagi sistem ekonomi lain yang tidak mengacu pada 2 sistem ekonomi tersebut.

“Value judgments refer to conscious and piecemeal objective norms or subjective (moral) predilections, for example, that to eradicate poverty there should a more political freedom enjoyed by the public. On the other hand, ideology refers to an unconscious, or “semi-conscious and total “world-view”. … Value judgment are partial manifestations of total ideological commitments.” (Homa Katouzian, 1980:131-136)

Dari pengertian ideologi yang demikian jelas bahwa ideologi yang telah dimiliki suatu bangsa seperti Pancasila bagi bangsa Indonesia tidak saja tidak boleh tetapi bahkan harus dipakai dalam menyusun sistem ekonomi nasional. Dan untuk itu diingatkan definisi sistem ekonomi Joan Robinson (1962).

“The pre-requisites for an economic system is a set of rules, an ideology to justify them, and a conscience in individual which makes them strife to carry them out?”


Kapitalisme Perkoncoan

Dua istilah ini, KKN dan Kapitalisme Perkoncoan, sudah sering disatukan dalam KKNK (Korupsi, Kolusi, Nepotisme dan Kronisme), yang artinya semua praktek negatif dari (terutama) birokrat dan dunia bisnis yang karena terlalu jauh diarahkan pada pengejaran keuntungan pribadi, dengan mengorbankan kepentingan orang lain (rational-selfishness), telah menjadi penyumbang terbesar dari krisis multidimensi (terutama krisis perbankan) sejak 1997 sampai sekarang.

Kontroversi tentang perpanjangan PKPS (Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham) jelas menggambarkan posisi menteri-menteri tertentu bidang perekonomian apakah ia memihak konglomerat atau memihak ekonomi rakyat. Tentu harus dicatat bahwa “memihak” konglomerat tidak sama dengan “memusuhi” ekonomi rakyat, dan sebaliknya, meskipun akan terbukti kemudian bahwa jika PKPS lolos, perilaku konglomerat yang kebablasan di masa lalu akan terulang dan ekonomi rakyat akan lebih tergusur lagi. Dalam kaitan ini kekawatiran seorang Adam Smith dalam buku ilmu ekonomi Wealth of Nations (1776) ternyata tetap relevan di dunia bisnis di manapun termasuk di Indonesia sekarang.

“The interest of the dealers, however, in any particular branch of trade or manufactures, is always in some respect different from and even opposite to, that of the public … To narrow the competition is always the interest of the dealers … But to narrow the competition must always be against --- (the interest of the public), and can serve only to enable the dealers, by raising their profits above what they naturally would be, to levy for their own benefit, an absurd tax upon the rest of their fellow – citizens.” (E.K. Hunt,1979:55- 56)

KKN yang kini telah menjadi semacam ”momok” ekonomi Indonesia muncul sebagai upaya menghindari persaingan. Dengan koneksi atau menemukan konco (kroni) pejabat atau birokrat, maka bisnis dapat dijamin dan keuntungan aman atau “sudah di tangan”. Sejumlah konglomerat Indonesia jelas lahir atau menjadi sangat besar (me-raksasa) karena kolusi atau koneksi antara pengusaha dan oknum-oknum pejabat pemerintah. Yang lebih hebat lagi dan terjadi dengan mudah adalah jika pengusaha adalah anak pejabat penting, karena pejabat tertentu terang-terangan tanpa melalui tender memberikan proyek atau bisnis besar kepada anaknya sendiri. Kadang-kadang anak-anak pejabat ini benar-benar terlibat langsung sebagai pengusaha. Tetapi yang lebih sering terjadi, anak-anak pejabat hanya dipinjam namanya, atau perusahaan yang didirikan memberikan saham kosong kepada anak pejabat bersangkutan, sehingga tanpa modal anak pejabat tersebut ikut menjadi pemilik sejumlah perusahaan.

Selama periode konglomerasi 1987 – 1994, bersamaan dengan proses perkembangan liberalisasi/ deregulasi, pertumbuhan bank-bank swasta yang didirikan oleh pengusaha-pengusaha besar tertentu, bank-bank ini mampu menjadi besar dan pada saat bersamaan mampu membesarkan perusahaan dari para pemilik Bank, karena dana pihak ketiga lebih banyak dipinjamkan kepada perusahaan-perusahaan milik sendiri, meskipun sebenarnya ada batasnya. Pelanggaran demi pelanggaran batas pemberian pinjaman kepada perusahaan sendiri inilah yang mempercepat kebangkrutan Bank-bank swasta, yang 16 diantaranya ditutup pemerintah tanggal 1 November 1997, dan yang lebih merangsang “rush” pada hampir semua bank swasta lain yang sejak itu masuk rumah sakit BPPN. Proses deregulasi/liberalisasi perbankan pada saat ini menjadi kebablasan juga telah diakui oleh Radius Prawiro dalam bukunya. Dalam keadaan yang tidak menentu ini pemerintah mengambil tindakan yang berani menghapus semua pembatasan untuk arus modal yang masuk dan keluar. Undang-undang Indonesia yang mengatur arus modal dengan demikian, menjadi yang paling liberal di dunia, bahkan melebihi yang berlaku di negara-negara yang paling berkembang. (Radius Prawiro,1998:409) Pengakuan Radius Prawiro ini menarik bila dikaitkan dengan pendapat Suhadi Mangkusuwondo yang disebutkan diatas tentang Jakarta School of Economics yang dibantah telah mengajarkan paham ekonomi liberal. Disini terlihat bahwa pemerintah yang menurut amanat pasal 33 UUD 1945 harus “menguasai” perekonomian nasional (pada cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak), telah “kebobolan” melalui liberalisasi keuangan dan perbankan tahun 1983 dan kemudian 1988. Cukup menarik bahwa pengalaman sangat pahit kebijakan liberalisasi perbankan yang berakibat krisis moneter 1997 dewasa ini tidak dianggap sebagai kekeliruan oleh sementara pakar ekonomi arus utama (Neoklasik). Yang selalu ditonjolkan justru adalah bahwa ekonomi Orde Baru (sampai 1996) harus diakui telah berhasil (sukses) memajukan ekonomi Indonesia karena kebijakan yang liberal tersebut. Maka ”pemulihan ekonomi Indonesia tidak mungkin dan tidak boleh meninggalkan kebijakan yang telah terbukti berhasil tersebut”.

“Indonesia’s success in recent years is largely attributable to liberalization and its recent troubles to some extent reflect failure to carry through the principles of liberalization to certain key areas. The key to recovery and future success, therefore, is to pursue further liberalization, not to wind back that has already been achieved.”( R. McLeod, 2002:78)


Ilmu Ekonomi dan Masalah-Masalah Sosial

Andaikata pendiri mahzab Neoklasik Alfred Marshall hidup kembali, pasti ia sangat sedih, seperti halnya Adam Smith pendiri mahzab Klasik, karena “ajarannya” hanya sebagian kecil saja yang diterapkan yaitu pendekatan deduktif, sedangkan ajaran yang sebagian lagi yaitu pendekatan sejarah yang empirik-induktif sama sekali dilupakan. Namun kesalahannya tidak dapat dilepaskan dari “keteledoran” Alfred Marshall sendiri yang telah membiarkan ilmu ekonomi sebagai disiplin menjadi penentu arah kegiatan ilmiah dan masalah-masalah sosial yang muncul dalam masyarakat tidak dijadikan obyek yang harus dipecahkan.

“Because economic elected to be a deductive science, it abstracts from the historical character of what it studies and indeed from everything that cannot be quantified. Marshall stated that the dominant aim of economics was to contribute to a solution of social problems. Yet the relation of his work to that end was quite indirect (this is) because he allowed his task to be determined for him by the discipline itself and not by the social problem.” (Daly H.E, J.B.Cobb,1989:121)

Apabila di negara-negara maju ilmu ekonomi dijadikan makin “ilmiah” dengan sasaran-sasaran analisisnya pada masalah-masalah non-ekonomi seperti keluarga (Gary Becker) atau agama (the economics of religion), maka di negara-negara berkembang orang-orang awam makin frustasi karena ilmu ekonomi nampak tak berminat pada masalah perbaikan pemerintahan (governance).

“The Neoclassical economist typically is not concerned with the usefulness of the theory to governance; it suffices for him that the theory is useful and applicable in problems involving maximization of return from the use of scarce resources.” (Monroe Burk,1994:314)

Jika ilmu ekonomi Neoklasik tidak berminat menganalisis masalah-masalah sosial di negara-negara sedang berkembang, tetapi mengurung diri sebagai disiplin yang kaku maka ia bukan ilmu sejati tetapi sekedar sebagai ideologi, itupun ideologi yang tidak mengikat, sehingga tidak berguna bagi pembangunan masyarakat, malahan ia menjadi penghambat pemecahan masalah-masalah sosial yang dihadapi masyarakat. (Monroe Burk,1994:313)

“Neoclassical economics is neither positive nor a normative science. It is used extensively as a rhetorical devise in support of policies arrived at independently. In its populist version, it enters into the Weltanschauung / Mind Set / Myth Structure of our culture, and thus becomes a lens through which individuals observe the world about them and guide their behavior. To the extent it contributes to a materialistic, hedonistic, greedy and avaricious life style, it is greatly to be deplored. Its most destructive impact, however, is to debar other paradigms, ad in particular the socio-economic paradigm, from a respective hearing.” (Monroe Burk,1994:320-321)

Salah satu manifestasi paling buruk dari penerapan teori ekonomi Neoklasik di Indonesia adalah tidak pernah diperhatikannya data-data empirik perekonomian daerah yang sering sangat berbeda dengan data-data agregat yang tercatat di Jakarta. Misalnya tentang kontraksi ekonomi amat besar (-13.4%) tahun 1998 yang berdasar kurs dolar telah menurunkan “kesejahteraan bangsa” Indonesia (pendapatan perkapita) dari USD 1200 menjadi USD 600. Data kontraksi ekonomi di luar Jawa hanya –4,4% bahkan di Irian Jaya tahun 1998 masih tumbuh positif 12,8%. Dalam rangka menganalisis dampak krismon 1997/98 dan kebijakan serta program-program “pemulihan ekonomi”, metode analisis yang semata-mata deduktif ini sungguh tidak realistis jika tidak dapat dikatakan keliru.

“Neoclassical economics often constitutes an impediments rather than a help in the analysis of a real-world problem because it prevents piercing through the layer of assumptions about consumer sovereignty and consumer preference contained in it.” (Monroe Burk,1994:322)

Apabila di dalam pembukaan UUD 1945 tersimpul tujuan bangsa dan Pancasila sebagai pegangan dalam melaksanakannya, dalam UUD sendiri terdapat beberapa peraturan tentang melakukan ekonomi terpimpin. Peraturan itu terdapat dalam Pasal 33, Pasal 27 ayat 2 dan pasal 34. Yang pertama mengenai sistem yang kedua mengenai hak sosial warga negara, dan yang ketiga mengenai tugas Pemerintah. Pasal 33 itu adalah sendi utama bagi politik perekonomian dan politik sosial Republik Indonesia. Dasar ekonomi rakyat mestilah usaha bersama dikerjakan secara kekeluargaan. Maksudnya ialah koperasi. Cita-cita koperasi Indonesia menentang individualisme dan kapitalisme secara fundamental. (Bung Hatta, 21 Juni 1979)

Demikian sistem Ekonomi Indonesia yang mampu mewujudkan cita-cita Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia menentang individualisme dan kapitalisme yang kini merajalela kembali melalui ideologi neoliberalisme dan gerakan globalisasi. Teori, “ideologi”, serta “agama” yang menjadi kekuatannya adalah ajaran ekonomi Neoklasik yang sangat sukses di Amerika Serikat dan sejumlah negara Eropa Barat tetapi gagal di negara-negara lain. Itulah yang dipertanyakan secara tajam oleh Hernando de Soto dalam bukunya The Mystery of Capital: Why Capitalism Triumphs in the West and Fails Everywhere Else.


Daftar Pustaka

Anwar, M. Arsyad, 1992, Pemikiran Pelaksanaan, dan Perintisan Pembangunan Ekonomi, Gramedia, Jakarta.

Bennet,T.S., 1987, Professional Ethics, dalam Raymond J.Corsini (ed.) Concise Encyclopedia, Wiley, New York.

Budiman, Arief, 1981, Sebuah Kritik Terhadap "Sistem Ekonomi Pancasila Mubyarto", Kompas, 10 Juni 1981.

Boulding, Kenneth, 1970, Economics as a Science, McGraw-Hill, New York.

Burk, Monroe, 1994, Ideology and Morality in Economic Theory, dalam A Lewis & K.E. Warneryd (eds), Ethics and Economic Affairs, Routledge, New York.

Daly, H.E and J.B.Cobb, 1989, For the Common Good, Beacon Press, Washington.

Daldjoeni, N., 1999, Hubungan Etika dengan Ilmu; dalam Suriasumantri, J.S., Ilmu dalam Perspektif, Yayasan Obor, Jakarta.

Dockrell, W.B., 1998, Ethical Considerations in Research, dalam John J. Reeves (ed.) Educational Research, Methodology, and Measurement: An International Handbook, Pergamon Press, Oxford.

Dopter, Kurt (eds), 1976, Economics in the Future, Macmillan, New York.

Endro, Gunardi, 2002, Redefinisi Bisnis; Suatu Penggalian Etika Keutamaan Aristoteles, PPM, Jakarta.

Hatta, Muhammad, 1979, Pidato dalam Pengarahan kepada Lembaga Pengkajian Ekonomi Pancasila, Tanggal 21 Juni 1979.

Hunt, E.K.,1979, History of Economic Thought: A Critical Perspective, Wodsworth, New York.

Holloway,E.,1985, Counseling Ethics, dalam Torsten Husen & T. Neville Postlethwaite, The International Encyclopaedia of Educational Research and Studies (Vol.2), Oxford UP, Oxford.

Katouzian, Homa, 1980, Ideology and Method in Economics, Macmillan, New York.

Lewis, Alan and Kare-Erik Warneryd (eds), 1994, Ethics and Economic Affairs, Routledge, London.

Lunati, M. Teresa, 1997, Ethical Issues in Economics, Macmillan, London.

Magnis-Suseno. F., 1996, Etika Jawa (cetakan keenam), PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Mahen, John.E, 1969, What is Economics, John Wiley & Sons, New York

Mangkusuwondo, Suhadi, 1987, Teori dan Kebijaksanaan Ekonomi Makro: Perspektif Indonesia, dalam Hendra Esmara (Peny), Teori Ekonomi dan Kebijaksanaan Pembangunan, Gramedia, Jakarta.

McLeod, Ross, 2002, Indonesia's Crisis and Future Prospect, dikutip dalam Mubyarto: Pemberdayaan Ekonomi Rakyat dan Peranan Ilmu-Ilmu Sosial, YAE.

Nelson, Robert H, 2001, Economics as Religion, Pennsylvania State UP, Pennsylvania.

Ormerod, P., 1994, The Death of Economics, Faber & Faber, ?

Pangabean,Masuk, Teori Ekonomi Pancasila: Nomologis atau Normatif, Sinar Harapan,
Tanggal 13 Agustus 1981.

Partadiredja, Ace, 2000, Ekonomika Etik, Himpunan Pidato Pengukuhan Guru Besar UGM, Ilmu-ilmu Sosial, 1949-1999,. Gadjah Mada UP, Yogyakarta.

Prawiro,Radius, 1998, Pergulatan Indonesia Membangun Ekonomi, Pragmatisme dalam Aksi,
Elex Media Komputindo, Jakarta

Robinson, Fionnam, 1999, Globalizing Care, Ethics, Feminist Theory, and International Relations, ?,?

Suriasumantri, Jujun S., Tentang Ilmu Ekonomi Pancasila, Kompas, 31 Juli 1981

Ward, Benyamin, 1972, What’s Wrong with Economics, Basic Book, Massachussets.

Warta Ekonomi No. 25/X/9 November 1998.

Wilber, Charles K (eds.), 1998, Economics, Ethics, and Public Policy, Rowman & Littlefield, ?

Wilson, Rodney, 1997, Economics, Ethics, and Religion, Macmillan, New York.