Rabu, 27 Februari 2008

KARAKTERISTIK DAN MODEL-MODEL PENELITIAN ILMU PERBANDINGAN AGAMA

1. Pendahuluan
Ditengah-tengah perkembangan dan kemajuan dunia keilmuan dewasa ini maka urgensi untuk mengkaji persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kehidupan keagamaan tidak dapat dikesampingkan. Kehidupan keagamaan sendiri pada realitasnya memang menunjukkan fenomena yang sedemikian kompleks dan penuh dengan dinamika. Meskipun demikian fenomena keagamaan tetap merupakan realitas yang sangat misterius untuk dapat dikupas tuntas. Hal ini dikarenakan dimensi keagamaan tidak semata-mata terbatas pada fakta internal-individualitas, tetapi juga merupakan fakta yang sangat eksternal-sosiologis. Oleh karenanya kajian terhadap fenomena keagamaan bagaimana pun harus dilakukan secara komprehensif, multi dan bahkan mungkin lintas disipliner. Disinilah dibangun sebuah disiplin keilmuan keagamaan atau yang lazim dinamakan ilmu perbandingan agama, yang mencoba memahami fenomena keberagamaan tersebut dengan piranti keilmiahan yang diakui.
Persoalan yang segera mengemuka sehubungan dengan disiplin ilmu perbandingan agama sendiri adalah diragukannya disiplin ini dalam memenuhi standar keilmiahan yang normatif. Ini berarti disiplin ilmu perbandingan agama haruslah dapat membuktikan nilai keilmiahannya sehubungan dengan obyek kajiannya yang memang tidak sederhana. Oleh karena itu makalah ini mencoba memaparkan karakteristik dan model-model penelitian ilmu perbandingan agama yang diharapkan dapat memberikan deskripsi yang jelas tentang keberadaannya dan nilai-nilai keilmiahannya.
2. Karakteristik Ilmu Perbandingan Agama
Sebagaimana tersirat dalam istilahnya, ilmu perbandingan agama [1] pada dasarnya suatu studi komparasi tentang fenomena keagamaan dalam setiap agama yang ada. Studi komparasi disini bukanlah dimaksudkan untuk membandingkan agama-agama yang ada, tetapi lebih diorientasikan pada kandungan universal dari ekspresi keagamaan (religiousity expressions). Menurut Taufik Abdullah:
“Perbandingan” ialah metode untuk dapat mengetahui secara mendalam “esensi” ajaran agama. Pendekatan ini bahkan telah memungkinkan para ahli membuat “rekonstruksi” sejarah proses pengaruh timbal balik dari berbagai agama. Dengan begini ilmu ini menjawab pula persoalan hakiki “apakah makna agama bagi manusia”. [2]

Dari pengertian tersebut tampak bahwa istilah agama disini lebih dimaknai sebagai pola refleksi dari pengalaman beragama (abstract noun), dari pada sebagai unit satuan identitas (proper noun). [3] Agama dalam pengertian ini memberikan makna bahwa kepercayaan seseorang terhadap agamanya tidaklah semata-mata dihayati dalam ruang rohani yang steril tetapi juga dipersepsikan dan direspon melalui ruang refleksial pemikirannya. Dari respon refleksial inilah pada gilirannya kandungan-kandungan kepercayaan diekspresikan ke dalam aktifitas riil keberagamaan, baik dalam kapasitas personal maupun sosialnya. Dengan demikian ekspresi keagamaan ini pada dasarnya dapat dilihat dari dua aspek yakni aspek internal, - seperti, perasaan keagamaan, pemahaman keagamaan, dan lain sebagainya - dan aspek eksternal seperti, upacara keagamaan, komunitas sosial keagamaan dan lain sebagainya. Dalam kaitannya dengan ekspresi keagamaan ini Emile Durkhiem membagi kedalam beberapa dimensi, yakni :
1. Emosi keagamaan, yakni aspek agama yang paling mendasar yang ada dalam lubuk hati manusia , yang menyebabkan manusia beragama menjadi religius atau tidak religius.
2. Sistem kepercayaan, yang mengandung satu set keyakinan tentang adanya wujud dan sifat Tuhan, tentang keberadaan alam ghaib, mahkluk halus, dan kehidupan abadi setelah kematian.
3. Sistem upacara keagamaan, yang dilakukan oleh pada penganut sistem kepercayaan yang bertujuan mencari hubungan yang baik antara manusia dengan Tuhan, dewa atau makhluk halus yang mendiami alam ghaib.
4. Umat atau kelompok keagamaan, yaitu kesatuan-kesatuan sosial yang menganut sistem kepercayaan dan yang melakukan upacara-upacara keagamaan. [4]

Berdasarkan pembagian ekspresi keberagamaan ini, maka Durkhiem membagi bidang kajian ilmu perbandingan agama ke dalam dua hal: belief dan practices. [5] Berdasarkan pembagian kajian ini, Jalaluddin Rakhmat juga membagi bidang kajian agama ke dalam : ajaran (doctrine) dan keberagamaan (religiousity). Bidang kajian ajaran adalah penelitian terhadap teks – lisan atau tulisan – yang sakral dan menjadi sumber rujukkan bagi pemeluk agama. Sedangkan bidang kajian keberagamaan, menurutnya - dengan meminjam analisis religious commitment dari Glock dan Stark – dapat dipilah ke dalam lima dimensi keberagamaan, yakni dimensi ideologis, intelektual, eksperiensial, ritualistik, dan konsekuensial. Bidang kajian ideologis adalah penelitian terhadap seperangkat kepercayaan (belief) yang memberikan premis eksistensial untuk menjelaskan Tuhan, alam, manusia dan hubungan di antara mereka. bidang kajian intelektual mengacu pada pengetahuan agama, yakni apa yang tengah atau harus diketahui orang tentang ajaran-ajaran agamanya. Pada dimensi ini penelitian dapat diarakan untuk mengetahui seberapa jauh tingkat melek agama (religious literacy) para pengikut agama yang diteliti; atau tingkat ketertarikan mereka untuk mempelajari agamanya. Bidang kajian eksperiensial adalah kajian untuk mengetahui keterlibatan emosional dan sentimental pada pelaksanaan ajaran agama. Adapun bidang kajian ritualistik merujuk kepada ritus-ritus keagamaan yang dianjurkan oleh agama dan atau dilaksanakan oleh para pemeluknya. Kajian ritualistik ini dapat diorientasikan pada pedoman-pedoman pokok pelaksanaan ritus dan pelaksanaan ritus tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini kita dapat meneliti frekuensi, prosedur, pola, hingga kepada makna ritus-ritus tersebut secara individual, sosial maupun kultural. Sedangkan bidang kajian konsekuensial adalah kajian yang meliputi segala implikasi sosial dari pelaksanaan ajaran agama. Dalam kajian ini, misalnya kita dapat mengetahui apakah efek ajaran agama tertentu terhadap etos kerja, hubungan interpersonal, keperdulian kepada penderitaan orang lain, dan sebagainya. [6]
Sementara Joachim Wach menyatakan bahwa obyek kajian ilmu perbandingan agama adalah pengalaman keagamaan (religious experiences). Menurutnya, pengalaman keagamaan ini terungkap dalam tiga bentuk ekspresi, yakni:
Ekspresi pemikiran atau ekspresi teoritis (expression in thought) . Ekspresi ini meliputi mitologi, doktrin-doktrin keagamaan, dan dogma-dogma keagamaan.
Ekspresi praktis (expression in action). Ekspresi ini meliputi praktek-praktek dan tindakan peribadatan.
Ekspresi Sosiologis (sociological expression). Ekspresi ini meliputi persekutuan (fellowship) dan kemasyarakatan (community).[7]

Kajian terhadap ekspresi teoritis suatu agama dimaksudkan untuk mengetahui kandungan kepercayaan dan pengalaman mengenai kepercayaan itu yang terdapat dalam doktrin atau ajaran dari suatu agama atau seluruh agama yang ada. Dari kajian ini diharapkan kita tidak saja mengetahui karakteristik dan spesifikasi ajaran dari agama tertentu tetapi juga respon dan persepsi umatnya terhadap ajarannya tersebut. Sedangkan kajian terhadap ekspresi praktis suatu agama adalah mempelajari pola-pola peribadatan sebagaimana diajarkan oleh suatu agama tertentu, baik dari sisi ajarannya sendiri maupun pelaksanaannya. Adapun kajian ekspresi sosiologis suatu agama adalah upaya untuk mengetahui dinamika pemeluk dalam komunitas agama tertentu atau antar agama dalam kaitannya dengan peran serta nilai-nilai keagamaan yang dianutnya.
Mengingat sedemikian kompleknya dimensi keagamaan ini, maka wajar jika pendekatan terhadap fenomena agama sangat beragam. Meskipun demikian secara garis besar pola-pola pendekatan yang dapat dipergunakan untuk mengkaji persoalan fenomena keagamaan dapat digolongkan ke dalam: pendekatan teologis dan pendekatan keilmuan. Pendekatan teologis adalahi pendekatan berdasarkan keyakinan yang didasarkan pada kebenaran-kebenaran kitab suci (wahyu). Pendekatan ini dilakukan dalam mengkaji persoalan doktrin keagamaan yang biasa dilakukan oleh pemeluk suatu keagamaan tertentu dengan maksud untuk menambah pembenaran terhadap keyakinan yang dipeluknya. Sedangkan pendekatan keilmuan, adalah pendekatan yang memakai metode ilmiah, penelitian yang memakai aturan-aturan yang lazim dalam penelitian keilmuan. Pendekatan ini menggunakan metodologi tertentu yang diakui kebenarannya oleh dunia keilmuan, sistematis atau runtut dalam cara kerjanya, empiris yang diambil dari dunia kenyataan, bukan dari pemikiran maupun spekulasi, serta obyektif dalam arti sesuai dengan fakta dan tidak disertai dengan prasangka pengkaji. Dalam kajian keagamaan, cara kerja ini berusaha mencari informasi tentang agama dari aspek yang muncul dalam kenyataan. Yakni, fenomena keagamaan yang dapat ditinjau secara riil dan kongkrit, baik yang dipikirkan dalam gagasan pemeluknya, dalam aktifitas maupun dalam bentuk hasil karya fisik seperti dalam bentuk kumpulan buku-buku, kitab-kitab suci, maupun artefak.
Pendekatan keilmuan dalam kajian keagamaan pada dasarnya dapat dipilah kedalam : pendekatan ilmu budaya dan pendekatan ilmu sosial. Pendekatan ilmu budaya yang dimaksud adalah pendekatan yang menekankan pada pencarian informasi substansi obyek penelitian, tidak terikat oleh model metodologi yang baku dan ketat sebagaimana halnya pendekatan ilmu kealaman. Pada dasarnya penelitian budaya mengikuti kondisi situasional dimana obyek kajiannya berada. Dengan demikian metodologi pendekatan ini bersifat full-participant dengan subyek yang diteliti. Subyek yang diteliti oleh pendekatan ilmu budaya ialah segala hasil pemikiran manusia, baik yang tercatat dalam buku-buku maupun yang terdapat dalam tradisi lisan yang diturunkan melalui pewarisan dari generasi ke generasi. Bidang-bidang pengetahuan keahlian utama yang didasarkan atas penelitian budaya ialah: filsafat, ilmu agama, teologia, hukum, kesenian, sejarah, filologi, dan kesusasteraan.[8]
Sedangkan pendekatan ilmu sosial, ialah pendekatan yang mempunyai aturan-aturan penelitian pada lazimnya dan harus diikuti oleh setiap peneliti. Dengan demikian cara penelitian ini sedapat mungkin menaati berbagai aturan penelitian ilmiah dan bersifat netral, yakni tidak boleh terikat pada aturan-aturan budaya manapun kecuali pada aturan-aturan ilmiah yang berlaku umum. Obyek kajian pendekatan ilmu sosial ini diantaranya: keteraturan-keteraturan yang terdapat dalam masyarakat ilmu sosial pemeluk agama, yang merupakan akibat dari terjadinya proses interaksi antar anggota masyarakat tersebut atau antar kelompok dalam suatu masyarakat beragama atau antara suatu masyarakat beragama dengan masyarakat beragama lain, baik sebagai proses masyarakat maupun keadaan statis masyarakat tertentu. Adapun bidang-bidang pengetahuan utama yang didasarkan atas penelitian ilmu-ilmu sosial, dalam hal ini diarahkan pada usaha untuk memperoleh pengetahuan mengenai hubungan antara ajaran keagamaan dan tindakan-tindakan yang diwujudkan oleh para pengikutnya, diantaranya: antropologi, sosiologi, psikologi, ilmu komunikasi, ilmu ekonomi, ilmu pendidikan, ilmu politik, dan ilmu sejarah. [9]
Dan yang menarik dari sejarah perkembangan ilmu perbandingan agama adalah terjadinya transformasi disiplin keilmuan, yakni yang semula disiplin ilmu-ilmu tersebut dipergunakan hanya sebagai alat bantu untuk mendekati obyek keagamaan (auxiliary sciences) namun dalam perkembangannya kemudian berubah menjadi disiplin ilmu mandiri sesuai dengan karakterisitik subyek atau obyek kajian yang dihadapinya. Dari sini muncullah berbagai disiplin lebih khusus yang merupakan cabang dari ilmu perbandingan agama, seperti: ilmu sejarah agama (history of religion), psikologi agama (psychology of religion), sosiologi agama (sociology of religion), antropologi agama (anthropology of religions), fenomenologi agama (phenomenology of religions) , dan lain sebagainya. Disiplin-disiplin ini selain memiliki spesifikasi obyek kajiannya juga memiliki corak dan pola metodologis tersendiri. Dengan demikian masing-masing disiplin tersebut memiliki karakter keilmuannya tersendiri. Ilmu sejarah agama (history of religions), misalnya, yang mengambil spesifikasi obyek kajiannya tentang asal-usul ,perkembangan dan pertumbuhan agama-agama. Disiplin ini pada dasarnya memiliki dasar bahwa fenomena religius dapat dipahami dengan mencoba menganalisis perkembangan historisnya. Dengan memperhatikan perkembangan prinsip-prinsip umum dari tingkah laku religius dan menghubungkan dengan kejadian-kejadian khusus dan tertentu, muncul pola-pola kejadian yang menghasilkan prinsip-prinsip umum dari keberagamaan tersebut. Sejarah atau perjalanan hidup suatu agama di suatu daerah banyak meninggalkan barang-barang suci. Diantaranya adalah teks-teks suci dan artefak (peninggalan benda-benda padat) yang berkaitan dengan keberadaan agama tersebut. Dengan metode sejarah, benda-benda peninggalan tersebut dapat diketahui artinya dan maknanya, serta mengapa dan bagimana keduanya saling berkaitan dengan latar belakang ajaran agama dan budaya yang melahirkannya. Dalam melakukan analisis sejarah itu, peneliti harus memakai kacamata (frame reference) orang-orang beragama karena dengan bahasa itulah, teks dan artefak dapat dipahami artinya sehingga dicapai pengertian yang berkaitan dengan asal-usul, pertumbuhan, perkembangan dan penyebaran agama-agama.
Ilmu jiwa agama atau psikologi agama pada umumnya memfokus obyek kajiannya pada masalah konsidi psikologis keberagamaan. Pembahasan tentang kondisi psikologis keagamaan ini terutama dikonsentrasikan pada masalah motif-motif dan faktor-faktor psikologis yang mendasari sikap keberagamaan baik kelompok individu maupun sosial.. Dalam kajian ini peneliti menempatkan makna agama dalam setting psikologis, yaitu bagaimana keadaan hati manusia terefleksikan dalam tingkah laku keagamaan. Dengan demikian, dalam pendekatan psikologis fenomena keagamaan ditempatkan sebagai gejala yang wajar sebagai cara-cara bertingkah laku, berperasaan, dan berkeyakinan yang bercorak khusus. Kekhususan ini terutama terkait dengan realitas lain yang dianggap Tuhan atau dewa-dewa. [10]
Sedangkan sosiologi agama, menekankan kajiannya pada hubungan antara agama dan masyarakat serta bentuk-bentuk hubungan yang terjadi antara mereka. [11] Pendekatan ini pada dasarnya menelaah proses dan struktur sosial pada masyarakat agama. Masyarakat agama yang dimaksud disini bukanlah agama sebagai suatu sistem ajaran (dogma dan moral) itu sendiri, tetapi agama sejauh ia sudah mengejawantah dalam bentuk-bentuk kemasyarakatan yang nyata, atau dengan kata lain agama sebagai fenomena sosial, sebagai fakta sosial yang dapat disaksikan dan dialami banyak orang. Dengan kata lain, yang hendak dicari dalam fenomena agama itu adalah dimensi sosiologisnya. Yakni, sampai seberapa jauh agama dan nilai-nilai keagamaan memainkan peranan dan berpengaruh atas eksistensi dan operasi masyarakat manusia. Lebih kongkritnya, misalnya, seberapa jauh unsur kepercayaan mempengaruhi pembentukan kepribadian pemeluk-pemeluknya; ikut mengambil bagian dalam menciptakan jenis-jenis kebudayaan; mewarnai dasar dan haluan negara; mempengaruhi terbentuknya partai-partai politik dan golongan nonpolitik; memainkan peranan dalam munculnya strata sosial, dalam lahirnya organisasi-organisasi; seberapa jauh agama ikut mempengaruhi proses sosial, perubahan sosial, sekularisasi, fanatisme, konflik antar dan inter agama dan lain sebagainya. [12]
Adapun antropologi agama pada dasarnya menekankan obyek kajiannya pada masalah kebudayaan agama, atau agama sejauh sebagai bagian dari kebudayaan. Agama dalam perwujudan sebagai bagian dari kebudayaan meliputi aspek ide atau gagasan yang dianggap sebagai sistem norma maupun dan nilai yang dimiliki oleh anggota masyarakat, yang mengikat seluruh anggota masyarakat. Sistem budaya agama memberikan pola kepada seluruh tingkah laku anggota masyarakatnya dan melahirkan hasil karya keagamaan yang berupa karya fisik, mulai dari bangungan tempat ibadah seperti masjid, gereja, pura, dan kelenteng, hingga alat upacara yang sanga sederhana, seperti hioh, tasbih atau kancing baju.
Demikianlah berbagai karakter dari disiplin keilmuan cabang ilmu perbandingan agama terhadap fenomena keagamaan yang pada dasarnya disandarkan pada asumsi dan metodologi ilmiah. Meskipun demikian pendekatan keilmiahan terhadap fenomena keagamaan ini bukan tanpa kelemahan. Karena dalam perkembangan lebih lanjut, pendekatan keilmuan empiris ini kadang telah jauh melewati batas kewenangannya. Teori-teori yang muncul dari pendekatan sosiologis dan psikologis, sebagai contoh, mengarah pada cara pandang yang bersifat projektonis, yakni sesuatu cara telaah yang melihat “agama”, tidak lain dan tidak bukan, adalah fenomena sosial belaka, sehingga kehilangan nuansa kesakralan, kesucian serta normativitasnya. Agama tercerabut dari normativitas, kesakaralan dan kesucian keilahiannya. [13] Untuk mengatasi kelemahan ini maka ditemukan suatu pendekatan baru terhadap fenomena keagamaan, yakni fenomenologi. Pendekatan ini dianggap memberikan solusi alternatif, mengingat fenomenologi pada dasarnya berupaya untuk memperoleh “esensi” keberagamaan manusia. Dalam operasionalnya fenomenologi agama menggunakan perbandingan sebagai sarana interpretasi utama untuk memahami arti ekspresi-ekspresi keagamaan, seperti persembahan, upacaya agama, makhluk ghaib, dan lain sebagainya. Asumsi dasar dari pendekatan ini adalah bentuk luar dari ungkapan manusia yang mempunyai pola atau konfigurasi kehidupan dalam yang teratur dan dapat dilukiskan kerangkanya dengan menggunakan metode fenomenologi. Usaha pendekatan fenomenologi ini agaknya mengarah ke arah balik, yakni untuk mengembalikan studi agama yang bersifat historis-empiris ke pangkalannya agar tidak terlalu jauh melampaui batas kewenangannya. Karakteristik lain dari pendekatan ini dibanding dengan pendekatan keilmuan empiris lainnya, terutama terletak pada sikap metodisnya. Jika dalam studi agama yang bersifat historis-empiris, para peneliti cenderung bersifat netral (value-neutral), maka pendekatan fenomenologi lebih bersifat value-laden (terikat oleh nilai-nilai keagamaan yang dipercayai dan dimiliki oleh para pengikut agama yang ada).

3. Model-Model Penelitian Ilmu Perbandingan Agama
Sebagai salah satu cabang dari studi agama pada umumnya (Religionswissenschaft),[14] ilmu perbandingan agama berikut dengan cabang-cabang keilmuannya dalam operasionalisasi kajiannya harus dan senantiasa berdasarkan pada kaidah-kaidah dan prosedur ilmiah umum (logico hypoptetico verificative). Artinya, dalam kajiannya haruslah dituntut untuk bersikap logis sesuai dengan kaidah-kaidah metodologis umum dan karakteristik obyek kajiannya, misalnya, merancang metode kajian yang bersifat sistematik seperti: melaksanakan klasifikasi, konseptualisasi, abstraksi, penilaian, observasi, eksperimen, generalisasi, induksi, deduksi, argumen dari analogi dan lain sebagainya. Selain itu karena obyek kajian bersifat empiris dan obyektif, maka diperlukan menyusun hipotesis untuk menjembatani antara dunia teoritis si peneliti dengan obyek kajiannya yang bersifat eksternal. Dan selanjutnya, dilakukan pengujian ulang berdasarkan hipotesis tersebut terhadap data-data obyektif yang mendukungnya atau malah menolaknya. Disinilah peran verifikasi sangat menentukan validitas dari hipotesis yang dirancang oleh si peneliti. Dengan demikian secara umum model penelitian keagamaan pun harus mengikuti langkah-langkah atau prosedur ilmiah umum tersebut, yakni:
1. Perumusan masalah,
2. Perangka pemikiran,
3. Perumusan hipotesis,
4. Pengujian hipotesis
5. Kesimpulan.
Selain harus mengikuti prosedur ilmiah umum tersebut ilmu-ilmu perbandingan agama juga harus meletakkan metodologis khusus sesuai dengan sifat dan karakter dari obyek kajiannya. Penggunaan metodologis khusus ini dirasa perlu mengingat fenomena keagamaan memiliki beragam aspek dan dimensi, baik dari segi keluasannya maupun kedalamannya. Dibawah ini akan disajikan model penelitian berdasarkan pendekatan metodologis khusus dari masing-masing bidang keilmuan:
1. Model penelitian sejarah agama,
Penelitian ini pada dasarnya berorientasi pada masalah fakta-fakta historis dari keagamaan. Meskipun peneliti dibidang ini memiliki asumsi dasar yang relatif sama, yakni fenomena religius dapat dipahami dengan cara menganalisis perkembangan historisnya. Namun dalam pendekatan metodis khususnya sering berbeda satu dengan yang lainnya. Dalam penelitian tentang asal-usul agama primitif, misalnya, sebagaimana diungkapkan oleh EE. Evans pada dasarnya dapat dikelompokkan ke dalam orientasi metodis psikologis dan sosiologis. [15] Orientasi psikologis misalnya (untuk sekedar menyebutkan beberapa contoh) dapat dilihat dari teori persepsi (perceptions theory)-nya Max Muller yang menyatakan bahwa asal-usul agama berasal dari persepsi manusia atas realitas benda-benda yang yang tak dapat diraba, seperti matahari dan langit. Dari sentuhan inderawi terhadap fakta-fakta ini ide tentang infinite dan pemahaman ketuhanan dibentuk. [16] Demikian juga terdapat dalam teori animisme-nya E.B. Taylor yang berpendapat asal usul agama berasal dari kesadaran manusia akan adanya roh atau jiwa (anima). Sir James Frazer dengan teori Magi-nya, dan lain sebagainya. Adapun orientasi sosiologis dapat dilihat misalnya (untuk sekedar menyebutkan beberapa contoh) dari teori totemis- Emile Durkhiem, dan Radcliffe Brown, yang pada dasarnya teori ini berpendapat bahwa agama adalah suatu kesatuan sistem kepercayaan dengan pelaksanaan, dalam hubungannya dengan benda-benda suci, yaitu benda-benda yang disisihkan dari yang lain dan terlarang – kepercayaan dan pelaksanaan yang bersatu dalam satu kelompok moral, yang dinamakan jama’ah, yaitu semua mereka yang mengikutinya.[17]
2. Model penelitian psikologis
Penelitian ini sebagaimana telah diungkapkan pada dasarnya memfokuskan obyeknya penelitian terhadap kondisi psikologis keberagamaan. Kondisi ini terutama ditekankan pada motif dan faktor-faktor psikologis yang mendasari sikap keberagamaan baik kelompok individual maupun sosial. Dalam hal ini para psikolog agama memang berbeda penekanan dan variasi indikator-indikatornya. Ada yang menekankan perasaan ketergantungan (feeling of dependence) merupakan sumber utama yang mendasari sikap keberagamaan seseorang.. Sementara yang lain, mendasarkan sikap keberagamaan pada motif ketakutan (fear instinc). Sedangkan yang lain mendasarkan pada perasaan ketakterhingga (the feeling of the infinite). Dan Sigmund Freud, misalnya, menyatakan bahwa motif keberagamaan itu muncul dari rasa bersalah (guilty sense). Dalam karyanya Totem and Tabu, (1913) [18] Freud menyatakan bahwa sikap keberagamaan itu dapat dilacak dari rasa bersalah sebagai sumber tak sadar dari agama. Diilhami oleh kisah Odipus yang dikarang oleh seorang dramawan Yunani Sofokles, ia mengkaitkan rasa bersalah dengan odipus kompleks. Untuk meringankan rasa bersalah karena telah membunuh bapa primordial maka manusia menciptakan persembahan hewan totemis. Dengan kata lain, paham ketuhanan seperti ditemukan dalam kepercayaan religius itu bersumber pada rasa bersalah mengenai pembunuhan bapa yang telah berlangsung pada awal mula sejarah manusia. Tuhan tidaklah lain daripada seorang bapa yang ditinggikan (“an Exalted Father”). Atau dengan istilah yang khas analitis, paham ketuhanan adalah sumblimasi dari bapa pertama yang dibunuh pada awal mula sejarah umat manusia. Kerinduan akan bapa inilah yang merupakan akar semua agama. [19]
Oleh karena sedemikian variatifnya motif dan sumber psikologis dari sikap keberagamaan ini, maka William James menduga bahwa motif atau sumber psikologis keberagamaan tersebut tidak bersifat tunggal dan khusus, tetapi banyak.[20] Berdasarkan kenyataan inilah Robert H. Thouless mengklasifikaskan sumber-sumber psikologis tersebut ke dalam empat faktor utama: (1) faktor sosial, yakni meliputi pengaruh pendidikan atau pengajaran dan berbagai tekanan sosial yang nyata; 2) Berbagai pengalaman, yakni: (a) pengalaman keindahan, keselarasan, kebaikan dengan dunia lain (faktor alami), (b) Konflik moral (faktor moral), (c) Pengalaman emosional keagamaan (faktor afektif); 3) Faktor kebutuhan, terutama : (a) kebutuhan akan keselamatan, (b) kebutuhan akan cinta, (c) kebutuhan untuk memperoleh harga diri, dan (d) kebutuhan yang timbul karena adanya kematian.; 4) Faktor Intelektual, yakni berbagai proses pemikiran verbal tentang keagamaan.[21]

3. Model penelitian sosiologis
Penelitian ini pada dasarnya menekankan obyek kajiannya terhadap hubungan antara agama dan masyarakat serta bentuk-bentuk hubungan yang terjadi antara keduanya. Dalam kaitan ini secara khusus penelitian ini berusaha mencari informasi tentang proses dan struktur sosial yang terdapat dalam masyarakat agama. Dalam kaitanya dengan kajian terhadap proses dan struktur sosial, para ahli sosiolog agama pun juga beragam penekanan dan paradigma metodologis yang dipergunakan. Dalam hal ini terdapat sedikitnya empat aliran yang memiliki corak paradigma metodologis yang berbeda satu dengan lainnya, yakni : aliran klasik, aliran positivisme, aliran teori konflik, dan aliran fungsionalisme. Aliran klasik Pada dasarnya berasumsi bahwa kedudukan sosiologi (agama) sangat dekat dengan sejarah dan filsafat dan merupakan suatu refleksi dan analisis sistematis terhadap masyarakat, kebudayaan dan agama sebagai proyek manusia. Sehingga wajar dalam teori-teori yang terdapat dalam aliran ini lebih banyak menekankan pada analisa historis dalam membangun teorinya. Artinya di dalam upaya mengungkap pola-pola sosial dasar dan peranannya dalam masyarakat beragama, teori-teori ini lebih menekankan aspek sejarahnya dan kekuatan-kekuatan (sosial) yang mendorong berdirinya masyarakat tersebut , serta unsur-unsur budaya yang menopang kelangsungan hidupnya. Dalam Aliran ini dapat disebutkan beberapa contoh, Emile Durkhiem, Weber, Marks, Toenis, George Simmel, Pareto, Spencer dan lain-lainnya.
Aliran positivisme pada dasarnya meletakkan paradigma metodologis empiris-positivistis dalam kajiannya. Dalam asumsi aliran ini proses dan struktur yang terdapat dalam masyarakat sama halnya dengan yang terjadi pada benda-benda alamiah. Kecenderungan metodologis lainnya dari aliran ini adalah urgensinya terhadap kuantifikasi. Akibatnya dalam kajiannya lebih banyak memfokuskan pada masalah struktur organisasi dari masyarakat keberagamaan, tentang keadaan sistem pengaturannya, mengenai kepemimpinannya, dan reaksi (yang positif maupun negatif) dari anggota-anggota dalam lembaganya. Dengan demikian aliran ini benar-benar mengusahakan kajian yang obyektif dan senetral mungkin.
Aliran teori konflik pada dasarnya menekankan kajiannya pada dinamika sosial yang terjadi dalam suatu masyarakat (agama) tertentu. Menurut paradigma aliran ini masyarakat yang hidup dalam situasi konfliktual adalah masyarakat yang baik. Sebaliknya masyarakat yang disebut dalam keadaan seimbang (equiliberium) adalah masyarakat yang statik dan mundur. Akibatnya dalam kajiannya terhadap suatu masyarakat (agama) tertentu lebih ditekankan pada problem mikro saja. Sebab dinamika konfliktual hanya bisa dianalisa dari unit terkecil dalam sebuah komunitas tertentu. Meskipun demikian aliran ini juga tidak meninggalkan analisis historisitas dari komunitas tersebut. Karena bagaimanapun situasi konfliktual selalu tidak dapat dilepaskan dari karakteristik masa lalunya dalam kaitannya dengan problem baru yang tengah dihadapi oleh komunitas tersebut. Dengan demikian aliran ini lebih menekankan aspek bahasannya tentang unsur-unsur pertentangan yang ada dalam komunitas tertentu dan berusaha menggali kesadaran dari kelompok-kelompok yang saling bertentangan tersebut untuk kemudian dirumuskan sebuah teori yang tepat untuk mengatasi faktor-faktor konfliktual terjadi sebuah sintesis yang baru dan memiliki dinamikanya yang baru.
Sedangkan aliran fungsionalisme pada dasarnya meletakkan asas keseimbangan dalam kajiannya terhadap masyarakat (agama) tertentu. Dalam pandangan aliran ini masyarakat yang baik adalah jika sistem masyarakat berjalan (berfungsi) secara seimbang antar lembaga-lembaganya. Dalam asumsi ini masyarakat (agama) adalah sebuah sistem sosial dimana masing-masing institusi yang terdapat dalam sistem masyarakat tersebut telah menciptakan pola-pola kelakuan yang terdiri atas norma-norma yang dianggap syah dan mengikat oleh anggota-anggotanya yang menjadi bagian (partisipasi) dari sistem tersebut. Dengan menekankan pada analisa sistemnya, aliran ini dalam operasionalitas metodisnya lebih memfokuskan kajiannya pada masalah fungsionalitas masing-masing institusi yang terdapat dalam sistem kemasyarakatan tertentu. Dalam memahami fenomena keagamaan, misalnya, aliran ini berpandangan bahwa agama hanya merupakan suatu bentuk tingkah laku manusia yang dilembagakan yang berada diantara lembaga-lembaga lainnya. Agama dalam pandangan aliran ini sebagai salah satu lembaga sosial yang memegang kunci penting untuk menjawab kebutuhan mendasar dari masyarakat, jelasnya kebutuhan manusia yang tidak dapat dipuaskan dengan nilai-nilai duniawi yang serba sementara ini, tetapi hanya dengan “sesuatu yang ada diluar” dunia empiris ini. Meskipun demikian aliran ini membatasi diri untuk tidak mengkaji persoalan “sesuatu yang di luar dunia empiris” tersebut. Tetapi kajiannya tetap didasarkan pada fenomena sosialnya semata sejauh dapat dihampiri dengan alat-alat metodologis ilmiah. [22]
4. Model Penelitian antropologis
Penelitian pada dasarnya difokuskan terhadap fenomena keagamaan sejauh menjadi bagian dari kebudayaan. Penelitian dapat berupa penelitian teoritis tentang pola dan struktur pemikiran pada individu atau masyarakat dalam lingkung kebudayaan tertentu. Atau penelitian lapangan tentang aspek prilaku keberagamaan yang didasarkan oleh norma-norma dan tata nilai dalam lingkung kebudayaan tertentu. Atau penelitian lapangan dan ekprimentasi terhadap hasil karya budaya keagamaan yang terwujud dalam artefak suatu lingkung kebudayaan tertentu. Penelitian yang menggunakan metode antropologis ini seperti dilakukan oleh Maz Muller, W. Mannhardt. E.B Taylor dan lainnya. Max Muller, misalnya mengadakan penelitian dengan menggunakan metode filologi. Ia meneliti bahasa yang digunakan oleh pemeluk agama. Menurut hasil penelitiannya, asal agama itu adalah dari mitos-mitos tentang fenomena alam, sedangkan munculnya adalah karena kesalahan mengartikan lafal bahasa yang dipakai untuk mengidentifikasi fenomena alam.[23]

5. Model Penelitian Fenomenologis
Penelitian ini pada dasarnya memfokuskan kajiannya terhadap struktur hakiki atau esensi dari keberagamaan manusia. Pendekatan ini mencoba menemukan struktur yang mendasari fakta keagamaan dan memahami makna yang lebih dalam, sebagaimana dimanifestasikan melalui struktur tersebut dengan hukum dan pengertian yang khas. Bidang studinya meliputi fakta religius yang bersifat subyektif, seperti pikiran-pikiran, perasaan-perasaan dan maksud-maksud dari seseorang, yang diungkapkan dalam tindakan-tindakan luar. Pemahaman beberapa ungkapan yang bersifat subyektif inilah yang membuat fakta menjadi suatu tindakan ibada, bukan sekadar gerakan-gerakan yang tanpa makna. Dengan demikian tujuan dari pendekatan fenomenologis ini ialah untuk menangkap makna lebih dalam dan intensionalitas dari data religius seseorang yang merupakan ekspresi-ekspresi dari pengalaman religius dan imanya yang lebih dalam. Metode ini mengungkapkan wilayah spiritual dan intelektual manusia, meskipun disadari bahwa batas-batasnya memasuki kedalaman pengalaman dari suatu jiwa religius. [24]
Demikian model-model penelitian yang didasarkan pada penggunaan metodologis khusus dari disiplin ilmu-ilmu perbandingan agama. Sedangkan model-model penelitian yang didasarkan pada obyek kajiannya sangat sedemikian luas dan rumit hal ini terutama disebabkan oleh karakteristik dari obyek (fenomena keagamaan) sendiri yang sedemikian kompleks dan multidimensional. Menurut Dadang Kahmad obyek kajian ilmu perbandingan ini paling tidak memiliki lima karakter, yakni : subyektif representative, subyektif-kognitif, subyektif-ekspresif, subyektif-emosional, dan subyektif spiritual. Subyektif-representative yang dimaksud adalah fenomena keagamaan merupakan ungkapan-ungkapan dari keyakinan yang diwujudkan melalui tanda atau simbol-simbol. Oleh karena itu diperlukan kecermatan si peneliti untuk memilih dan mengategorikan simbol dan tanda yang termasuk dalam sistem kepercayaan, tanda dan simbol yang termasuk upacara keagamaan dan apakah suatu fenomena tertentu dikategorikan sebagai suatu gejala keagamaan, atau gejala lain. Untuk memahami suatu gejala keagamaan, tidak hanya dengan melihat gerakan tertentu saja, tetapi harus memahami gerakan itu lewat memahami kata-kata dan maksud-maksud si pelaku, sehingga kita dapat menyimpulkan bahwa suatu gerakan itu merupakan fenomena keagamaan. Subyektif-kognifitive yang dimaksud fenomena keagamaan merupakan keadaan mental manusia religius dalam caranya melihat dan menginterpretasikan hal-hal tertentu. Bagi si peneliti, fakta religius itu dapat bersifat obyektif dengan cara membiarkan fakta berbicara untuk dirinya. Seorang peneliti harus dapat menempatkan suatu gejala keagamaan menjadi suatu fakta dengan cara memahami bahwa manusia religius memberikan penilaian religius yang mempengaruhi tindakan-tindakan dan perilakunya dan mereka menerima norma-norma dan aturan-aturan dalam ungkapan keyakinan religius mereka. Sedangkan fenomena agama dikatakan sebagai subyektif-ekspresif karena pada kenyataannya ungkapan-ungkapan keagamaan sering berupa kata-kata, tanda-tanda, dan tingkah laku yang ekspresif. Melalui pola dan bentuk-bentuk ekspresi inilah biasanya seorang peneliti dapat menangkap pikiran-pikiran keagamaan seseorang dengan jalan menyelami (melalui empati dan pengalaman keagamaan peneliti), seorang peneliti dapat memahami pemikiran dan makna keagamaan orang lain. Adapun fenomena agama dikatakan subyektif-emosional karena fenomena tersebut sering terkait dengan pengalaman , pemikiran, emosi, ide-ide dari orang yang memeluk suatu agama. Dengan demikian seorang peneliti dituntut untuk dapat berempati terhadap fenomena ini. Empati adalah usaha untuk memahami perilaku orang lain berdasarkan pengalaman dan perilaku dirinya sendiri. Dan, fenomena agama dikatakan subyektif-spritual mengingat fenomena keagamaan sering terkait dengan masalah keyakinan dan keimanan yang bersifat batiniah. Fenomena ini pada kenyataan bersifat pengalaman batin yang sangat subyektif dan individual sehingga sangat sulit diukur secara kuantitatif. Oleh karena itu cara yang tepat untuk memahami fenomena ini adalah melalui penelitian kualitatif, yakni dengan cara memahami tingkah laku orang beragama untuk menangkap makna lebih dalam dan intensionalitas dari data religius orang tersebut yang merupakan ekspresi dari pengalaman religius dan iman yang lebih dalam.[25]
Dengan karakteristik obyek kajian yang sedemikian kompleks dan dalam ini, maka peneliti di bidang ilmu perbandingan agama harus memiliki syarat yang memadai sehingga kualitas penelitiannya dapat valid dan reliabel. Diantara syarat yang harus dipenuhi oleh seorang peneliti adalah ia haruslah memiliki sikap empatik terhadap pemahaman keagamaan yang sedang diteliti meskipun mungkin obyek kajian tersebut berseberangan dengan keyakinannya (sympathetic understanding); Bersikap kritik dan skeptik terhadap latar belakang keagamaannya sendiri. (an attitude of self-criticism, or even skepticism, about one’s own religious background); dan memiliki semangat ilmiah ( scientific temper). [26]
Untuk menghindari penelitian terhadap fenomena keagamaan menjadi bias, maka obyek penelitian haruslah ditentukan terlebih dahulu. Artinya, obyek kajian tersebut harus ditentukan berdasarkan aspek-aspeknya yang dapat dikontrol secara metodis ilmiah. Hal ini berarti fenomena keagamaan harus diletakkan sebagai realitas obyektif yang memungkinkan prosedur metodis ilmiah dapat dijalankan. Menurut Taufik Abdullah, dalam penelitian keagamaan secara metodologis agama haruslah dijadikan sebagai suatu fenomena yang riil, betapapun mungkin terasa agama itu abstrak. Dari sudut ini, maka barangkali dapat dibedakan tiga kategori agama sebagai fenomena yang menjadi subject matter penelitian, yaitu agama sebagai doktrin, agama sebagai dinamika dan struktur sosial, dan sikap pemeluk terhadap doktrin. Kategori agama sebagai dotrin yang dimaksudkan ialah fenomena keagamaan sejauh berfungsi sebagai ajaran-ajaran yang dipatuhi dan diyakini kebenarannya oleh pemeluknya. Dalam kategori ini misalnya, dapat dipertanyakan tentang apakah substansi dari keyakinan religius itu? Apakah yang diyakini sebagai kebenaran yang hakiki? Apakah makna ajaran agama itu bagi pemeluknya?. Secara umum kategori ini lebih dekat dengan upaya untuk mencari kebenaran agama. Sedangkan kategori kedua adalah berkaitan dengan realitas sosio-kultural dimana agama menjadi dasar bagi proses-proses sosio-kultural dalam masyarakat pemeluknya. Dengan demikian, meskipun bermula sebagai ikatan spiritual, pada pemeluk agama membentuk masyarakat sendiri yang berbeda dengan “komunitas kognitif” lainnya. Sebagai suatu masyarakat , komunitas ini pun mempunyai tatanan struktural dan tidak pula terlepas dari dinamika sejarah. Adapun kategori ketiga berkaitan dengan sikap dan persepsi anggota masyarakat (keagamaan) terhadap agama yang dianutnya. Jika kategori pertama mempersoalkan substansi ajaran, dengan segala refleksi pemikiran terhadap ajaran, sedangkan kategori kedua meninjau agama dalam kehidupan sosial dan dinamika sejarah, maka kategori ketiga berkaitan dengan usaha untuk mengetahui corak penghadapan masyarakat terhadap simbol dan ajaran agama. [27]

4.Penutup
Dari uraian tentang karakteristik dan model-model penelitian ilmu perbandingan agama berikut dengan cabang keilmuannya, dapat ditarik gambaran umum bahwa ilmu perbandingan agama beserta cabang-cabang keilmuannya merupakan pengetahuan ilmiah yang mendekati fenomena keagamaan dengan prosedur atau metode keilmuan sehingga deskripsi tentang fenomena keagamaan dapat dijelaskan secara rasional, obyektif dan netral.

[1] Istilah ilmu perbandingan agama (the comparative study of religions) pertama kali disarankan oleh Joachim Wach, mengingat istilah ini lebih deskriptif dan tidak terlalu tehnis daripada istilah “History of Religions” dan “science of Religions. Lihat: Joachim Wach, “The Comparative Study of Religions”, (New York: Columbia University Press,1958),i
[2] Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama : Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,1989) hal. xiv
[3] Meminjam istilah Amin Abdullah, lihat: M. Amin Abdullah, ”Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hal.24
[4] Lihat: Koetjaraningrat, Pokok-Pokok Antropologi Sosial, (Jakarta: Gramedia,1982),hal.123.
[5] Lihat: Metodologi Penelitian Agama, Jalaluddin Rakhmat, dalam : “Metodologi Penelitian Agama : Sebuah Pengantar”, editor Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1989), hal.92
[6] Ibid, 93-94
[7] Lihat: Introduction by Joseph M Kitagawa dalam :Joachim Wach, The Comparative Study of Religions, (New York: Columbia University Press), xxxi
[8] Lihat: DR. H. Dadang Kahmad, M.Si, Metode Penelitian Agama : Perspektif Ilmu Perbandingan Agama, (Bandung: Putaka Setia, 2000),hal.. 50-51
[9] Ibid,
[10] William James, The Varieties of Religious Experiences, (United States of America: The New Library of World Literature, Inc.,1958), hal. 42
[11] Joachim Wach, Sociology of Religion,( Chicago: University of Chicago Press,1944),hal.11
[12] Lihat: D. Hendropuspito, OC,Sosiologi Agama,(Yogyakarta: Kanisius,1983),hal. 9
[13] Lihat : Amin Abdullah, Studi Agama,hal.11
[14] Cabang lainnya adalah sejarah agama-agama dan filsafat agama. Lihat: A. Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama: Sebuah Pembahasan Tentang metodos dan sistema, (Yogyakarta:, Yayasan Nida,1972),hal.3
[15] E.E. Evans Pritchard, Teori-Teori Tentang Agama Primitif,Alih Bahasa Drs. H.A. Ludjito (Yogyakarta: PLP2M, 1984),hal.6
[16] Ibid, 28
[17] A.R. Radcliffe Brown, The Sociological Theory of Totemism, (Java: Biological Papers,1929),hal. 295-309
[18] Karya Totem and Tabu ini dianggap sebagai taraf kedua dari penolakkan terhadap realitas keberagamaan setelah karyanya yang pertama “Obsessive act and religious practices”(1907). Sedangkan taraf ketiga adalah karyanya yang berjudul “The Future of An Illusions” (1927)
[19] Lihat: K. Bertens, Panorama Filsafat Modern, (Jakarta: Gramedia,1987),hal.103
[20] James, The Varieties,hal.40
[21] Thouless, Pengantar, hal.34
[22] Bandingkan dengan : Hendropuspito, Sosiologi Agama, hal.27
[23] Pritchard, Teori-teori, hal. 27-28
[24] Lihat: Dadang Kahmad, , Metode Penelitian Agama, hal.55
[25] Bandingkan: Khamad, Metode Penelitian,hal.79-80
[26] Lihat: Mircea Eliade and Joseph M. Kitagawa,The History of Religions: Essay in Methodology,(United States of America : The University of Chicago Press,1959),hal.15
[27] Lihat: Abdullah, Metodologi Penelitian,hal. xiii-xiv

Tidak ada komentar: